Kau (hanya sebuah cerita)

Hafid masih merancang apa yang ia ingin sampaikan di pikirannya. Di tepi pantai yang jarang dikunjungi, ia duduk menghadap ke laut seakan ada yang dinantinya. Tiga hari ini ia sakit-sakitan. Badannya sedikit lebih kurus daripada biasa. Tapi hari itu telah memaksa ia bangkit. Entahlah, sepertinya kehidupan akan dimulai di sana. Dan memang, dialah yang memilih tempat itu sebagai persinggahan.

Hari itu mungkin hari yang menyenangkan, tapi setidaknya memberinya sedikit harapan. Sebagai hari pelepasan, hari penentuan dimana ia akan bahagia atau tersiksa. Dan tentu hari itu akan menjadi hari yang tak terlupakan pula. Pikirnya.

Seminggu lalu, di pinggir jalanan kota yang hiruk pikuk. Dengan seutas senyum dan seuntai kata kosong tak berarti, ia coba melawan ketidakberanian yang menumpuk bagai gundukan tanah liat di tenggorokannya.

“Laela, agaknya sudah lama kita berdiam diri dalam kebohongan yang begitu besar. Bahkan hingga sekarang aku sendiri tak mampu menebak apa yang ada di pikiranmu,” ia coba mengawali pembicaraan.

“Maksudmu?”

“Aku begitu takut tentang persangkaanmu padaku selama ini. Dan tentu aku ragu akan itu, Laela,” ia masih memandangi perempuan di depannya itu dengan perasaan yang campur aduk, “tidakkah kau merasa bahwa sudah begitu lama aku hidup dengan kegundahan?”

“Kegundahan apa yang kau maksud, Hafid?”

“Kegundahan yang selama ini kau buat,”

“Mungkin itu hanya perasaanmu saja,” Laela coba menutupi dirinya, “Kau tak pernah mengerti apa yang aku pikirkan…,”

“Itu karena kamu tak pernah berterus terang, Laela,” Hafid mulai memotong, “kau selalu berbicara tentang ini, tentang itu, tapi tak pernah kau bisa putuskan keduanya, kau selalu membuat alasan untuk mengalihkan semua tentang hubungan kita. Kau tak pernah hiraukan perasaanku. Ya, seperti yang sudah kau ketahui selama ini.”

“Entahlah, aku hanya selalu merasa bingung, Hafid. Maaf…!”

Keduanya terdiam. Tak kuasa Hafid meneruskan pembicaraan yang tak berujung itu. Ia sadar bahwa tak ada guna ia paksakan perasaannya buat seseorang yang tak pernah ia ketahui kedalaman hatinya. Tak pernah ia memegang jiwanya. Merasakan bau mulutnya yang mengeluarkan aroma kasih atau sayang yang begitu tulus ikhlas.

Terakhir kali, dari hubungan yang tak bertaut itu. Mereka bercengkerama, bersendagurau diantara pepohonan pinus yang tegak menjulur ke ubun-ubun langit. Saling memandang satu sama lain, sebagaimana dua orang yang sudah hilang kesadaran akan sekeliling. Tiba-tiba seorang perempuan yang tak begitu jauh umurnya datang menghampiri mereka. Dengan muka sedikit masam, ia mengisyaratkan kepada gadis yang sedang asyik itu bahwa hari sudah sore. Ia harus pulang.

Pemuda itu terdiam. Dan seperti biasa, dalam hatinya ia akan mengutuk habis-habisan tingkah perempuan yang sok arogan itu. Ya, ia bukanlah apa atau siapanya. Tak lebih dari seorang perempuan yang hanya iri, atau… dan entahlah, mungkin hanya seorang yang amat dipercaya keluarganya. Tapi bukankah, menebar muka masam tidaklah patut buat seorang ia?

***

Hafidz masih menghadap ke laut. Tak dapat ia tenangkan gejolak yang menggebu dalam dirinya. Degup jantungnya bergerak kencang. Sudah sejam, ia tak melihat seorang pun muncul. Ia hendak kembali, tapi memperlambat laju kakinya, sambil menatap, kalau-kalau… yang ditunggunya itu akan hadir.

Dan sebagai perjanjian awal yang membingungkan, ia mulai pasrah, bahwa Laela memang tiada cinta akan ia, sekalipun pernah, cinta itu tak lagi tulus. Atau ia sibuk? Ia masih saja membuat pledoi yang sekiranya menguntungkan buatnya. Walau tiada pasti, ia tetap saja meyakini akan cinta itu. Sebab hanya dari sanalah energi hidupnya muncul.

Atau mungkin, ada yang melarangnya datang? Perempuan itu. Tapi bukankah ia tak selalu bersama Laela.
Terkecuali saat melabraknya di kebun pinus, perempuan itu hanya sesekali menemani Laela jika ada acara besar atau saat bepergian keluar kota. Namun begitu, bisa saja ia yang membujuk Laela agar tak pernah lagi menemuinya. Ia masih berpikir.

Ia mulai gunakan fikiran sehatnya. Dan meski hanya dengan selembar surat, ia tahu betul. Bahwa pembelaan tak lagi berarti buat dirinya. Ia ingat beberapa potong kata yang ia tulis tiga hari lalu;


…Dan jikalau kau putuskan untuk akhiri semua ini, maka tak perlu kau datang. Karena itu akan membuatku semakin sakit. Cukuplah, ketidakhadiranmu itu sebagai jawaban ‘tidak’ buatku. Walau demikian, aku akan setia menungguimu hingga matahari terbenam, sebagaimana dahulu kita habiskan sekian waktu itu di sana… 



Kemudian ia mulai bersemangat. Di kejauhan nampaklah sesosok perempuan yang dinanti-nanti itu. Ia masih mengira-ngira barangkali ia salah terka sebagaimana telah banyak gadis-gadis yang disangkanya Laela tapi lambat laun berubah dan benar-benar menipu penglihatannya.

Ia perhatikan gadis yang berjalan ke arahnya itu. Dan… kali ini ia tak salah. Laela yang ditunggunya telah tiba dengan muka yang begitu rupawan. Ia lena seakan kejatuhan mutiara untuk kali kedua semenjak ia menjumpainya kali pertama di pelataran balai desa. Senang hatinya tak dapat dikira. Cinta yang dinantinya telah di depan mata.

Keduanya masih berdiri berjauhan. Hafid memandangi gadis itu dengan muka yang sedikit yakin namun penuh kecemasan. Memandang wajahnya, hilang sudah susunan-susunan kalimat yang ia bangun berhari-hari. Ia memang tak pandai membujuk. Ia pandai berkata-kata, tapi tidak di depannya. Semuanya menjadi hambar dan kosong. Hening pada menit-menit awal. Dan tak ada yang berani memecah kebuntuan itu.

Akhirnya Hafid mengajaknya duduk, keduanya menghadapi luasnya laut. Tak kuasa untuk saling pandang, dan masih menikmati deburan ombak di pantai. Alangkah teduhnya…

“Rasanya tak pantas jika kau yang harus mengawali,” Hafid coba melawan ketidakberanian dalam dirinya.

“Kau tak perlu membuang-buang waktumu, Hafid. Kau yang mengajakku kemari, bukan?”

“Ya, dan kau pasti datang,” Hafid coba menghibur dirinya. “Setidaknya menunjukkan jika kau memiliki perasaan kepadaku.”

“Perasaan itu…..” jawab Laela, “tak perlu lagi kau sebut-sebut.”

“Lalu kau sebut itu apa? Selama ini kita selalu habiskan waktu bersama. Tak ada laki-laki yang mendekatimu, bukan? Semua orang tahu bahwa kita ini…,” matanya masih sayu memandangi ombak, pupus perkataannya, seakan anak panah yang ia lepaskan melewati sasaran. ”Aku tau betul, aku yang mencintaimu lebih dulu. Kau pernah katakan, bahwa kita akan jalani apa adanya… dan kurasa telah sekian tahun lamanya...”

“Tapi aku rasa itu bukan cinta, Hafid. Aku takut dengan itu. Mungkin itu hanyalah khayalan kita…, atau perasaanmu yang berlebih, yang aku sendiri tak bisa membendungnya.”

Ucapan Laela benar-benar menusuk ulu hatinya. Tak dapat ia sangka jika kedatangannya itu hanyalah penyampaian sebuah ketakutan. Takut? Bukankah dengan datang kesana, sudah mengisyaratkan bahwa dirinya masih menyimpan rasa?

“Ah, kupikir kau mencintaiku, Laela…” ia mulai mengeluh.

“Maafkan aku…. aku tak pernah sadar jika terlalu memberikan harapan buatmu. Kadang aku merindukanmu, tapi terkadang aku sadar jika kerinduan itu hanya sebatas perasaan yang tak ada lebihnya sedikit jua. Kau lelaki baik, mungkin itulah yang membuatmu lebih dimataku daripada laki-laki lain. Tapi bukan berarti aku kemudian akan… !!” Laela masih ragu dengan apa yang dikatakannya, “anggaplah kebersamaan kita selama ini sebagai sesuatu yang biasa terjadi dalam pertemanan.”

“Betapapun alasanmu itu… entah karena sabab-musabab lain yang tak pernah kita harapkan. Aku tak tahu akan jadi apa diri ini,” ia terdiam sejenak, “walau demikian, tak ada alasan buatku untuk berhenti mencintaimu.”

Hafid terdiam. Karam rasanya bumi ini. Walau ia melihat air, menatap ombak. Tapi tak ada apapun yang melintas dikelopak matanya, selain tatapan kosong. Ingin sekali ia luapkan semua kemarahan dalam dadanya. Tapi kemudian ia sadar, jika selama ini ia terlalu egois. Mungkin ia sendiri yang terlalu yakin. Atau ia sengaja dipermainkan sebagai yang terkorbankan dalam lakon tak berujung ini. Ia coba mencari titik celah dari keputusasaannya. Ah, Jika saja ia ketahui bahwa terdapat sesuatu yang menghalangi, dan dengan sedikit keyakinan akan cinta yang ia temui.

Ia tahu betul jika Haji Djalal tak kan pernah secara cuma-cuma menerima dirinya sebagai seorang yang akan mempersunting anak perempuannya itu, lantaran hidupnya yang tak berharta atau berpangkat. Tapi itu tak bisa menjadi pembelaan, sedang mengambil hati putrinya pun ia tiada sanggup. Dibuat ia sanggup pun, ia harus pula melawan sanak kerabat lain yang ingin mempertemu-jodohkan anak lelaki mereka dengan putri sematawayang itu.

Tetapi apalah yang dinantinya? Bukan berjodoh atau bertunangan. Tetapi hanya kejujuran akan cinta itu yang ia harap. Sebab kejujuran akan menimbulkan keberanian. Tapi entahlah, sedang tiga bulan ini Laela selalu berusaha menjauhinya. Tak pernah ada alasan. Mereka tak pernah bisa bersua, walau sebentar.

“Kemana saja kau minggu-minggu terakhir ini?” Laela coba meredakan suasana.

“Jika pun engkau mengetahuinya, nampaknya tak akan membuat alasan untuk mencintaiku,” ia menarik nafas panjang.

“Mengapa kau berkata demikian?”

“Entahlah. Sepertinya terlalu jauh aku melangkahkan kaki dalam babak ini. Tak ada yang kukerjakan sedikitpun, selain kesia-siaan buat memenuhi hasrat cintaku ini…” Hafid tepekur. Kemudian mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak kecil. Ia masih memegangnya. “Kau lihat. Aku mendapatkannya dengan tetesan keringatku di pagi sore. Sebab kuyakin kau akan menyukainya. Tapi… tampaknya percuma,” ia tertawa kecil sebagai kekecewaannya yang dalam.

Laela semakin bingung. Tak dapat ia sembunyikan rasa harunya melihat benda itu. Ya, sebuah cincin. Ia takjub. Hanya saja rasa takjub itu sebatas timbul bagai kilatan yang akhirnya meluluhlantakkan perasaannya. Kemudian ia menunduk lesu, memandangi buih-buih pasir yang sesekali tergerus ombak. “Sebegitu jauhkah, Hafid?” pikirnya.

Selama ini tak pernah ia berterus terang mengenai keadaan dirinya. Ia mulai merasa bersalah. Mungkin buatnya, membikin Hafid senang, atau menghargai perasaan cinta dia, baginya sudah cukup. Tapi rupanya Hafid menganggapnya sebagai suatu jawaban ‘ya’ dalam memorinya. Ya, untuk mengarungi hidup bersama. Ya, buat menghabiskan sisa-sisa hidup dalam kebahagiaan. Ya, ia sendiri terlalu jauh melangkah.

Ingin ia luruskan perasaannya pada laki-laki yang mencintainya itu. Tapi, ia tak mampu memutuskan bahwa dirinya juga cinta. Dan walau ia buat dirinya cinta, secinta-cintanya, sebesar apapun cinta itu. Maka ia takut, jika sekali-kali cinta itu akan melukainya dan melukai Hafid pula. Sebab ia baru berikatan. Ikatan yang pantang ia rusak hanya karena cinta seorang Hafid. Ikatan yang ia buat dengan kesadaran penuh, tanpa paksaan siapapun kecuali dirinya sendiri. Ikatan yang ia teguhkan, walau ia tahu wajah Hafid selalu hadir di matanya.

Hafid, ia telah banyak memberikan kesejukan, telah banyak menghibur dirinya disaat sedih merajau. Telah banyak memberikan waktu dari separuh hidupnya yang demikian terbelenggu oleh jaman. Ia menangis, ia menyesal.

“Laela…” panggil Hafid lirih, “sudah, tak usah kau risaukan itu. Aku rasa semua sudah cukup. Tak perlu ada yang dipikirkan lagi. Aku juga tak ingin salahkan kau jika memang tiada mencintaiku. Hanya yang kusesalkan, kau tak pernah katakan itu sebelumnya.”

“Entahlah, aku benar-benar merasa bodoh,” ia masih menangis.

Sungguhpun, Hafid merasa bahwa semua sudah tamat. Tak ada harapan lagi. Skenario yang dibuatnya malam demi malam harus terhenti pada bagian ini. Ia marah. Ia sedih. Tapi ia juga merasa lega. Hanya ia tak ingin semua berakhir seperti ini. Sedikitnya, ia ingin mengakhiri hari yang melelahkan ini dengan beribu kenangan. Dibuat benci pun, ia tak bisa. Terlalu besar cinta itu sehingga tak ada tempat buat kebencian ataupun dendam. Apalagi cintanya begitu tulus suci.

“Aku hanya ingin membuat diriku begitu yakin dengan perkataanmu.”

“Maksudmu?”

“Aku belum melihat kejujuran.”

“Kau meragukanku?”

“Coba kau pegang ini,” Hafid menyodorkan cincin itu.

“Tidak!”

“Kau pegang saja!” sergahnya pula, “tak apa, tak usah kau pakai.”

Dengan tangan gemetar, diambillah oleh Laela cincin itu. Dan benar, benda itu membuatnya begitu lena. Ada rasa yang menyelinap di sela-sela pikirannya. Cincin mungil bermata merah, tak usah dikira beraga harganya. Matanya masih berkaca-kaca, tak percaya dengan apa yang dipegangnya. Ia semakin menyesal. Hafid menangkap perasaan itu.

“Laela,” kata Hafid, “aku ingin kau meyakinkanku dengan begitu jelas. Kau tak perlu tahu bagaimana aku berjuang mendapatkan cincin itu. Itu hanya setitik dari sekian besarnya rasa cinta ini buatmu. Aku juga tak ingin nyatakan bahwa aku harus miliki dirimu jika memang kau cinta. Aku tak kan paksakan cinta ini sebab aku memang tak pantas, cukuplah ungkapan cinta darimu itu akan menjadi obat buatku di siang malam. Karena tak ada obat yang lebih mujarab bagi seorang pencinta sepertiku, kecuali diriku tahu bahwa kau benar-benar mencintaiku. Walau tak bisa milikimu. Tapi jika kau tak cinta, maka yakinkan aku. Bantulah diriku yang lemah ini untuk tak lagi memikirkanmu.”

“Lalu, apa yang harus kulakukan?”

“Aku ingin, kau simpan benda itu, jika memang kau menaruh perasaan yang sama kepadaku. Atau, kau lemparkan cincin itu ke dasar laut, sebab kuingin engkaulah orang terakhir yang memegang cincin tersebut. Apapun akhirnya.”

Lama Laela termenung. Terlalu lemah jiwanya. Goyah perasaannya diantara khayal dan nyata. Jika menyimpannya, mengapa menjadi suatu keharusan? Atau membuangnya, bukankah percuma? Dan akan menyakitinya pula. Terlalu dalam perasaan hatinya. Nampaknya ia tiada sanggup melakukan kedua pilihan itu.

“Haruskah kulakukan diantara pilihan itu?” tanya Laela di tengah kebimbangannya, “tak adakah pilihan lain?”

“Aku hanya menginginkan kepastian, Laela. Buanglah rasa takutmu, buanglah apapun yang sekarang membelenggu perasaanmu! Ungkapkan apa yang ada di hatimu!”

“Tapi haruskah aku…”

“Cincin itu tak berarti apa-apa lagi mataku, Laela!”

“Tapi aku tak mungkin membuangnya, Hafid. Ini hakmu!”

“Itu hakmu sekarang. Semua keputusan ada padamu.”

“Tidak!”

“Lakukanlah!”

“Aku tak bisa!”

Laela berusaha kembalikan cincin itu dengan paksa. Hafid menolaknya. Ia tetap bersikeras pada perkmintaannya. Mereka saling menolak dan tak ingin memegangnya. Walau begitu, akhirnya sampai pula benda itu di tangan Hafid.

“Aku tak kuasa melakukannya,” Laela menangis.

“Kau merasa kasihan? Seberapa besarkah rasa kasihanmu itu buatku?” tanya Hafid heran.

“Sebenarnya apa maumu? apakah dengan begitu semuanya menjadi lebih baik buat dirimu? kau egois!”

“Kau bertanya apa mauku? aku tahu betul apa maumu, Laela…“ Tiba-tiba, “Aaaaaagggghh….” Hafid melempar cincin itu ketengah lautan. Diringi gemuruh riuh ombak yang merawankan hati dan jiwanya. Matanya memandang jauh. Lenyap sudah. Ia hempaskan semua beban itu tepat di penghujung sore. Ia kecewa.

Laela terkejut bukan kepalang, tak disangkanya Hafid akan melakukan pekerjaan itu dengan tangannya sendiri. Ia menatap Hafid dengan persangkaan yang aneh. Lama ia perhatikan laki-laki yang pernah singgah di kehidupannya itu. Sambil bertanya-tanya, mungkin ia sudah….

“Kau ini gila!!” teriaknya sambil memukul-mukul ke arah Hafid, “kau gila, gila gilaaa!!!!”

“Ya, aku memang gila!!!” jawab Hafid dengan suaranya yang tak kalah lantang, “tapi aku tak ingin hidup dengan kemunafikan dan kepalsuan!!”

“Ya aku tahu itu!!” tangannya masih mendorong-dorong tubuh Hafid yang sudah limbung.

“Lantas??? apa aku salah?” teriak Hafid.

“Tapi mengapa kau membuangnya???” mereka mulai saling teriak.

“Karena kau tak pernah berani memutuskan!!!”

“Karena kau berikan aku pilihan yang bodoh!!!”

“Itu karena kau terlalu lemah!!”

“Tapi aku memang tak berniat membuangnya, Hafid!!!”

“Itu pun karena kau tak berani melakukannya sendiri!!!”

“Kau jahat, Hafid! Kau jahat!!!”

Laela mulai pergi meninggalkan Hafid yang…, entahlah! Ia tiada lagi mengenal pemuda itu. Dan sekarang, barulah ia merasa kehilangan seseorang.

“Ya, aku memang jahat!!! Itulah sebabnya kau tak pernah pantas buatku. Kau memang perempuan terbaik yang pernah kutemui…. Kau perempuan terbaik!!!” teriaknya sambil menunjuk ke arah Laela yang telah lalu.

Laela mempercepat laju jalannya. Ia tak ingin menoleh kebelakang. Hafid masih mengikutinya.

“Apa kau bilang?? Aku jahat??? Hah?? Kau bilang aku jahat? Kau yang jahat, Laela! Kau….. perempuan terburuk yang pernah kukenal. Kau….??” ia berhenti sejenak, “tapi aku akan selalu mendoakanmu Laela. Sebab aku cinta kau. Walau kau jahat. Aku sadar sekarang jika aku telah mencintai perempuan yang salah selama bertahun-tahun. Terlalu lama kau bohongi aku!!! Laela….kau dengar aku??”

Laela masih tak menoleh. Ia larut dalam tangis. Semakin menjauh dari pandangan mata Hafid.


Surabaya, 15 September 2009
Selengkapnya...