Tragis (Sebuah Cerita Baru)

Nasibmu, Nak! kau beruntung mendapatkan perhatian lebih dari Tuhanmu. Ya. Sebab Dia tahu betapa besar cita-cita yang ingin kau capai. Aku iri, ingin jadi dirimu, hanya saja rasanya aku masih belum mampu. Dan tentu tidak semua orang bisa melalui apa yang sudah kau pijak.

Tapi apa tanggapanmu? “persetan dengan ocehanmu! siapa yang peduli dengan mau Tuhan? Sedang mereka lebih menganggap aku sebagai orang yang gagal. Sebagai ‘percontohan’ yang tak perlu dibayar bahkan dengan ucapan terimakasih sekalipun.”

Begitulah kau yang kukenal. Walau begitu di satu sisi, kau lebih suka menganggap semuanya sebagai ‘pelajaran’. Kau masih dalam kesadaran, dimana manusia hanya objek yang jauh dari kesempurnaan. Kau juga tahu bahwa Tuhan memang begitu sayang. Kau tersenyum. Senyum kecut semacam sindiran buat dirimu sendiri, “sempurna” katamu, “sempurna!!!”

Dulu kau bilang mentalmu sudah menjadi baja, bicaramu dewasa, asam garam sudah banyak kau makan. Saat kutanyakan perihal kegundahan itu, kau acapkali bertutur bahwa kau selalu pernah mengalami hal yang lebih buruk daripada ‘ini atau itu’. Aku percaya saja. Siapa yang tak percaya? jatuh tertimpa tangga sudah menjadi langgananmu.

“Tragis…” Baru kali ini kudengar kau berkata demikian. Aku bertanya-tanya dimana mental bajamu? Tapi kau malah tersenyum. “Ini bukan perkara mental baja, percikan semangat, atau keputusasaan” katamu. Tapi sekali lagi kau bilang “tragis”. Aku diam saja. Dan saat itulah kau mulai bercerita. Sebuah cerita terbaru. Aku mendengarkan:

***
        Siapa yang tak tak ingin menjadi lebih baik? aku begitu menyukai hidupku dengan semua titik yang kulakoni. Betapa besarnya rencanaku, meski aku tak pernah tau betapa besar rencana Tuhan buatku.
Tiap malam aku selalu menanti kehadiran-Nya. Kupandangi langit, kupejamkan mata untuk merasakan kehadiran-Nya. Entahlah, aku tak bisa menghitung jam-jam, hari-hari, bahkan bulan-bulan yang kuhabiskan buat memecahkannya.
        Dan di malam yang kunanti-nantikan itu, barulah aku tahu dan menemukan-Nya. Aku senang, tak pernah segirang itu. Sekarang aku sudah tidak bersedih lagi. Aku sudah tidak peduli lagi dengan rancangan, jadwal, target, pencapaian…… seperti yang selama ini kutenteng kesana kemari. Aku sudah lelah dengan itu. Biarlah semua berlalu bersama mereka yang mengharapkannya.
        Aku tak peduli lagi. Aku hanya ingin berjalan di tempat yang tepat. Aku sudah menepatinya, dan akan menepatinya.

***
Aku tak mengerti apa yang kau katakan sebagai tragis itu. Kau aneh. Lalu dengan suara lirih, tapi pasti, kau coba jawab pertanyaan yang masih bersarang di otakku.

“Aku gagal lagi” katamu, “Aku kembali gagal. Aku gagal saat aku sudah rencanakan semuanya, aku gagal setelah melangkah begitu jauh meninggalkan yang kupunya, melewati jalan terjal berliku-berduri, hutan belantara, gunung-gunung, bukit-bukit. Tapi aku tak bisa melewati seutas benang. Seutas benang.”

Seutas benang? tanyaku “Ya, seutas benang” ceritamu, “seutas benang, yang pemotongnya tak kutemukan sepanjang perjalanan. Entahlah! Apa nanti kata mereka, kata bapak-bapak itu, bocah-bocah disana. Apalah peduliku?” kau tersenyum.

Hmmmmm…. Tragis, memang tragis. Kau terlanjur berjalan kemana-mana, mengembalikan rasa optimis dan selera hidupmu, membangun kepercayaan diri, buatmu dan teman-temanmu. Kau terlanjur melakukan semuanya, mengabarkan seluruhnya, tanpa menghasilkan apa-apa.

Lalu apa hubungannya dengan cerita tentang ‘Tuhanmu’ itu??

“Tak ada!!! Hehehehhe”

Sudahlah! aku tahu kau juga tak suka membicarakannya. Aku juga tak akan menanyakan perihal ini lagi. Lupakan! Tak usah dibahas.


jalan raya, 31 Agustus 2010
(sambil tersenyum2 paksa, tapi tidak gila)
Selengkapnya...