Beberapa Jam Setelah Pesan yang Panjang itu

Pesanmu panjang bahkan terlalu panjang, datang tiba-tiba. Bukan karena isi, maksud atau siapa yang mengirim. Tapi aku menjadi heran, karena baru pertama aku menerima "sms" sepanjang itu. Telepon genggamku terseok-seok karena huruf-huruf kecil itu tak pernah habis. Kubaca sekali, dua kali, tiga kali, berkali-kali sehingga dapat mafhum kata demi kata. Atau sekedar meyakinkan bahwa "sms" itu tak salah orang.

Sebenarnya ingin aku membalas pesan panjangmu dengan beberapa kata saja, tak perlu berbelit. Cukup menekan beberapa huruf, selesai. Kupikir ini sepele. Tak perlu memeras otak apalagi menyita waktu berhargaku yang akhir-akhir ini sudah terbuang percuma. Tapi rupanya aku tertarik. Aku mulai sedikit memikirkan... "apa yang harus kutulis?"

Aku tidak suka menulis terlalu banyak. Bahkan buat mengisi blog atau kolom catatan saja aku tak pernah sempat. Tapi beberapa orang bisa melalui ini. Mereka terbiasa menulis dan membiarkannya tergeletak diatas meja atau bahkan dibuang begitu saja tanpa berharap akan sesuatu yang lebih "menghasilkan". Aku menyukai cara berpikirmu, simpel, cerdas tapi tidak serawut. Setidaknya menurutku.

Jujur, aku tidak pernah ingin terlibat dengan apapun, siapapun. Pertemuan dengan dia dan kau adalah sebuah kebetulan dan sebenar-benarnya kebetulan. Aku tak pernah tau sejauh mana aku mengenal kalian. Aku hanya bisa bersyukur bisa terlanjur berkumpul pada lingkaran kekonyolan kecil ini.

Dua tahun lalu,  di ibu kota. Saat semua mata tertuju pada kalian, di ruangan itu, hening. Setelah beberapa bait sajak terseret dan beberapa lagi hilang. Aku ingin katakan bahwa "kalian adalah pasangan duel yang serasi".
Sejak itulah aku mulai dekat dengan dia. Ada beberapa cerita kecil, kisah kecil dan beberapa lelucon kecil yang menghinggapi kami. Termasuk pada beberapa bait yang hilang itu.

Tetapi dia, si Broer itu... Ya, si Broer. Penyair kondang itu, yang terkenal angkuh di panggung dengan puisi-puisi cemerlangnya bahkan tak bisa jujur dengan dirinya sendiri. Ia juga suka membual sepertiku meski tak separah aku. Bisa kau bayangkan bagaimana jika aku dan dia berkumpul. Bahkan bebatuan di sekitar kami pun bisa beterbangan mendengar derai tawa yang tak kunjung hilang itu. Jika ada orang asing, kami akan disangka gila.

Sesekali aku memancing dan mengarahkan pembicaraan pada hal-hal berbau romantis. Tapi bukan karena dia tidak romantis, justru karena romantis, dia semakin menggila, kata-katanya membakar langit, beberapa bagian lagi ia hilangkan. Pernah kupaksakan untuk membongkar isi kepalanya, tapi kosong, sepertinya sudah ia simpan pada bagian lain.

Kau tahu, Jika sebentar lagi dia akan "menyusulmu" dan "mendahuluiku". Dan tahukah kau? Dari siapa aku mendengar kabar itu? Bahkan si Broer pun tak pernah bersedia membuka mulutnya atau mengetik beberapa pesan pendek untuk mengabari aku. Hanya ada kawan yang kebetulan berkawan dengan temannya sudi memberitahuku akan perihal itu.

Lalu, hanya karena sekelumit cerita itu kau mengirimiku pesan begitu panjang??? Atau ada beberapa orang lagi yang menjadi sasaran pesan panjangmu seperti "Vivi" atau yang lain atau bahkan si Broer juga?

Hmm... sepertinya aku mulai lelah. Buat apa kuteruskan. Sedang si Broer sudah menutup cerita setelah menemukan Utari-nya. Begitu pula kau yang lebih dulu menemukan tokoh Broer idamanmu. Sedang aku, hanya figuran yang berputar-putar, tenggelam dalam elegi hidupku sendiri. Dan sekali lagi menjadi korban SMS panjang.

Semoga cerita ini masih menemukan sekuel-nya.....

Surabaya, Okt 2010


Selengkapnya...

Problem is No Problems

Saya yakin jika Tuhan memberikan banyak ujian kepada saya semata-mata hanya untuk mempersiapkan saya pada sesuatu yang besar. Bagi kebanyakan orang, gagal itu perihal “sah sah saja”. Tapi saya tidak yakin seseorang akan berkata demikian kala menemukan kegagalan yang terjadi secara berulang-ulang. Hal semacam itu tentu akan menimbulkan penafsiran yang menurut saya aneh, semacam vonis lalai, karma, caranya nggak bener, kurang ikhlas, kurang ikhtiar, kurang doa dan sejenisnya. Lalu bisakah saya minta saran mereka dengan sebijak-bijaknya? Ah…

Buat saya, semakin besar kadar ujian seorang hamba, maka semakin besar pula tingkat kebijaksanaan yang diperoleh. Dan tak bisa dipungkiri kebijaksanaan itu nanti yang akan membawa kita pada kesempurnaan hidup.

Sedih, memang… ketika saya melihat beberapa kawan terlilit masalah yang tentunya tidak bisa saya anggap sepele. Tapi tentu akan lebih sedih lagi jika saya masih mendengar komentar seperti “dia sendiri yang salah” atau “dia sekarang begitu, soalnya dulu begini.” STOP!!!! kalian yang berkata demikian adalah kalian yang belum mengerti hidup.

Saya bukan tidak menghargai keberhasilan, atau perkataan orang-orang yang berhasil. Tapi cobalah melihat dari sisi yang berbeda.

Saya seringkali minta pendapat, minta nasehat dari beberapa orang di sekitar saya. Karena seringkali ketika kita terjebak pada suatu masalah, kadang kita susah mengenali diri dan keadaan kita. Tapi sungguh tipis beda antara memecahkan masalah dengan mengungkit masalah. Padahal, mengungkit masalah hanya akan berujung beban. Toh tanpa diungkit, kita sebenarnya bisa tahu dimana letak koreksi kesalahan kita. So, memberi motivasi atau solusi adalah hal terpenting. Hanya saja ke’aku’an itu yang perlu dikesampingkan.

Tapi ada satu masalah lagi, kebanyakan mereka yang memberi nasehat tidak mau menyingkirkan sedikitpun keakuan mereka alias lebih memaksakan apa yang mereka pikir sebagai hal cerdas dan lebih cermat. Mereka lebih berusaha menghilangkan keakuan orang lain tanpa berpikir untuk mengambil sesuatu yang lebih, yakni simpati.

Akhirnya, saya hanya bisa katakan kepada diri saya dan kawan-kawan. Bahwa kita sebenarnya telah dipersiapkan. Dipersiapkan untuk menjadi lebih baik, lebih kuat, lebih bijak dan lebih sempurna. Asah terus masalahmu, cari masalahmu, nikmati! Sampai kau benar-benar bijak.

Ahad, 5 September 2010

23.53 WIB
Selengkapnya...

Regulasi Memasuki Blog ini

  1. Blog ini adalah Blog pribadi, yang lebih mengacu pada pengalaman dari keseharian kehidupan saya. Tidak ada orientasi bisnis, politik, SARA atau afiliasi tertentu.
  2. Blog ini adalah murni hasil usaha tangan saya (meski domainnya numpang) bukan hasil beli, pinjem atau bahkan nyolong.
  3. Seluruh tulisan dalam Blog ini yang meliputi catatan, tutorial, sajak, cerpen maupun artikel adalah murni tulisan saya, bukan membajak, atau njiplak. (kecuali beberapa tulisan pada category Cerpen Mereka, itu saja)
  4. Seluruh tulisan dalam Blog ini masih pada batasan yang bisa saya pertanggungjawabkan
  5. Dikarenakan  lalu lintas dunia maya yang tak pernah ada habisnya dan tak kenal waktu, saya mengijinkan siapapun yang mampir di Blog ini untuk me-repost, mengambil atau menyebarkan sampah-sampah ini selama masih mencantumkan nama authornya, dan akan lebih bagus lagi jika disertakan link ke blog ini.
  6. Silahkan dikritik jika perlu dikritik, karena memang banyak kekurangan disana-sini (maklum, mungkin saya satu dari beberapa blogger miskin yang bergantung pada komputer hasil pinjaman dan mempostingnya dari warnet-warnet di pinggiran jalan)


          Salam Hangat


          Mahfud
Selengkapnya...

Tragis (Sebuah Cerita Baru)

Nasibmu, Nak! kau beruntung mendapatkan perhatian lebih dari Tuhanmu. Ya. Sebab Dia tahu betapa besar cita-cita yang ingin kau capai. Aku iri, ingin jadi dirimu, hanya saja rasanya aku masih belum mampu. Dan tentu tidak semua orang bisa melalui apa yang sudah kau pijak.

Tapi apa tanggapanmu? “persetan dengan ocehanmu! siapa yang peduli dengan mau Tuhan? Sedang mereka lebih menganggap aku sebagai orang yang gagal. Sebagai ‘percontohan’ yang tak perlu dibayar bahkan dengan ucapan terimakasih sekalipun.”

Begitulah kau yang kukenal. Walau begitu di satu sisi, kau lebih suka menganggap semuanya sebagai ‘pelajaran’. Kau masih dalam kesadaran, dimana manusia hanya objek yang jauh dari kesempurnaan. Kau juga tahu bahwa Tuhan memang begitu sayang. Kau tersenyum. Senyum kecut semacam sindiran buat dirimu sendiri, “sempurna” katamu, “sempurna!!!”

Dulu kau bilang mentalmu sudah menjadi baja, bicaramu dewasa, asam garam sudah banyak kau makan. Saat kutanyakan perihal kegundahan itu, kau acapkali bertutur bahwa kau selalu pernah mengalami hal yang lebih buruk daripada ‘ini atau itu’. Aku percaya saja. Siapa yang tak percaya? jatuh tertimpa tangga sudah menjadi langgananmu.

“Tragis…” Baru kali ini kudengar kau berkata demikian. Aku bertanya-tanya dimana mental bajamu? Tapi kau malah tersenyum. “Ini bukan perkara mental baja, percikan semangat, atau keputusasaan” katamu. Tapi sekali lagi kau bilang “tragis”. Aku diam saja. Dan saat itulah kau mulai bercerita. Sebuah cerita terbaru. Aku mendengarkan:

***
        Siapa yang tak tak ingin menjadi lebih baik? aku begitu menyukai hidupku dengan semua titik yang kulakoni. Betapa besarnya rencanaku, meski aku tak pernah tau betapa besar rencana Tuhan buatku.
Tiap malam aku selalu menanti kehadiran-Nya. Kupandangi langit, kupejamkan mata untuk merasakan kehadiran-Nya. Entahlah, aku tak bisa menghitung jam-jam, hari-hari, bahkan bulan-bulan yang kuhabiskan buat memecahkannya.
        Dan di malam yang kunanti-nantikan itu, barulah aku tahu dan menemukan-Nya. Aku senang, tak pernah segirang itu. Sekarang aku sudah tidak bersedih lagi. Aku sudah tidak peduli lagi dengan rancangan, jadwal, target, pencapaian…… seperti yang selama ini kutenteng kesana kemari. Aku sudah lelah dengan itu. Biarlah semua berlalu bersama mereka yang mengharapkannya.
        Aku tak peduli lagi. Aku hanya ingin berjalan di tempat yang tepat. Aku sudah menepatinya, dan akan menepatinya.

***
Aku tak mengerti apa yang kau katakan sebagai tragis itu. Kau aneh. Lalu dengan suara lirih, tapi pasti, kau coba jawab pertanyaan yang masih bersarang di otakku.

“Aku gagal lagi” katamu, “Aku kembali gagal. Aku gagal saat aku sudah rencanakan semuanya, aku gagal setelah melangkah begitu jauh meninggalkan yang kupunya, melewati jalan terjal berliku-berduri, hutan belantara, gunung-gunung, bukit-bukit. Tapi aku tak bisa melewati seutas benang. Seutas benang.”

Seutas benang? tanyaku “Ya, seutas benang” ceritamu, “seutas benang, yang pemotongnya tak kutemukan sepanjang perjalanan. Entahlah! Apa nanti kata mereka, kata bapak-bapak itu, bocah-bocah disana. Apalah peduliku?” kau tersenyum.

Hmmmmm…. Tragis, memang tragis. Kau terlanjur berjalan kemana-mana, mengembalikan rasa optimis dan selera hidupmu, membangun kepercayaan diri, buatmu dan teman-temanmu. Kau terlanjur melakukan semuanya, mengabarkan seluruhnya, tanpa menghasilkan apa-apa.

Lalu apa hubungannya dengan cerita tentang ‘Tuhanmu’ itu??

“Tak ada!!! Hehehehhe”

Sudahlah! aku tahu kau juga tak suka membicarakannya. Aku juga tak akan menanyakan perihal ini lagi. Lupakan! Tak usah dibahas.


jalan raya, 31 Agustus 2010
(sambil tersenyum2 paksa, tapi tidak gila)
Selengkapnya...

Haruskah Kita Bertanggungjawab?

Anda mungkin tidak akan berani bertanggungjawab atas apa yang terjadi di sekitar anda. meskipun anda melihat, atau bahkan terlibat di dalamnya.
Di tempat kerja anda, saya tahu betul jika anda capek. Belum sempat anda memejamkan mata sekedar untuk istirahat, tiba2 salah seorang karyawan membangunkan anda lantaran koneksi di server putus. Dan anda akan disibukkan dengan pekerjaan mengecek jaringan kesana kemari, menelpon nomor-nomor tak penting, dan yang lebih parah istirahat anda bisa tertunda hingga beberapa jam.
Jika listrik padam, maka anda adalah orang yang pertama kali harus bangun. Jika PDAM mampet, anda pula yang harus menyelesaikan. Jika ada beberapa komputer rusak, kotor, atau perlu reparasi/pembersihan, maka anda adalah orang yang tepat untuk memenuhi pekerjaan tersebut.
Bagi anda, mungkin pekerjaan-pekerjaan itu istimewa, jika kepala anda pusing, punggung anda serasa mau putus, maka anda akan menghiburnya dengan perkataan "Ah, betapa banyak pekerjaan yang sudah kuselesaikan hari ini". Dan anda sudah merasa mengerjakan banyak pekerjaan daripada mereka. Padahal mereka belum tentu mempedulikannya.
Tapi apakah anda perlu ikut bertanggungjawab atas hal-hal selain itu?
Apakah anda perlu ikut bertanggungjawab atas banyaknya anak bolos sekolah akibat pekerjaan anda?
Apakah anda harus bertanggungjawab terhadap mereka yang suka membawa minuman keras hampir setiap malam ke tempat kerja anda?
Apakah anda ikut bertanggungjawab terhadap merosotnya pendidikan? merosotnya moral? habisnya uang saku mereka pada hal-hal mudharat?
Anda bisa saja menyaksikan anak dipukuli bapaknya, ditendang ibuknya lantaran tak sekolah. Anda mungkin saja kena semprot oleh pejabat yang anaknya sering bolos di tempat anda.

Tetapi anda tentu tak ingin bertanggungjawab, bukan? Sedang mereka tak pernah peduli dengan nasib anda. Mungkin peduli saat kantong anda tebal, Saat anda bisa membagi-bagikan rokok atau beberapa gelas minuman. Mereka tak peduli dengan keuangan anda.
Mungkin karena anda harus menyetor uang ke bank tiap minggu, menangani pembayaran listrik dan air tiap bulan, mengecek keuangan jatah peralatan elektronik, keuangan administrasi, berjudi bila perlu, minum bila perlu, membeli banyak rokok jika perlu, bermain-main ketempat teman meski tak perlu, ya, mungkin karena semua itu, orang akan menyangka jika anda sudah berkantong tebal.

Tapi tetap saja mereka tak akan berani bertanggungjawab jika kantong anda menipis.
Selengkapnya...

Kiriman Dari Seorang Teman

Kepada siapakah engkau mengeluh? Kepangkuan siapa engkau menumpahkan airmata? Pintu rumah siapa yang engkau ketuk untuk meminta tolong?
Kalau hari janji telah tiba untuk membayar utang, padahal beras di dapur pun sudah menipis.
Apakah engkau akan mengetuk rumah para artis dan bintang film yang uangnya berlebih dan credit card-nya bertumpuk-tumpuk?
Kalau untuk memperoleh pekerjaan dua hari lagi engkau harus menyediakan ratusan ribu atau sekian juta rupiah uang terobosan: Apakah engkau akan bertamu ke rumah-rumah para eksekutif yang tinggal sekampung denganmu?
Kalau istrimu hendak melahirkan, apakah engkau bisa meminjam kendaraan tetanggamu yang rumahnya berpagar tinggi itu, atau bisakah engkau mencegat kendaraan-kendaaan pribadi yang kosong yang lalu-lalang di jalan umum?
Kalau nasibmu ditimpa gludug "rasionaliasi" alias di-PHK-kan, bisakah engkau lapor kepada Pak RT, Pak RW, Pak KAdus, Pak Kades atau para pamong lainnya yang merupakan pengayom masyarakat?
Kalau dalam suatu kasus atau konflik di kantor engkau tercampakkan karena engkau tak memiliki kekuasaan, backing dan relasi akankah engkau menumpahkan airmata di kantor Polsek atau Koramil?
Kalau tanah-rumahmu dan tanah rumah teman-temanmu sekampung atau sekecaman digusur tanpa ganti rugi yang memadai setidaknya karena disunat oleh oknum-oknum pelaksananya: ke manakah engkau akan lari? Apakah ke Kantor Pimpinan Wilayah Muhammadiyah? Kantor Cabang NU? Atau kantor Orwil ICMI Atau ke rumah KH. Zainuddin MZ?
Kalau rasa cemburu memanggang dada-mu karena melihat tetangga begitu gampang berganti-ganti mode mobil. Kalau rasa jengkel menampar-nampar perasaanmu karena meiyaksikan jumlah kendaraan pribadi memenuhi lebih dari lima puluh persen jalan-jalan di kotamu. Kalau rasa perih, sakit dendam, menikam jantung ruhanimu, karena menghayati perbedaan-perbedaan tingkat hidup yang mencolok, menghayati ketimpangan, kesenangan dan ketidakseimbangan. Siapakah yang bersedia mendengarkan keluhanmu? Pak Pendeta? Pak Cendekiawan? Pak Seniman? Pak Ulama? Pak Khatib di rumah ibadah yang kata-katanya justru harus engkau dengarkan?
Kalau hatimu bingung oleh kesumpegan ekonomi. Kalau perasaanmu gundah oleh pusingan-pusingan hidup yang bak lingkaran setan. Kalau jiwamu serasa akan berputus asa karena sedemikian sukarnya menempuh hidup yang benar. Kalau sukmamu rasanya mau copot karena himpitan-himpitan nasib yang tak tertahankan.

Ke mana dan kepada siapakah engkau rebahkan keletihamu?
Kepada minuman keras, ganja, arak dan joget dangdut, mengasyiki ramalan angka-angka, menghirup rasa aman yang praktis melalui pengajian-pengajian akbar?
Adakah peluang, dan tidakkah dilarang, untuk mengemukakan isi hati kita seadanya dan sejujur-jujurnya kepada Pak Lurah, Pak Polisi, Pak Kiai, Pak Menteri, Pak Ilmuwan, Pak Wakil rakyat, Pak Profesional dan lain-lain?
Kalau memang mungkin kapan dan di mana? Bolehkah mendambakan bahwa Pak-pak itu pernah sesekali bertanya kepadamu tentang apakah hatimu sedang bersedih, apakah ada kesulitan dan problem yang tak bisa diatasi?
Kalau tidak, lantas kepada siapa engkau nengeluh? 


Selengkapnya...

Tak Berkesudahan

Sedikitpun tiada pernah terbersit dalam benak saya menjalani hidup semacam ini. Tapi pantaskah kita mengeluh? sedang keluhan tidak akan menyelesaikan semuanya. Hidup memang butuh keputusan, apapun itu. Saya sadar, jika keadaan menentukan pilihan kita. Kemudian kita akan berdalih dengan berbagai cara sebisa kita.
Hmmm, rupanya ketersediaan maaf pada diri sendiri pun terbatas. Kala kepasrahan telah memuncak, tak ada lagi yang bisa dilakukan kecuali memaki dan mengumpat pada diri yang bersalah.
"Ya Rab, aku butuh ampunan-Mu atas semua ini. Biarlah semua termakan waktu, tetapi jiwaku masih tunduk pada-Mu."
Kemudian cahaya yang melintas hilang sudah, entah kapan ia akan datang. Benar-benar pertobatan yang sia-sia. Seiring dengan berjaannya hari, aku terpaku meratap dan melamun dengan dalih-dalihku yang tak berkesudahan. Aku masih menginginkannya. Selengkapnya...

Belum Bisa

Belum bisa melupakan apa yang sudah terjadi. Kadang aku menyesal melihatnya. Bahkan memandang matanya pun aku tak mampu. Ya Allah. Bukankah ini semua masih akan berlanjut? aku tak ingin perasaan ini menghantuiku. Lalu... aku akan mati konyol termakan zaman yang selalu menuntut perubahan. Sedang diriku, masih belum berubah dengan perasaanku itu.

Hahaha.... akan lebih menyenangkan lagi, jika aku mati saja... Selengkapnya...