Haruskah Kita Bertanggungjawab?

Anda mungkin tidak akan berani bertanggungjawab atas apa yang terjadi di sekitar anda. meskipun anda melihat, atau bahkan terlibat di dalamnya.
Di tempat kerja anda, saya tahu betul jika anda capek. Belum sempat anda memejamkan mata sekedar untuk istirahat, tiba2 salah seorang karyawan membangunkan anda lantaran koneksi di server putus. Dan anda akan disibukkan dengan pekerjaan mengecek jaringan kesana kemari, menelpon nomor-nomor tak penting, dan yang lebih parah istirahat anda bisa tertunda hingga beberapa jam.
Jika listrik padam, maka anda adalah orang yang pertama kali harus bangun. Jika PDAM mampet, anda pula yang harus menyelesaikan. Jika ada beberapa komputer rusak, kotor, atau perlu reparasi/pembersihan, maka anda adalah orang yang tepat untuk memenuhi pekerjaan tersebut.
Bagi anda, mungkin pekerjaan-pekerjaan itu istimewa, jika kepala anda pusing, punggung anda serasa mau putus, maka anda akan menghiburnya dengan perkataan "Ah, betapa banyak pekerjaan yang sudah kuselesaikan hari ini". Dan anda sudah merasa mengerjakan banyak pekerjaan daripada mereka. Padahal mereka belum tentu mempedulikannya.
Tapi apakah anda perlu ikut bertanggungjawab atas hal-hal selain itu?
Apakah anda perlu ikut bertanggungjawab atas banyaknya anak bolos sekolah akibat pekerjaan anda?
Apakah anda harus bertanggungjawab terhadap mereka yang suka membawa minuman keras hampir setiap malam ke tempat kerja anda?
Apakah anda ikut bertanggungjawab terhadap merosotnya pendidikan? merosotnya moral? habisnya uang saku mereka pada hal-hal mudharat?
Anda bisa saja menyaksikan anak dipukuli bapaknya, ditendang ibuknya lantaran tak sekolah. Anda mungkin saja kena semprot oleh pejabat yang anaknya sering bolos di tempat anda.

Tetapi anda tentu tak ingin bertanggungjawab, bukan? Sedang mereka tak pernah peduli dengan nasib anda. Mungkin peduli saat kantong anda tebal, Saat anda bisa membagi-bagikan rokok atau beberapa gelas minuman. Mereka tak peduli dengan keuangan anda.
Mungkin karena anda harus menyetor uang ke bank tiap minggu, menangani pembayaran listrik dan air tiap bulan, mengecek keuangan jatah peralatan elektronik, keuangan administrasi, berjudi bila perlu, minum bila perlu, membeli banyak rokok jika perlu, bermain-main ketempat teman meski tak perlu, ya, mungkin karena semua itu, orang akan menyangka jika anda sudah berkantong tebal.

Tapi tetap saja mereka tak akan berani bertanggungjawab jika kantong anda menipis.
Selengkapnya...

Kiriman Dari Seorang Teman

Kepada siapakah engkau mengeluh? Kepangkuan siapa engkau menumpahkan airmata? Pintu rumah siapa yang engkau ketuk untuk meminta tolong?
Kalau hari janji telah tiba untuk membayar utang, padahal beras di dapur pun sudah menipis.
Apakah engkau akan mengetuk rumah para artis dan bintang film yang uangnya berlebih dan credit card-nya bertumpuk-tumpuk?
Kalau untuk memperoleh pekerjaan dua hari lagi engkau harus menyediakan ratusan ribu atau sekian juta rupiah uang terobosan: Apakah engkau akan bertamu ke rumah-rumah para eksekutif yang tinggal sekampung denganmu?
Kalau istrimu hendak melahirkan, apakah engkau bisa meminjam kendaraan tetanggamu yang rumahnya berpagar tinggi itu, atau bisakah engkau mencegat kendaraan-kendaaan pribadi yang kosong yang lalu-lalang di jalan umum?
Kalau nasibmu ditimpa gludug "rasionaliasi" alias di-PHK-kan, bisakah engkau lapor kepada Pak RT, Pak RW, Pak KAdus, Pak Kades atau para pamong lainnya yang merupakan pengayom masyarakat?
Kalau dalam suatu kasus atau konflik di kantor engkau tercampakkan karena engkau tak memiliki kekuasaan, backing dan relasi akankah engkau menumpahkan airmata di kantor Polsek atau Koramil?
Kalau tanah-rumahmu dan tanah rumah teman-temanmu sekampung atau sekecaman digusur tanpa ganti rugi yang memadai setidaknya karena disunat oleh oknum-oknum pelaksananya: ke manakah engkau akan lari? Apakah ke Kantor Pimpinan Wilayah Muhammadiyah? Kantor Cabang NU? Atau kantor Orwil ICMI Atau ke rumah KH. Zainuddin MZ?
Kalau rasa cemburu memanggang dada-mu karena melihat tetangga begitu gampang berganti-ganti mode mobil. Kalau rasa jengkel menampar-nampar perasaanmu karena meiyaksikan jumlah kendaraan pribadi memenuhi lebih dari lima puluh persen jalan-jalan di kotamu. Kalau rasa perih, sakit dendam, menikam jantung ruhanimu, karena menghayati perbedaan-perbedaan tingkat hidup yang mencolok, menghayati ketimpangan, kesenangan dan ketidakseimbangan. Siapakah yang bersedia mendengarkan keluhanmu? Pak Pendeta? Pak Cendekiawan? Pak Seniman? Pak Ulama? Pak Khatib di rumah ibadah yang kata-katanya justru harus engkau dengarkan?
Kalau hatimu bingung oleh kesumpegan ekonomi. Kalau perasaanmu gundah oleh pusingan-pusingan hidup yang bak lingkaran setan. Kalau jiwamu serasa akan berputus asa karena sedemikian sukarnya menempuh hidup yang benar. Kalau sukmamu rasanya mau copot karena himpitan-himpitan nasib yang tak tertahankan.

Ke mana dan kepada siapakah engkau rebahkan keletihamu?
Kepada minuman keras, ganja, arak dan joget dangdut, mengasyiki ramalan angka-angka, menghirup rasa aman yang praktis melalui pengajian-pengajian akbar?
Adakah peluang, dan tidakkah dilarang, untuk mengemukakan isi hati kita seadanya dan sejujur-jujurnya kepada Pak Lurah, Pak Polisi, Pak Kiai, Pak Menteri, Pak Ilmuwan, Pak Wakil rakyat, Pak Profesional dan lain-lain?
Kalau memang mungkin kapan dan di mana? Bolehkah mendambakan bahwa Pak-pak itu pernah sesekali bertanya kepadamu tentang apakah hatimu sedang bersedih, apakah ada kesulitan dan problem yang tak bisa diatasi?
Kalau tidak, lantas kepada siapa engkau nengeluh? 


Selengkapnya...