Moksa


By: Putu Wijaya

Telepon berdering di kamar praktik dokter Subianto. Dokter yang sedang menyanyi-nyanyi sambil memeriksa pasiennya itu, mengangkat telepon.
"Hallo, ini pasti kamu Moksa!"
"Bener, Pak."
"Kamu kan janji mau pulang. Jam begini kamu kok belum datang?"
"Moksa tidak jadi pulang."
"Lho, kenapa? Kamu bilang kamu butuh duit untuk beli kado buat teman baik kamu itu."
"Pokoknya tidak jadi. Dan Moksa tidak jadi pulang. Mau langsung ke pesta ulang tahun kawan itu."
"Lho, katanya kamu tidak punya uang untuk beli kado!"
"Udah beres!"
"Beres gimana! He Moksa, Ibu kamu minta diantarkan makan di Planet Hollywood."
"Tidak bisa Pak. Besok aja. Moksa pulang besok, Minggu."
"Tapi kamu kan butuh duit..."
"Udah ya Pak. Selamat malam Minggu sama Ibu. Besok Moksa pulang!"
"Tunggu!"
"Tidak bisa, ini coinnya sudah habis."
Telepon putus.
Dokter Subianto tertegun. Kelihatannya kesal. Dia menghampiri pasiennya dan tanpa ditanya lantas ngomong.
"Anak-anak sekarang memang lain dengan kita dulu," katanya sambil meneruskan menelusuri tubuh pasiennya dengan stetoskop.
"Kenapa, Dok?"
"Itu anak saya yang indekos di Depok supaya dekat sekolahnya, pulangnya hanya sebulan sekali. Ini ibunya sudah rindu setengah mati, tapi dia nggak jadi pulang. Padahal kemaren merengek-rengek minta uang bulanannya ditambahin 100 ribu, sebab ada kawannya yang ulang tahun. Saya bilang boleh saja, asal jelas untuk apa, tetapi harus pulang dulu! Sekarang dia tidak mau pulang. Dia cuma mau uangnya. Akibat iklan-iklan tv, anak-anak sekarang memang jadi mata duitan semuanya. Oke. Sudah. Anda sudah tokcer. Anda sudah boleh melakukan apa saja dan makan apa saja sekarang, asal jangan berlebihan seperti pejabat-pejabat yang KKN itu!"
Pasien mengucapkan terima kasih, lalu pergi keluar. Dokter Subianto kembali menggumankan lagu kegemarannya. Langgam Melayu Seroja ciptaan almarhum S. Effendie.
"Mari menyusun, bunga Seroja......"
Pintu belakang terbuka. Kepala istrinya nongol.
"Moksa nelpon ya?"
Dokter menarik napas panjang.
"Ya. Tapi dia tidak bisa pulang. Tetap saja urusannya sendiri yang lebih penting. Kita memang sudah dia tinggalkan. Ini memang nasib semua orang tua. Uang sakunya harus dikurangi lagi, supaya dia terpaksa pulang."
Istri dokter masuk. Dia tampak sangat gembira. Dokter Subianto jadi heran.
"Kenapa kamu gembira sekali, padahal kamu harusnya marah besar sebab tidak jadi ke Planet Hollywood, sebab tidak ada yang mengantar, karena aku juga tidak bisa membatalkan pertemuanku dengan dokter Faizal malam ini di rumahnya!"
Istri dokter Subianto duduk di kursi.
"Aku bisa ke Planet Hollywood kapan saja. Tidak pergi juga tidak apa. Aku sudah cukup senang dengar apa yang diceritakan Moksa di telepon tadi."
"O jadi dia sudah menelpon kamu sebelum menelpon aku? Anak-anak memang semuanya lebih cinta kepada ibunya daripada papanya."
"Bukan begitu. Dia tahu kamu lagi praktek, jadi dia ceritakan saja kepadaku. Nah sekarang aku menceritakan kepada kamu."
"Apa lagi apologinya kali ini?"
"Bukan apologi."
"Apa lagi rayuannya kali ini supaya kamu tidak marah dan menyediakan duit 100 ribu besok, karena dia sudah pinjam dari temannya, sebab itu memang lebih praktis daripada pulang naik bus yang kumuh, sesak dan panas. Ah anak-anak sekarang memang sulit dilatih prihatin. Maunya enak. Ini gara-gara gaya hidup wah yang sudah dipompakan oleh televisi dan majalah-majalah wanita!"
Istri dokter Subianto tersenyum saja. Sekali ini ia tidak mencoba mendebat suaminya. Ia menunggu sampai lelaki itu tenang. Lalu sambil tersenyum bangga ia bercerita.
"Anakmu Moksa sudah melakukan sesuatu yang amat mengharukan hari ini," kata wanita itu dengan mata berkaca-kaca. "Dia sama sekali tidak meminjam uang temannya untuk beli kado. Tapi dia berusaha dengan cucur-keringatnya sendiri. Dan kamu pasti akan terkejut kalau mendengar apa yang sudah dikerjakannya untuk mendapatkan uang."
Tiba-tiba wanita itu tidak dapat menahan emosinya. Ia menangis, tetapi bukan sedih. Tangis haru karena gembira. Dokter Sugianto jadi berdebar-debar.
"Apa lagi yang dilakukan oleh Moksa? Dia mencuri?"
Nyonya dokter berhenti menangis.
"Masak mencuri!"
"Habis apa? Kamu kok menangis?"
"Aku menangis karena terharu."
"Kenapa terharu?"
"Sebab anakmu ngamen di dalam bus!"
"Apa?"
"Ngamen!"
Dokter Subianto tertegun. Tak percaya apa yang baru saja didengarnya. Dan tambah tak percaya lagi ketika istrinya menambahkan.
"Dan dia menyanyikan lagu Seroja kegemaranmu itu di dalam bus dengan gitarnya. Banyak orang terharu. Suaranya kan memang bagus dan main gitarnya pinter. Tak tersangka-sangka ia bisa mengumpulkan banyak, karena orang-orang itu memberinya dengan senang hati."
Dokter Subianto tak mampu bicara apa-apa. Ia ikut terharu. Anak yang selalu dikhawatirkannya sudah hampir sesat karena pergaulan metropolitan, ternyata masih lempeng. Bahkan mampu berdikari mencari duit dengan ngamen. Itu memerlukan keberanian dan ketekunan. Tidak sembarang orang akan mampu berbuat seperti itu. Itu harus dibanggakan.
Pintu kamar praktek terbuka. Zuster yang membantu mengatakan di depan masih ada satu pasien lagi hendak masuk. Istri dokter menghapus air matanya lalu diam-diam masuk ke dalam. Waktu itu dokter Subianto tak mampu menahan kucuran air matanya. Ia cepat berpaling ke sudut dan menghapus rasa haru itu.
Ketika Subianto berbalik dan berhasil menenangkan perasaannya, di depan mejanya sudah duduk pasien. Orangnya hitam kurus, pakai rompi hitam dan nampak amat kesakitan. Setelah diperiksa ternyata ia memiliki benjolan merah di dada kanannya. Dokter Subianto memperkirakan itu semacam tumor lemak. Ia cepat menulis resep.
"Dalam tiga hari, kalau tidak ada perbaikan, cepat datang lagi kemari. Mungkin memerlukan perawatan lain. Tapi kalau sudah mendingan, teruskan minum obatnya sampai habis. Ini ada 4 macam."
Subianto menyerahkan resep itu. Pasien melihat ke atas resep lalu memandang ke dokter seperti bimbang.
"Kok banyak sekali Dokter?"
"Bisa diambil separuhnya saja dulu."
"Ini kira-kira berapa Dokter?"
"Ya mungkin sekitar seratus ribu. Sekarang obat-obatan memang mahal sekali."
Lelaki itu tertegun. Dokter Subianto heran.
"Kenapa?"
"Saya tidak punya uang Dokter. Bahkan saya juga tidak punya uang lagi untuk bayar Dokter. Tadi di dalam bus waktu kemari, saya ketemu dengan seorang anak muda. Kelihatannya lagi susah. Karena ia duduk di samping saya, saya tanyakan apa sebabnya. Ia mengatakan bahwa ia tidak punya uang untuk beli kado, buat teman baiknya. Saya katakan kepada dia, bahwa kado itu bukan tujuan dari ulang tahun. Kita datang dengan tangan kosong dengan hati bersih saja sudah cukup. Dia termenung mendengar apa yang saya katakan. Lalu saya menceritakan banyak hal, panjang lebar, karena saya lihat dia begitu sungguh-sungguh mendengarkan. Waktu turun, dia mencium tangan saya dan mengucapkan terima kasih. Saya tanyakan siapa namanya dan siapa orang tuanya. Tapi dia tidak mau menjawab. Namun saya yakin karena suaranya, tubuhnya, dan gerak-geriknya juga hidungnya anak itu....... anak Dokter. Maaf, Dokter punya anak yang tinggal di daerah Depok, bukan?"
Dokter Subianto terkejut.
"Ya, anak saya Moksa, indekos di situ."
"Dia memiliki tahi lalat di mata kanannya?"
"Ya betul."
"Maaf, kalau tidak salah, kidal?"
"Betul."
Pasien itu termenung. Ia kelihatan susah ngomong.
"Kenapa? Bapak kesakitan?"
Pasien itu seperti tak mendengarkan kata dokter, dia terus bercerita.
"Waktu saya mau bayar bus, saya baru sadar, dompet saya sudah hilang. Semua uang saya untuk berobat ada di dalamnya. Saya bingung. Tapi karena sakitnya bukan main, saya teruskan saja kemari. Jadi begitu Dokter. Maaf, apa saya bisa membayar Dokter lain kali saja?"
Dokter Subianto tercengang.
"Jadi, anak saya itu sudah mencopet Bapak?"
"Anak Bapak? Benar dia anak Dokter?"
"Maksud saya, anak itu. Anak itu sudah mencopet Bapak?"
"Saya tidak tahu. Mungkin tidak."
"Berapa isi dompet Bapak?"
"Seratus ribu."
Dokter Subianto termenung beberapa lama. Kemudian dia bergegas membuka laci mejanya. Mengeluarkan 100 ribu dan memberikan kepada orang itu.
"Ini. Tebuslah resep itu."
Orang itu tercengang. Nampak agak malu.
"Pak Dokter meminjami saya uang?" tanyanya seperti tidak percaya.
Dokter Subianto menggeleng. Ia mengajak orang itu ke pintu.
"Tidak. Bapak tidak perlu mengembalikan, pakai saja uang itu untuk menebus resep. Saya justru minta maaf atas kelakuan anak saya. Moksa memang nakal. Saya akan memberi dia peringatan keras. Sekali lagi minta maaf. Kalau ada yang perlu saya bantu, datang saja jangan ragu-ragu."
Dokter Subianto membuka pintu dan mempersilakan.
"Selamat malam."
Orang itu nampak seperti merasa bersalah. Ia ingin mengucapkan sesuatu, tetapi Subianto cepat menutup pintu. Lalu menjatuhkan badannya di kursi sambil memukul meja.
"Bangsat!"
Untung tidak ada pasien lagi. Konsentrasi Subianto sudah buyar. Begitu selesai praktek, ia menceritakan secara sekilas apa yang sudah terjadi pada istrinya. Tanpa mendengarkan komentar istrinya, ia langsung masuk ke mobil, menuju ke rumah pondokan Moksa di Depok.
Subianto terpaksa menunggu di ruang tamu, karena Moksa baru saja berangkat ke pesta. Ia menghabiskan 5 gelas teh, karena perasaannya tak menentu. Tengah malam Moksa baru muncul. Anak itu juga nampak heran melihat papanya sudah menunggu.
"Kan saya bilang besok pulangnya, Pak?"
Subianto menyembunyikan kemarahannya dengan senyuman.
"Ibumu tidak bisa menunggu sampai besok. Kamu harus pulang sekarang."
Moksa terpaksa ikut. Dengan muka agak mengantuk, ia duduk di mobil di samping bapaknya. Ketika ia hampir saja tertidur, bapaknya mulai bicara.
"Bapak dengar kamu sudah ngamen tadi untuk dapat beli kado."
"O Ibu udah cerita?"
"Ya. Dapat berapa?"
"Lumayan. Yang penting kan bukan kadonya tetapi kehadirannya."
"Jadi kamu menyanyikan lagu Seroja di dalam bus?"
Moksa tersenyum.
"Bener kamu menyanyikan lagu Seroja?"
"Ya bener dong, masak tidak."
Subianto mengangguk.
"Di antara yang memberi kamu uang, ada lelaki pendek hitam dan memakai rompi hitam?"
Moksa mengerling.
"Kok Bapak tahu?"
"Ibu kamu menceritakan semuanya."
"Tapi Moksa tak menceritakan tentang orang itu."
"O ya?"
"Moksa hanya bilang, orang-orang di dalam bus itu heran sebab Moksa ngamennya lain. Kok pakai lagu Seroja. Mereka tertarik dan menanyakan apa Moksa pengamen betulan? Moksa jawab tidak. Cuma iseng. Kebetulan kurang duit buat beli kado untuk temen. Ee tahunya semua pada bersimpati, lalu ngasih. Kecuali Bapak itu."
"Bapak yang mana? Yang pakai rompi hitam?"
"Bapak kok seperti paranormal, tahu aja. Ya, dia pakai rompi hitam. Dia paling menikmati lagu Moksa tapi nggak mau ngasih duit."
"O ya? Dia tidak ngasih apa-apa?"
"Nggak. Nggak ngasih apa-apa. Tapi untuk menghargai perhatiannya pada lagu Moksa, Moksa menyanyikan lagu itu sekali lagi khusus untuk dia. Lalu dia memanggil Moksa. Katanya, itu lagu nostalgianya. Moksa juga bilang itu lagu nostalgia Bapak. Lantas dia nanya siapa sebenarnya Moksa. Ya Moksa terus terang saja, Moksa ini anak dokter Subianto. Dia manggut-manggut. Dia terus mendesak supaya Moksa mnceritakan tentang Bapak. Ya Moksa cerita seadanya saja, semuanya. Lama juga kami ngobrol. Kami salam-salaman sebelum pisah. Moksa terus ngamen sampai capek, karena rasanya enak dapat uang karena cucur keringat sendiri, makanya kagak jadi pulang."
Dokter Subianto tertegun. Ia menghentikan mobil.
"Kenapa Pak? Ngantuk?"
Subianto menggeleng.
"Nggak. Aku hanya terkejut."
"Kenapa?"
"Karena Bapak kira Bapak ini cerdik, ternyata dengan gampang ditipu orang."
"Ditipu bagaimana?"
"Dikerjain. Melayang seratus ribu rupiah dalam sekejap!"
"O ya? Kok bisa?"
Dokter Subianto menarik napas panjang, lalu menceritakan apa yang sudah terjadi di kamar praktek sore itu. Moksa mendengar dengan penuh perhatian.
"Jadi orang itu datang ke ruang praktek Bapak?"
"Ya. Karena dia tahu data-data kamu, dia datang dengan begitu meyakinkan. Dia menjual cerita bohong dengan begitu lihai, sehingga Bapak kehilangan 100 ribu. Habis dia bilang, dia tergugah mendengar cerita kamu. Masak anak dokter kok ngamen. Lalu dia mengeluarkan uang dari koceknya dan memberi kamu 100 ribu. Padahal uang itu mestinya untuk beli obat. Bapak jadi merasa tak enak. Akhirnya Bapak terpaksa mengganti 100 ribunya. Dia berhasil menipu Bapak dengan mempergunakan data dari kamu. Itu pasti penjahat profesional. Sebelum melakukan kejahatannya, dia pasti sudah menyelidiki kita. Dia tahu siapa kamu dan siapa Bapak. Kalau tidak, dia tidak akan berhasil menipu dengan selicin itu. Dunia ini sudah penuh dengan kejahatan sekarang. Bapak harus lebih waspada sekarang. Kamu juga harus hati-hati."
Moksa terdiam. Ia nampak memikirkam dalam-dalam. Lalu Subianto menghidupkan mesin kembali. Mobilnya meluncur seperti kesetanan. Di rumah ia hampir saja menubruk pagar.
Istri dokter Subianto memeluk Moksa begitu mereka sampai.
"Kamu anak hebat. Ternyata kamu bisa mandiri, kalau kamu mau. Ibu bangga sekali pada kamu!"
Subianto cepat-cepat pergi ke kamar studinya. Kalau sedang senewen, ia suka tidur di situ menyepi. Tanpa salin pakaian, ia berbaring. Kecewa karena merasa sudah gagal mendidik anak. Ia menyesali dirinya karena terlalu sibuk. Kenapa ia dulu memilih jadi dokter, padahal ia tahu dokter sepanjang hari sibuk, tak akan sempat memperhatikan anak. Mestinya dia jadi seniman saja, supaya bisa menemani anak 24 jam. Mestinya ia tidak membiarkan Moksa indekos di Depok, supaya bisa diawasi terus. Sekarang sudah terlambat.
"Kini sudah waktunya. Aku harus, harus, harus, harus bicara pada Moksa secara blak-blakan, serius, dan keras. Kalau tidak, akan terlalu terlambat!" bisiknya dengan geram.
Sampai subuh, Subianto tak bisa memincingkan matanya. Tapi baru saja lelap sebentar, istrinya muncul membangunkam. Ternyata hari sudah pukul sebelas siang.
"Moksa sudah menunggu kamu sejak tadi. Dia ingin bicara. Kelihatannya serius sekali," kata istrinya.
Subianto duduk lalu memberi isyarat supaya Moksa disuruh masuk. Perempuan itu berbalik lalu memberi isyarat pada anaknya yang sudah sejak tadi menunggu di pintu. Dengan anggukan rahasia Subianto minta supaya istrinya pergi.
"Selamat siang, Pak. Bapak nggak ke kantor?"
"Selamat pagi Moksa. Bapak kurang enak badan. Kamu mau bicara dengan Bapak?"
"Ya."
Subianto memandangi Moksa tajam.
"Apa lagi? Mau menuntut kenaikan uang saku?"
"Tidak."
"Tidak? Lalu apa?"
Moksa terdiam.
"Ada apa Moksa?"
Moksa menunduk. Setelah diam beberapa lama, ia berbisik. Suaranya hampir tidak kedengaran.
"Pak, kenapa Bapak percaya pada Moksa?"
Giliran Subianto yang terkejut.
"Maksudmu apa?"
"Kata Bapak, Bapak sudah ditipu oleh pasien yang mengaku memberi Moksa uang seratus ribu itu!?"
"Betul."
"Berarti, Bapak percaya pada Moksa, dong!"
Subianto terdiam. Dadanya berdetak keras.
"Kenapa Bapak tidak percaya kepada orang itu?"
Subianto mengalihkan pandangan. Itu pertanyaan yang sulit.
"Kenapa Pak?"
Subianto menghela napas.
"Karena kasihan?"
"Tidak. Kenapa kasihan?"
"Kalau begitu kenapa?"
"Karena aku percaya kepada kamu, Moksa."
Moksa termenung beberapa lama.
"Jadi Bapak lebih percaya kepada Moksa?"
"Ya dong!"
"Jadi masih percaya?"
Subianto menarik napas.
"Ya dong! Kenapa tidak?"
Moksa menunduk. Tiba-tiba ia menangis. Subianto sangat terkejut. Tapi ia berusaha menahan perasaannya.
"Kamu menangis Moksa?"
Moksa mengangguk. Ia berusaha menahan isakannya.
"Kenapa kamu menangis?"
"Moksa malu, Pak."
"Malu? Kenapa?"
"Malu, karena Bapak masih percaya kepadaku."
Subianto terdiam. Moksa memaksa dirinya berhenti menangis. Lalu ia memandangi bapaknya.
"Moksa jadi malu sekali, sebab Bapak masih percaya pada Moksa. Beri Moksa kesempatan satu kali lagi Pak. Moksa akan mengubah semuanya ini. Bapak mau memberi Moksa kesempatan?"
Subianto bingung. Ia tidak tahu apa yang lebih baik. Menjawab ya atau tidak. Akhirnya ia menjawab, seperti orang yang bingung.
"Tak ada yang harus dimaafkan. Kalau kamu nanti besar dan sudah punya anak, kamu akan tahu sendiri, di dalam keluarga tidak ada maaf, semuanya sudah diselesaikan dengan sendirinya. Karena kepada siapa lagi kita bisa berbuat kesalahan kecuali kepada orang tuamu yang menyayangimu?!"
Moksa nampak semakin tertikam. Tapi kemudian ia berdiri dan menghampiri bapaknya. Memegang tangan orang tua itu, lalu menciumnya.
"Maap Pak."
Subianto tambah bingung. Ia mengangkat tangan dan mengusap kepala Moksa. Anak itu menangis kembali.
"Terima kasih, Bapak masih percaya kepada Moksa. Tidak ada yang lebih berharga dari kepercayaan Bapak buat Moksa. Moksa akan berusaha baik lagi, Pak. Moksa pergi sekarang, Pak, ada banyak PR. Moksa tidak mau ketinggalan lagi. Jangan katakan sama Ibu, ya Pak!"
Subianto mengangguk, lalu membarut kepala Moksa. Kemudian mencium kening anak yang cakep tapi badung itu. Moksa menangis lagi. Ia memeluk bapaknya erat-erat, kemudian cepat-cepat hendak pergi ketika terdengar suara pintu terbuka. Tapi ibunya keburu masuk.
Istri Subianto yang masuk karena mendengar suara tangis, terkejut karena tiba-tiba anak itu memeluk.
"Ibu, Ibu punya seorang suami yang hebat. Moksa ternyata punya Bapak yang hebat. Moksa balik dulu sebab banyak urusan. Nanti Moksa nelpon lagi. Kapan-kapan Moksa anterin Ibu ke Planet Hollywood. Moksa yang akan traktir dengan hasil ngamen."
Tak menunggu jawaban, Moksa mencium pipi ibunya, lalu bergegas keluar. Wanita itu hendak memburu keluar, tetapi Subianto memberi isyarat.
"Jangan, biar saja dia pergi."
Perempuan itu bingung.
"Tapi, kamu kemaren bilang, ini sudah terlalu berbahaya."
Subianto menggeleng.
"Kita harus memberi dia kepercayaan."
"Tapi...mungkin dia perlu uang!"
Subianto menggeleng.
"Kepercayaan adalah segala-galanya. Itu lebih penting dari uang!"
Wajah perempuan itu nampak semakin bingung. Ia mendekati suaminya, lalu mengembangkan tangannya. Di atas tangan itu Subianto melihat bungkusan plastik dengan bubuk jahanam.
"Aku temukan ini di kamar mandi. Moksa pasti kelupaan."
Dokter Subianto bergetar melihat barang-barang jahanam itu. Tetapi ia mencoba tenang. Hanya saja matanya tidak kuat. Nampak tetes air mata dari kedua mata yang sudah banyak diterpa kesedihan itu.
"Kita harus percaya dan menyerahkan dirinya kepada dirinya. Dialah yang paling bisa menjaga dirinya sendiri. Kita harus berhenti jadi polisi dengan memberinya kepercayaan. Inilah harapan kita sekarang, setelah semuanya gagal!" bisiknya sambil mencampakkan benda laknat yang sudah menghancurkan Moksa itu.
"Kita lawan semua ini dengan kepercayaan."
"Tapi apa bisa hanya dengan kepercayaan, Pa? Moksa sudah parah!"
"Kamu kira aku percaya pada semua ini? Tidak, Bu. Aku juga tidak percaya. Tapi kita harus percaya. Kita harus percaya Moksa akan bisa melawan itu semua. Dengan memberinya kepercayaan kita akan membantu ia keluar dari persoalannya. Harus, betapa pun kita tidak percayanya. Harus Bu!"
Istri Subianto terdiam, sementara Subianto sendiri berusaha melawan dirinya sendiri. Ia tahu kepercayaan itu baru bisa bekerja, kalau dia sendiri juga terlebih dahulu percaya.
Selengkapnya...

Mengganti Template Pada Blogspot

Sebelumnya kawan2 bisa mencari berbagai macam template yang sesuai dengan selera melalui "Google". Misalkan dengan mengetikkan "Free Blogger Template" atau "Blogger Templates Download" dan semacamnya.  Kawan2 bisa mendownloadnya dari situs-situs tersebut. Biasanya file-nya langsung berupa XML atau masih berbentuk Winrar Archieve (di-extract dulu). Ingat!!! pilih yang benar-benar sesuai selera.
Pengalaman Penulis yang selalu berganti-ganti template, selalu disebabkan template yang sudah lama dipakai ternyata kurang bagus. Dan tentu ini beresiko dengan hilangnya Widget/Gadget yang sudah terlanjur banyak.

Langkah Mengganti Template:
Silakan Login menggunakan account blogger/Google Anda. Kemudian Masuk pada "Lay Out" atau "Tata Letak"
Pilih menu Edit HTML





*catatan: Untuk berjaga-jaga, kawan2 bisa terlebih dahulu mendownload template yang sementara ini dipakai. Jadi seandainya template yang baru dirasa kurang cocok atau mungkin karena fiturnya yang terbatas, kawan-kawan bisa kembali pada template awal tanpa perlu merubah widget/gadget seperti semula.



Langkah berikutnya klik "Browse", cari lokasi penyimpanan file XML kawan





Klik tombol "Upload"


Klik tombol "Confirm & Save"


Selamat, Sekarang Template kawan sudah berubah....!!! Selengkapnya...

Menambah Widget pada Blogspot

Banyak sekali manfaat WIDGET, selain untuk aksesori (mempercantik Blog, WIDGET juga berfungsi sebagai link, arsip, label, page rank, atau bahkan untuk menambahkan iklan pada Blog. Ada berbagai macam WIDGET yang dapat kita peroleh di dunia maya. Beberapa macam widget tersebut misalnya widget jam, widget page rank, widget alexa, widget traffic counter dan berbagai bentuk widget default yang memang sudah disediakan sebelumnya oleh Google/Blooger. Biasanya Widget didapat dalam bentuk kode HTML/Javascript. Untuk mendapatkan widget seperti yang kita inginkan, bisa dicari dengan mesin pencari seperti Google. Setelah ketemu situs yang dicari, tinggal ikuti caranya yang tercantum dalam situs tersebut. Setelah berhasil, biasanya kita akan mendapatkan kode HTML/Javascript yang dapat kita pasang di Blog sesuai keinginan kita. Untuk beberapa widget juga sudah saya post kan diblog ini.

Nah, untuk memasangnya ke dalam blog kita (blogspot), Langkah-langkahnya yaitu :
1. Masuk (Log in) situs Blogger dan masukkan username serta password
2. Klik Tata Letak (Lay Out) yang ada pada pojok kiri atas
3. Pilih Elemen Halaman (Page Element)


Pada elemen halaman ini akan terlihat gambaran Blog kita secara umum, yang memuat tata letak berbagai macam widget yang kita pasang, letak halaman posting dan lain sebagainya.

4. Klik Tambah Gadget (Add Gadget)
5. Pada halaman baru yang muncul, Kawan2 bisa memilih berbagai macam IWidget yang sudah disediakan oleh Google/Blogger. Atau jika sudah memiliki kode Widget sendiri, tinggal klik tanda + pada HTML/Javascript.


6. Muncul kolom baru yang terdiri dari kolom judul dan konten


7. Isikan judul yang diinginkan, jika tidak menghendaki dapat dikosongkan
8. Paste kode HTML/Javascript yang telah diperoleh pada kolom konten
9. Klik Simpan (Save Changes)
10. Sekarang Blognya sudah lebih cantik, kan?


Selengkapnya...

HAEMI

Oleh: Salamet Wahedy

(I)
Dua tahun dia sudah menghilang.
Tapi Ceritanya berseliweran di sepanjang halaman kampung. Tubuhnya, dua tahun lalu bersih putih. Cerlang matanya tajam. Untaian kata-katanya selalu menyiratkan tanda dan teka-teki. Setiap orang yang berpapasan dengannya, selalu menyediakan tempat ingatan untuk mengenangnya.
Dilahirkan di lingkungan keluarga keturunan dara biru, membuatnya mendapatkan tempat istimewa dalam pergaulan. Ibunya lulusan pondok pesantren. Ayahnya titisan seorang kiai. Teman-temannya memanggilnya dengan sebutan kakak tua.
Di masa mudanya, ia dikenal anak yang berani. Ia tidak takut pada siapa pun. Suaranya lantang. Bahkan sebagai orang yang dituakan dalam pergaulan, ia tetap menunjukkan sikap yang penuh hormat ke sesamanya.
Suatu pagi kejadian itu pun terjadi. Matahari menggeliat dengan malas. Orang-orang masih enggan menepis kesepian. Wajah Haemi tampak memar. Seluruh tubuhnya penuh luka. Gigi depannya tanggal. Yang paling mengenaskan pelipisnya. Tak ada yang mengira: Haemi yang lahir dengan dara biru terjerembab dalam kubang debu.
Haemi dituduh menyelingkuhi istri orang. Ia digebuki. Massa menghakiminya.

(II)
Dua tahun dia sudah menghilang.
Kini, dengan mata cekung legam. Rambut awut-awutan kebiru-biruan. Tampang terpasang seram, ia muncul di ujung jalan desa waku tengah malam. Pandangnya jelalatan seperti mencari sesuatu, seperti hendak membongkar dinding rumah, pohonan juga bebatuan. Jalannya masih tegap. Hanya kaki kirinya agak pincang. Untuk menepis keterasingan suasana malam desa yang larut, berulang ia mendehem, atau sesekali batuk-batuk.
Di rumah kesembilan dari ujung jalan desa, ia mengetuk pintu. Rumah bercat hijau. Hijau keseluruhan. Hanya warna hitam menyela di beberapa sisi dan bagiannya. Rumah nomor nolsatunol. Berulang ia mengetukkan tangannya. Dan berulang pula senyap menelan gemerisik buku tangannya dan daun pintu yang mengelupas.
“Bu. Bu. Bu... Aku Haemi. Buka pintunya Bu. Huk. Huk”, batuknya memberat. Ketukan tangannya semakin keras dan cepat. Rumah itu tampak mau bergetar. Tapi tetaplah senyap yang menyergap untuk beberapa kejap.
Paakk. Paakk. Paakk.
Kini telapak tangannya dihantamkan ke jantung pintu. Kerangka pintu pun ikut bergetar. Seperti kesalnya yang membuncah di kedua matanya. Seperti lelahnya yang menyaru dalam dahak batuknya.
“Sebentar, siapa?”
Pintu berderit berat. Sosok perempuan paruh baya surut di depannya. Sosok itu mengucak-ngucak matanya. Matanya kurang awas. Apalagi malam telah larut. Kabut mengambang di setiap lubang penglihatannya.
“Haemi?” suara itu memastikan dirinya. Ia melengos masuk. Di lemparkannya ransel berat di atas meja bambu tua. Ransel itu meringkuk pasrah seperti tubuhnya yang menimbulkan keriut di kursi bambu di sudut rumahnya.
“Kau ini dari mana saja. Kau pergi tanpa pamit atau kabar yang jelas. Bagaimana maksudmu? Aku tak pernah menganggapmu sebagai Karna. Kau tetaplah Bima”, sosok perempuan paru baya itu berseloroh. Celoteh-celoteh kecilnya seperti kerikil. Ia tak butuh kerikil. Kepulangannya pun hanya sekadar palarian dari kerikil-kerikil yang menggunung di jalannya.
Sosok perempuan paruh baya itu, ibu Haemi, terus berseloroh ria. Petuah dan teguran membuat kuping Haemi tampak berdenyut. Dadanya turun naik. Tanpa ba-bi-bu ia bergegas ke kamar tidurnya. Kamar yang sudah dua tahun terkunci. Hentakan keras membuat debu menghempas.

(III)
“Dari mana saja kau Haemi? Pagi-pagi ibunya kembali memastikan keberadaannya selama dua tahun belakangan ini. Sambil menyuap suguhan ibunya, dengan sedikit kesal, ia menjelaskan keberadaannya.
“Saya tahu ibu melahirkan saya untuk jadi anak yang berbakti. Tapi saya juga berhak untuk mencari pengalaman. Sehingga saya dapat berbakti dengan baik kepada ibu” suaranya agak ketus. Suara yang meletuk seperti kayu-kayu bakar yang mendekati hangus. Panjang lebar dijelaskannya petualangannya.
Malam itu, malam kepergiannya ia mengetahui pacarnya, Indira, memutuskan untuk menikah dengan Kamir. Ia terpukul. Sangat terpukul hatinya. Indira, perempuan yang bersedia pacaran dengannya empat tahun lalu, ternayata diam-diam menjalin hubungan dengan Karim, anak Pak Amir pedagang besar itu. Untuk melepas rasa sakit hatinya, Haemi menerima ‘ajakan’ Nona Pokewati, istri Bang Birokron. Nona Pokewati sudah sejak lama menggodanya. Nona Pokewati, binatang jalang yang binal. Keperkasaan Bang Birokron tidak membuatnya puas. Apalagi Haemi sebagai sosok yang di mata Nona Pokewati penuh imajinasi.
Sialnya sewaktu keduanya melepas segala gumpalan hasrat di dada mereka. Haemi ingin melepas beban nyeri luka hatinya. Nona Pokewati hendak menuntaskan imajinasinya bertarung dengan pemuda penuh imajinasi. Sewaktu mereka hendak melewatkan malam di ranjang spring bed pink di rumah Nona Pokewati, karena kebetulan suaminya lagi bertugas keluar kota, ternyata Bang Birokron pulang mendadak di tengah malam itu. Di tengah pertarungan itu.
“Saya tidak mungkin menahan malu dengan berdiam diri di sini” suaranya serak. Haemi hendak menangis. Tapi buru-buru ditepisnya.
Selama dua tahun ini, ia menghabiskan hari-harinya dengan mendirikan event organiser di Kota Surabaya. Di sana, 176 km dari desanya. Berbekal sisa kemampuan sebagai siswa SMK, ia mengumpulkan beberapa temannya. Satu semester di kota Buaya itu, usahanya cukup berhasil. Ia dapat berkuliah di sana.
“Tapi kenapa kau tidak pamit, atau sekadar ngasih kabar?”
Sayang perjalanan kuliahnya harus pupus. Di semester dua kuliahnya, ia ditimpa nasib sial. Ia ketahuan menggelapkan uang unit kegiatan intra kampusnya. Ia dikeluarkan. Ia pun mesti kembali membangun usahanya demi bertahan hidup. Event organiser yang sempat ditinggalkannya, kini digerakkannya kembali.
“Dan sejak itu Bu...” nafasnya menghela berat. Ceritanya menyimpan kenangan pahit. Matanya menerawang hendak melepas beban yang nyelekit di dadanya.
“Saya mencoba merambah rimba Kota Surabaya. Tapi sayang...” mata Haemi menyelinap di antara celah-ceah rumahnya menangkap bulan. Mulutnya berhenti sejenak. Kata-kata seolah menyingkir untuk diucapkannya.
Sedang ibunya hanya mendengarkannya dengan raut penuh garis-garis campuraduk. Kecewa, iba, sesal membuat airmukanya tercenung rusuh.

(IV)
“Haemi! Haemi! Haemi!
Pagi-pagi pintu rumahnya digedor-gedor. Teriakan dan pekikan penuh amarah memenuhi gelembung udara pagi. Matahari menyeruak seperti airmuka ibunya menguar heran.
“Haemi membawa kabur uang Bu Pathimah. Ia menipu beliau. Haemi seorang penipu”
Sosok kekar tampak melemparkan kata-kata dengan ketus. Cerocos mulutnya seperti hendak menumpahkan kesumat di dadanya. Seluruhnya. Sepenuhnya. Tubuh kekar itu berulang mengulang kata-kata kasarnya. Matanya menyala. Nafasnya turun naik dengan kasar. Tubuh kekar itu suami Bu Pathimah, Pak Kalong.
“Tidak mungkin. Haemi tidak mungkin seperti itu. Anakku bukan penipu. Bukan maling” perempuan paruh baya itu meraung. Suara yang dikuat-kuatkannya, hendak menyerang sosok kekar di depannya. Dengan segala daya-upaya perempuan paruh baya itu hendak menangkis segala tuduhan yang ditimpakan pada anaknya. Ia meraung. Ia mengamuk. Ia kalap.
Segala sesuatu yang dapat dipegangnya, dilemparkannya ke kerumunan tetangganya. Tetangganya hanya menanggapi dengan menghindar. Atau tersenyum kecil melihat kelakuan Ibu Haemi yang seperti kanak-kanak.
“Tidak mungkin Haemi menipu. Tidak mungkin ia mencuri uangmu. Haemi dilahirkan dari rahim yang suci. Ayahnya pun keturunan seorang kiai. Tidak mungkin Haemi mencuri” perempuan paruh baya itu terus melengking. Lengkingan yang runcing. Lengkingan yang menyayat telinga pendengarnya. Mengiris-mengiris gendang telinga di dekatnya.
“Tidak mungkin Haemi menipu. Tidak mungkin” suara itu melemah. Beberapa orang memapah perempuan paruh baya itu.

(V)
Dua tahun dia sudah menghilang.
Kini kedatangannya hanya menyisakan bisik dan gosip. Ibunya sudah dengan segala cara mencoba menepis, tapi nasi sudah jadi bubur. Haemi menjadi sorotan tetangganya. Ia menjadi topik perbincangan yang tiada habisnya. Teman-teman lamanya pun merasa perlu untuk menjaga jarak untuk sekadar menyebut namanya.
Haemi kembali menghilang. Uang Bu Pathimah ditilapnya. Ibunya meradang. Kenyataan ini pun diterimanya dengan dada lapang.
“Haemi, Haemi. Kau kuharapkan menjadi seorang kiai penuh karomah dan magis. Tapi sayang kini kau hampir mirip iblis” seru ibunya menerawang jauh ke langit malam tak berbatas.

Lidahwetan, 01 Juni 2009

Selengkapnya...

Merdeka

Oleh: Putu Wijaya

Pada hari ulang tahun proklamasi kemerdekaan, seorang anak lahir di sebuah kota kecil. Bapaknya, seorang bekas pejuang kemerdekaan, menimang orok itu dengan bangga.

“Selamat datang ke atas dunia. Selamat datang di Indonesia, anakku,” kata lelaki yang bahagia itu. “Kau adalah harapanku, masa depanku dan pewarisku. Aku beri kau nama Merdeka dan jadilah kusuma bangsa.Tulis sejarah yang berbeda dari apa yang sudah aku alami di masa lalu. Merdekakan diri kamu dari segala macam penjajahan, jangan seperti bapakmu ini. Bebaskan negeri ini dari kemiskinan. Merdekakan rakyat dari kesengsaraan akibat kezaliman para pemimpinnya sendiri. Jadilah masa depan kami semua!”

Merdeka kecil, sudah bisa mendengar, tetapi belum bisa menyimak. Ia hanya membuka mulutnya dan tertawa. Bapaknya tersenyum dan berbisik.

“Syukur kamu sudah mendengar apa yang aku katakan. Mudah-mudahan nanti, setelah kamu dewasa dan mengerti apa yang aku katakan, kamu masih bisa tertawa.”

Duapuluh tahun kemudian, Merdeka tumbuh dan dewasa. la menjadi seorang anak muda yang gagah. Wajahnya cakap. Otaknya encer. Barangkali juga terlalu cerdas untuk ukuran seusia dia. Merdeka sangat enerjetik dan suka membantah. Teman-temannya semua suka dan segan. Tetapi guru-gurunya sebaliknya. Mereka kesal.

“Merdeka adalah seorang anak yang hebat. Dia jenius. Dia bisa menjadi pemimpin di masa depan untuk negeri ini. Jenis orang seperti Merdeka sangat kita butuhkan di zaman millenium ini. Tapi sayang dia terlalu PD,” kata guru-gurunya.

“Andaikan saja dia lebih rendah hati sedikit, tak ayal lagi dia bisa menjadi harapan kita semua,” lanjut gurunya yang lain. “Karena di masa globalisasi, ketika kita akan bersaing secara terbuka dengan seluruh dunia, kita memerlukan SDM yang canggih. Merdeka adalah contohnya.Tetapi sayang, dia terlalu cepat matang. Di dalam menuntut ilmu, mula-mula yang diperlukan adalah menyerap, bukan bersikap. Kalau belum apa-apa sudah bersikap, sebagaimana ulah Merdeka, kita akan konyol. Kita tidak akan mungkin bisa maju.

Lihat saja di dalam ilmu pasti, pada dalil satu dan dua kita harus mau menerima saja dulu, tidak boleh membantah. Nah nanti sesudah dalil tiga boleh pertanyakan apa saja dengan logika. Sesudah menguasai ilmu, perkara mau mendobrak atau melabrak, itu terserah. Tapi tidak mungkin memberontak sebelum menguasai. Jadi Merdeka, sudah salah kaprah!”

Merdeka tidak peduli apa yang dikatakan guru-gurunya. Ia lapar ilmu. Ia buka mulutnya lebar-lebar untuk mereguk. Dia tidak peduli sama sekali apa perasaan guru-gurunya. Kalau ia tak setuju, tanpa nertimbangan lagi ia protes. Tidak pandang tempat dan waktu, ia langsung dobrak.

Sebagai akibatnya, Merdeka terkenal sebagai anak kurangajar. Ia ditakuti tetapi sekaligus dikucilkan. Guru-guru ngeper semua kalau ada Merdeka. Akhirnya karena kasus yang sangat sepele, terlambat bayar sekolah, Merdeka dipecat.

Ketika teman-temannya menamatkan pelajaran dan pada me-ngantongi ijazah, Merdeka hanya mengantongi pengetahuan. Tetapi ia tidak kecil hati. Aku hanya memerlukan pengetahuan, aku tidak memerlukan ijazah, kata Merdeka. Dengan bekal kepintarannya itu, ia terjun ke masyarakat dan mereguk hidup yang sebenarnya.

Di masyarakat, kenyataan berbeda dengan apa yang dibicarakan di dalam kelas. Walaupun semua orang setuju bahwa ilmu pengetahuan adalah utama, pada prakteknya, yang menentukan orang dapat pekerjaan adalah ijazah. Ke mana saja Merdeka pergi, dia selalu diminta untuk memperlihatkan ijazahnya sebelum mereka mau membuka pintu. Dan waktu mereka tahu Merdeka tak punya ijazah pintu langsung ditutup.

”Boleh ngomong besar tapi mana bukti. Mana dokumen rekomendasi?”

Teman-teman Merdeka yang goblok, semuanya mendapat pekerjaan dan jabatan. Bahkan yang dulu lulus karena membeli ijazah dan nodong kepala sekolah, mendapat posisi penting. Merdeka melihat kejanggalan itu dengan jijik. Ia merasa diperlakukan tidak adil. Kontan Ia mencak-mencak, berkoar menggelar aksi protes.

Tetapi kepada siapa. Ternyata semua orang hanya mengaku menyuarakan keadilan dan kebenaran. Bila waktunya tiba untuk menunjukkan aksi, semuanya punya alasan untuk menghindar. Bahkan surat-surat kabar yang paling vokal, tak berani memuat gugatannya, ketika itu menyentuh orang yang berkuasa yang mampu menyumpalnva dengan duit.

“Kalian semua hanya ngomong-ngomong muluk, prakteknya semua dagang. Segala kegombalan yang kalian maki-maki, nyatanva kalian kaji sendin!” teriak Merdeka.

Merdeka mulai marah dan benci kepada kehidupan, karena hidup berpihak kepada ketidakadilan. la menjadi sinis dan apatis. Dunia yang dibayangkannya sebagai lautan harapan, sekarang sudah menjadi sarang kebobrokan. Masa depan hanya enak dalam obrolan, pada kenyataannya semua kentut.

Tetapi untunglah tidak semua yang hitam itu hitam. Rupanya di dalam belantara kebrengsekan itu, masih ada orang-orang yang idealis. Setelah kepalanya bonyok ditonjok oleh rasa kesal, Merdeka bertemu dengan seorang yang berpihak kepada kebenaran.

“Memang ijazah itu perlu, karena itulah satu-satunya yang bisa jadi pegangan kita untuk memilih orang terbaik. Tetapi diploma sekarang sudah gampang saja dipalsu,” kata orang idealis itu.

“Jadi Bung Merdeka, keunggulan yang digaransi oleh sebuah ijazah pun hanya keunggulan macan kandang, sedangkan kita menggarap hidup keras di lapangan yang memerlukan siasat. Itulah yang selama ini lupa diajarkan di sekolah mana pun. Walhasil, Bung Merdeka, jangan merasa kesepian. Aku tidak buta. Aku melihat secara transparan potensimu. Persetan dengan ijazah, bukan orang-orang yang bertopeng ijazah itu yang akan memperbaiki negeri ini, tetapi SDM jenius seperti Ente!”

Merdeka lantas dirangkulnya. Diberikan tanggungjawab memimpin sebuah proyek raksasa yang menentukan nasib berjuta-juta orang. Merdeka disodori jabatan, kekuasaan dan harapan.

Merdeka kontan sembuh. Darah membara lagi di mukanya. Ia terima jabat tangan itu dan siap berpacu.

Tetapi apa lacur, pada hari pengangkatannya sebagai panglima proyek, orang yang merangkulnya muncul membawa segepok uang. Dengan muka manis tetapi malu-malu, ia menarik Merdeka ke sudut.

“Merdeka,” katanya dengan suara orang yang bersalah, “kita semua tahu, setiap orang mencari pekerjaan, untuk mendapatkan uang. Betul tidak, Bung?”

Merdeka mengangguk. Betul.

“Nah, berarti Bung, mereka yang lain itu juga bekerja untuk mendapatkan uang. Kalau uang yang Bung cari itu sudah Bung dapatkan, buat apa lagi pekerjaan. Ya kan? Jadi, lihat ini, aku bawakan Bung duit sekarung. Terima rezeki nomplok ini. Dan serahkan jabatan yang sudah ada di tanganmu ini kembali kepadaku. Karena ada seorang anak pejabat yang memerlukan itu. la punya duit. Banyak sekali. Tetapi ia tidak punya kehormatan karena tidak ada jabatan. la membeli jabatan kamu. Jadi klop! Bung untung dan aku juga untung!”

Tanpa menunggu jawaban lagi, jabatan itu diambilnya kembali sambil menaruh segepok uang di tangan Merdeka. Sebelum Merdeka bisa mencegah, idealis itu sudah kabur. Merdeka jadi histeris. Uang itu dicampakkannya sambil mengumpat.

“Bangsat! Aku memang perlu uang. Aku tahu untuk hidup orang membutuhkan uang.Tapi aku tidak hidup untuk mencari uang. Aku cari uang untuk hidup. Dan aku hidup untuk menjalankan amanat bapakku untuk membangun bangsa ini. Untuk menjadi manusia yang berarti dan berbuat kebajikan kepada negeri dan rakyatku!”

Suara Merdeka lantang dan jelas. Tapi idealis itu sudah ngibrit entah ke mana. Tinggal Merdeka yang sekarang benar-benar merasa nasibnya sangat sialan. la berteriak-tenak karena tak mampu lagi menahan emosinya. Orang-orang bilang, anak muda itu sudah mulai terganggu.

“Kamu kelihatannya frustasi, Merdeka,” kata seorang sahabat. “Di zaman edan ini, siapa yang tidak frustasi. Kalau kamu terus ikutkan perasaanmu, kamu akan gim. Kamu tidak akan menjadi istimewa, hanya karena kamu gila. Karena semua orang memang sudah gelo sekarang. Jadi lebih baik kamu waras saja. Lawan semua itu!”

“Lawan? Lawan dengan apa? Musuhku tidak kelihatan. Kalau ada, aku hajar sekarang juga!”

“Makanya jangan lawan secara konfrontatif, lawan dengan cara mencintainya. Terima! Pasrah, Merdeka!”

“Tidak! Aku tidak mau jadi orang Jawa yang nrimo. Itu sudah kuno! Aku manusia baru. Aku bukan proyek feodalisme yang mau saja menjadi budak segala ketidakadilan ini. Aku mau berontak!”

“Tidak mungkin! Orang gila tidak mungkin berontak. Paling banter kamu akan dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Kalau mau berontak jangan pakai otot, pakai mulut dan diplomasi. Belajar dari para politisi. Untuk menguasai diplomasi pikiran kamu harus tenang. Dan untuk tenang jiwa kamu harus stabil. Untuk membuat emosimu stabil, kamu harus punya seorang pendamping. Dengan kata lain, Merdeka, satu-satunya jalan yang bisa kamu pilih sekarang adalah: kawin. Kawinlah Merdeka, sebelum terlambat!”

Merdeka terkejut.

“Apa? Kawin?”

“Ya! Menikah! Apa kamu tidak sadar bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri? Setiap manusia wajib punya teman hidup. Baik untuk diajak bersetubuh maupun untuk berkomplot. Kalau kamu tetap sendiri, kamu akan menjadi manusia separuh yang tidak lengkap. Emosimu akan labil. Dan staminamu hanya sebatas ayam sayur. Jati dirimu akan kropos. Pasti kamu akan cepat tamat. Makanya, cepat-cepat saja, carilah seorang teman hidup. Mesti berkongsi, melawan semua kebejatan dunia ini. Kalau tidak kamu akan terlambat. Coba umurmu sudah berapa sekarang? Jangan terlalu sibuk berjuang, nanti kamu keburu tua bangka dan tidak jadi apa-apa! Apa kamu mau kedaluwarsa?”

Merdeka terkejut. Buru-buru ia berdiri di depan kaca. Lalu dilihatnya sebilah rambut putih berkibar di bulu hidungnya. Garis-garis tua sudah merayap di wajahnya. la tidak semuda yang ia kira lagi. Ia terpaksa menerima, ia hampir basi.

Lalu tanpa berpikir panjang lagi, Merdeka mengajak pacarnya nikah. Pacar Merdeka menyambut lamaran itu dengan pekik gembira. Setelah bertahun-tahun dan hampir kehilangan kesabaran, akhirnya Merdeka berani mengambil keputusan. Siap untuk mengambil resiko melepaskan kebebasannya, memasuki penjara suami-istri.

Tetapi celaka tiga belas. Meskipun dukungan pacarnya seratus persen, calon mertua Merdeka bertingkah. Mereka yang semula menerima Merdeka, tiba-tiba menolak. Alasannya bagi Merdeka sama sekali tak masuk akal.

“Kamu mau menikah dengan putri tunggalku, Merdeka?” tanya calon mertuanya. “Kenapa? Karena kalian saling mencintai?”

“Betul, Pak, kami saling mencintai.”

Calon mertuanya tersenyum pahit.

“Merdeka, jangan main-main. Apa kamu tidak tahu, cinta saja tidak cukup untuk hidup? Tak sampai tiga bulan, kamu akan bosan mengisap cinta, lalu kesulitan hidup akan mulai merongrong. Kamu memerlukan lebih dari cinta. Kamu perlu duit dan jabatan. Itulah sumber kesuksesan dan kebahagiaan. Tidak. Kamu tidak bisa menikah dengan putriku, kalau kamu tidak bisa memberikan janji yang baik. Hendak kamu bawa ke mana putri tunggalku yang cantik jelita ini. Buktikan dulu bahwa aku pantas menyerahkan anakku kepadamu, baru ngomong. Jangan suruh aku bersabar dan menunggu. Kalau kamu tidak bisa memberikan jaminan bahwa kamu akan bisa membahagiakan dia jasmani dan rohani, relakan putriku dengan orang lain. Atau jangan-jangan kamu sebenarnya tertarik bukan pada putriku, tetapi kepada warisannya. Kepada kekayaan dan jabatanku. Kalau begitu, maaf anak muda, sekarang juga minggat, tinggalkan rumah ini dan jangan berani kembali, karena aku akan tembak kepalamu!”

Merdeka pingsan. Belum pernah ia menerima kenyataan yang begitu parah.

”Aku manusia sial. Aku ditakdirkan menjadi orang gagal,” teriak Merdeka putus asa. Pikirannya benar-benar mulai terganggu. Ia tidak tahu lagi apa yang harus dikatakan, apa lagi yang harus dilakukan.

Akhirnya dalam keadaan panik dan terjepit, Merdeka datang kepada seorang dukun. Ya dukun. Kenapa tidak. Meskipun ini zaman millenium, banyak orang masih pergi ke dukun. Para pejabat juga ke dukun. Olahragawan ke dukun. Para politikus ke dukun. Presiden juga ada yang punya dukun. Bahkan beberapa seniman malahan jadi dukun itu sendiri.

Dukun memegang tangan Merdeka dan membaca nasibnya.

“Sebenarnya menurut skenario, kamu ini orang jenius, seperti Pak Habibie, Merdeka,” kata dukun. “Pada dasarnya kamu adalah manusia hebat. Kamu bisa menjadi pemimpin bangsa ini di masa depan. Di dalam tubuhmu mengalir darah kesatria yang berwarna putih.Tetapi sayang pada prakteknya, kamu tidak jadi apa-apa, karena sajenmu kurang!”

“Sajen? Sajen apa?”

“Kamu tahu. Segala sesuatu itu memerlukan sajen. Otak saja tidak cukup, kepintaran saja tidak menjamin. Bahkan kelihaian juga bukan kartu kunci untuk membuat kamu sukses. Kamu memerlukan keikhlasan. Kamu harus ikhlas. Ikhlas berarti kamu tulus. Tulus berarti kamu harus rela. Rela untuk berkorban. Kamu harus mengorbankan apa yang dlperlukan. Kamu tidak akan bisa sukses kalau kamu tidak berani berkorban dengan ikhlas, Merdeka!”

Merdeka terkejut.

“Berkorban? Berkorban apa? Ini sudah zaman merdeka, kita tidak memerlukan pengorbanan jiwa lagi seperti di masa revolusi seperti Bapakku. Kita memerlukan pekerja-pekerja lapangan yang canggih. Dan aku canggih. Aku tidak mau mengorbankan jiwaku. Aku mau berbakti kepada bangsa, negara dan rakyatku. Kamu jangan macam macam, Duk!”

“Tenang, Merdeka, pengorbanan ini bukan pengorbanan fisik. Ini adalah pengorbanan spiritual. Dengan berkorban, tidak berarti kamu akan kehilangan apa-apa. Kamu hanya harus mengikhlaskan dirimu kehilangan namamu. Tukar namamu sekarang. Ganti nama kamu jangan lagi Merdeka. Nama itu terlalu besar, terlalu berat untuk kamu pikul sendirian.Tidak mungkin. Kalau kamu memikulnya, kamu akan terlalu repot sehingga kamu tidak akan bisa berbuat apa-apa. Jadi lepaskan saja. Ganti dengan yang lain. Oper Merdeka itu dengan sesuatu yang lebih ringan. Apa artinya nama. Ya tidak?”

Merdeka tidak setuju.

“Mengganti nama? Tidak. Tidak mungkin,” katanya. “Nama ini pemberian bapakku. Dia seorang pejuang yang hebat. Dia orang yang jujur. Dia sudah berjasa kepada negeri ini, tetapi dia tidak punya uang. Dia tidak punya pabrik. Dia tidak punya kekuasaan. Dia hanya punya cita-cita dan konsep. Dan semua itu dia wariskan kepadaku. Aku tidak bisa mengganti apa yang diwariskan oleh orang tuaku begitu saja. Karena itu adalah amanat. Aku tidak mau menjadi manusia durhaka!”
Dukun menggeleng.

“Memang susah bicara dengan orang pinter tetapi picik seperti kamu, Merdeka!” katanya sambil mengusir Merdeka supaya pergi, karena pasien-pasiennya yang lain berjubel.

Merdeka pulang sambil mencak-mencak uring-uringan. Berhari-hari ia bergulat dengan usul dukun itu. Pada hari yang ketujuh puluh, ia kalah. Lalu sambil mengenakan baju batik, ia berangkat ke rumah orang tuanya.

”Romo,” kata Merdeka sambil mencium tangan bapaknya yang sudah tua. “Aku datang untuk melaporkan apa yang sudah terjadi di lapangan. Terus-terang aku sudah gagal. Tetapi bukan berarti aku menyerah. Aku terus berusaha. Aku datang bukan untuk minta bantuan. Aku datang hanya untuk meminta restu. Karena aku bebas dari Merdeka.”

Orang tua Merdeka kontan mengernyitkan alisnya.

“Apa?”

”Aku ingin mengganti nama yang sudah Bapak berikan.”
”Mengganti nama? Apa maksudmu Merdeka?”

”Dukun bilang, nasibku jadi sial, karena namaku terlalu berat. Kalau aku ganti nama itu dengan nama lain, dalam sekejap aku akan menjadi orang baru yang sukses. Jadi apa salahnya kalau nama itu diganti. Aku juga tidak akan memilih nama sendiri. Aku serahkan kepada Romo untuk memberiku petunjuk.”

Mata orang tua itu sekarang terbuka.

“Kamu mau berhenti menjadi Merdeka, Merdeka?”

“Ya.”

“Kenapa?”

“Kenapa?”

“Ya! Kenapa!” bentak orang tuanya.

Merdeka tertegun. Waktu kecil la tidak peduli kalau dibentak. Tetapi sekarang la sudah dewasa, sudah jauh lebih pintar dari bapaknya, di samping itu hidupnya sudah pahit, ia tidak mau lagi dibentak.

“Karena aku tidak mau terus-menerus sial!” teriak Merdeka.

Tetapi orang tuanya semakin keras lagi mendamprat.

“Gelo! Tidak!”

Merdeka takjub.

“Kenapa tidak?”

“Pokoknya tidak!”

“Ya!”

“Tidak!”

“Yaaaaaa!”

“Tidakkkkkk!”

“Brengsek!” teriak Merdeka kelepasan. “Bapak kan tidak tahu apa yang sudah terjadi di lapangan. Aku yang berkutat di sana. Aku tahu apa yang aku lakukan. Aku yang mengalami apa yang terjadi. Sekolahku jebol, gara-gara aku Merdeka. Jabatan-jabatan copot dan luput dari tanganku gara-gara aku Merdeka. Bahkan pacarku direbut orang lain gara-gara aku Merdeka. Dukun juga bilang aku goblok karena aku Merdeka. Aku tidak mau jadi Merdeka lagi. Sudah cukup! Aku tidak mau diperintah terus. Aku mau bebas dari Merdeka! Aku mau sukses, aku mau bahagia, aku mau berhasil, aku tidak mau lagi jadi Merdeka!”

“Goblok!” teriak Bapak Merdeka sambil menampar anaknya.

Merdeka terkesima. la melotot memandangi Bapaknya. la belum pernah digebrak seperti itu. Masak putra harapan bangsa disebut goblok dan ditampar.

Sebaliknya Bapak Merdeka juga tidak takut. la mendekat dan menghembuskan nafas kesalnya. Lalu mencekek leher Merdeka.

“Merdeka!” bisik orang tua itu dengan nafas menggebu-gebu,

“Merdeka, apa kamu kira Merdeka itu nikmat? Apa kamu kira merdeka itu bebas dari segala kesialan. Apa kamu kira merdeka itu berarti kamu akan mendadak jadi kaya dan bahagia. Kamu sudah keblinger! Merdeka itu adalah beban. Selangit beban di atas pundakmu sendirian. Merdeka itu adalah penderitaan. Merdeka adalah sejuta kesengsaraan yang tak putus-putusnya. Merdeka berarti kamu jalan sendirian, kamu tidak punya tuan dan majikan yang akan menolongmu kalau celaka. Merdeka itu berarti kamu harus menghadapi keperihan, kesengsaraan, nasib busuk itu sendiri. Merdeka itu sakit. Sakit yang maha besar. Tapi kamu harus bangga karena kamu yang terpilih untuk memikulnya. Berarti kamu dianggap mampu. Kamu masih dipercaya. Kalau kamu masih dipercaya, berarti kamu masih diperhitungkan. Kalau kamu masih diberikan kesengsaraan, berarti kamu masih hidup. Kamu belum jadi mayat, belum jadi robot, belum mati seperti yang lain, berarti kamu masih merdeka. Goblok kalau kamu mau berhenti Merdeka. Mengerti? Mengerti!”

Merdeka bingung.

“Mengerti?!”

”Tidak!”
”Ya Tuhan, aku juga tidak mengerti!” teriak orang tua itu lebih dahsyat lagi. Lalu memegang dadanya. Lehernya seperti tercekek. Kemudian mendadak tumbang dan mati di tempat.
Merdeka kebingungan. Ketika sadar, dengan panik ia memeluk bapaknya. Tetapi tiba-tiba saja tangan lelaki tua itu kembali bererak dan mencekek Merdeka. Sambil menangis tersedu-sedu, ia berbisik.

”Anakku, tetaplah Merdeka. Jangan berhenti. Berikan aku janji. Merdeka kamu harus tetap Merdeka, jangan pernah berhenti Merdeka, anakku. Jangan bablas. Tetaplah Merdeka”

Tangan orang tua itu gemetar. Cekekannya semakin lemah, Semakin lemah, lalu perlahan-lahan terlepas. Tubuhnya terhempas la gi ke bumi, melanjutkan mati.***

SELESAI.
Karya: Putu Wijaya, Sumber: Horison, No. 2, Februari 2001.

Selengkapnya...

Sang Pembunuh Syams (In Memoriam Syams)

by: Salamet Wahedy

I
Syams. Kami memanggilnya. Syams Al-Wahed. Sudah dua tahun, ia telah meninggalkan kami. Ia telah menjadi manusia impian. Banyak hal dan peristiwa yang, tiba-tiba, minta dikenang. ’ee’, logat-gaya bicaranya agak lambat. Matanya yang selalu menampak kuyu. Kebiru-biruan. Pakaiannya ala kadar. ”si charokonx”, begitu kami memanggilnya. Lalu, ia nyengir. Lalu keluarlah filosofi andalannya, ”chasing boleh charokonx, tapi isi tetap tetap nomer settong”. Lalu terurailah dari mulutnya, kata-kata yang puitis. Peristiwa demi peristiwa mengalir ritmis. Entah cerita tentang siapa. Kami tak mengerti. Kami begitu asing dengan nama dan tokoh yang disebutnya. Tapi kami- dengan bahasanya, dengan tuturnya yang meledak, melemah- dibuatnya begitu akrab. Begitu terhibur.
Syams. Satu dari sekian nama yang dipakainya. Suatu kali Kami menemukannya dalam sebuah majalah. Atau el-habib, ketika kami mendengar teman-teman kuliahnya. Atau Bang Slam, panggilan yang dilekatkan anak didiknya. Syams. Satu dari sekian nama yang kami pakai untuk mengenangnya. Sosok yang begitu rupawan, tapi bersahaja. Sosok yang penuh kontroversi, tapi arif dan bijak. Celotehnya, di samping membuat kami mengernyitkan kening, juga memberi sebuah dunia lain, -yang sekali lagi dengan bahasanya yang ritmis, tuturnya yang lemah-lembut, syams membuatnya begitu akrab. Dunia lain, tempat peristiwa yang akrab bagi kami. Sekaligus asing. Dan syams, seperti kebiasaannya, sehabis isya’, selalu kami temukan nongkrong di warung babeh.
”Kita mesti bertanya tentang diri kita. Tentang sejarah yang berjalan atas nama nenek moyang kita” malam itu syams datang dengan gaya yang amat nyentrik. Pakai gelang, kalung, serta anting-anting. ”banyak potongan sejarah ini digudangkan dan diganti dengan cerita birahi para penguasa. Koruptor...”
”Semalam mimpi apa Syams? Adi menyela” pakaianmu kayak penyair tidak diakui orang”
”Aku hendak bertemu izrail” seperti angin malam yang menusuk sumsum, kata-kata syams membuat kami terkesiap. Malam itu kami hanya berpandangan dengan mata nanar penasar. Kata-kata yang polos. Tentang kamtian yang tulus. Isyarat yang halus. Tapi kami tidak dapat menangkap bahwa kematian itu, telah ditangguhkannya sendiri. Kematian itu, telah dijemputnya dengan kepala tegak.
Dua tahun, Syams telah meninggalkan warung bapak babeh. Jejaknya tidak hanya minta dikenang, tapi telah menyelipkan kesunyian bersama desir angin malam. Syams mati malam itu. Malam, di mana ia berpakaian amat nyentriknya. Kata-katanya mengandung magis. Tentang nasib petani yang ditemui dan didampinginya mengurus hak-hak tanahnya. Tentang para mahasiswa yang mulai kehilangan jati dirinya. Tentang caleg muda yang terjebak pada euforia kekuasaan semata. Tentang....
Syams mati mengenaskan dan penuh misteri. Tubuhnya tersayat. Potongan tubuhnya berserakan sepanjang selokan. Lidahnya hilang. Matanya copot. Ia mati dibunuh. Jejak ceritanya yang menghibur bagi kami, ternyata begitu runcing dalam kenangan. Pun tokoh-tokoh yang berulang disebutnya: Pak Mahmud yang tanahnya kena gusur, Bu Karti yang merelakan warung kopinya demi mall , atau Dr. Mizoh, M.M yang getol menawarkan diri jadi caleg dengan seribu janji copypaste, K.H. Ali Gili, yang dengan gaya da’i sejuta umat mengajak para pemiarsanya mencoblos gambarnya, atau Moh. Aris, Mahasiswa tekhnik yang jadi kader partai biru-merah, Al-Jaber, Mahasiswa yang nyentrik dan merasa jagoan karena jadi ketua tim sukses pasangan pilpres no. 27 dan banyak lagi.

2
”Syams” ia memperkenalkan diri. Wajahnya sayu. Rambutnya awut-awutan. Selain kata-katanya yang rancak, sosok 20-an ini memiliki aura yang sungguh menarik. Tuturnya yang runtut, untaian kalimatnya yang berantai, serta mimiknya yang ekspresif. Apalagi humor dan joke-jokenya yang memecah kebuntuan, bahkan ketegangan.
Malam masih merambat 20.30. ketika kami berjabat tangan. ”sudah dua tahun saya mengadu nasib di kota bratakala ini” matanya berkaca-kaca. Ada tetes bening di pelupuk matanya. Seperti embun yang mulai merembes, dan memenuhi udara dingin rongga dada. Mata yang Memandang kilat matanya terlalu lama, dengan raut yang runcing akan terhipnotis. Terhisap pada pusaran kata-kata. Kubangan welas asih tak tertangguh.
Setiap malam. Setiap pukul 20.30 kami mulai menghabiskan dua pertigamalam kami dengan puntung rokok, secangkir kopi, cerita-cerita remeh orang-orang pinggiran, siasat perang orang-orang besar. Tidak terlewatkan, tentang wanita-wanita yang hilir mudik memasuki memori dan diary kami. ”tanpa bunga revolusi, kita akan sepi. Lalu mati” ia ngakak. Seperti tak ada beban yang perlu dipikirkan, ”tapi siapakah orang-orang revolusioner? Kita? Mereka?” tawanya semakin jumawa. Tawa yang tidak hanya menertawakan keadaan yang berjalan tanpa arah, tapi tawa yang begitu menusuk hatiku. Menusuk ulunya yang paling dalam.
Suatu malam, syams menghilang. Kata Adi, temannya, ia menghadiri acara sastra: baca puisi! ”Sosok yang energik!” seruku dalam hati.
Hilangnya syams memberi gambaran lain akan sosoknya. Tiba-tiba aku memahami segala ucapannya. Kata-katanya yang berangkai, kalimat-kalimatnya seirama dan beruntai, serta kritikannya yang berlambai dan landai. Sesekali aku membayangkan rautnya yang kuyu. Matanya sayu. ”jangan percaya pada siapa pun. Bahkan pada diri kita sendiri, kita perlu mawas. Was-was” wajahnya tanpa ekspresi suatu waktu.
Waktu itu kami memutusakn untuk cangkru’an di cafe arudam, di lantai tiga sebuah mall. ”Dari sini kita dapat menyaksikan kelap-kelip lampu. Gelap dan terang yang berisisian menciptakan nuansa. Lalu malam...” sejenak ia menyeruput es juice-nya” akan membawakan aku sepotong puisi” lalu menyelorohlah ia tentang seribu lembar mimpinya. Aku hanya sesekali menimpali.
”Di Jerman...”. Syams nampak berbinar menghisap rokoknya. ”Ya di Jerman, aku akan membacakan sebuah puisi. Aku akan berkeliling dunia membacakan puisiku. Tentang Utari, yang menjadi kekasih impian. Sebab ia telah memilih suaminya bukan aku. Lalu puisi ’bapakku’, seorang petani yang tiada lelahnya menantang matahari...”
”Tentang aku?” tukasku. Bibirku mengembang senyum. Syams pun mengiya. Sekali lagi diseruputnya minumannya. Dan dihembuskannya asap rokoknya.
”Ya tentang Mahfud. Seorang teman yang setia menemani sepiku. Seorang teman yang menghitung jejak di malam tahun baru. Seorang teman, ah mahfud. Malam itu” cerocos syams begitu puitis. Aku tidak dapat membedakan apakah ia sedang berpuisi atau mengingau” kau tampak gemetar. Bibirmu yang tirus meringis. Menahan dingin yang datang dengan segenap bisanya. seperti daun dini hari. Tubuhmu pun menguar aroma cendana. aroma...
Lalu mengalirlah berbagai angan dan khayalannya. Cita-citanya ingin jadi orang bebas, berpenghasilan tetap. Ia punya istri seperti Utari. Perempuan berjilbab. Pipi bulat telur. Mata seperti kerling tetas air di kejauhan. Dan tutur kata yang halus dan sopan. Dan yang tak dapat dilupakan Syams, rona mukanya ketika ia marah. Di antara celoteh dan seloroh Syams, yang membuat darahku tersirap, adalah sikapnya tentang gerakan mahasiswa. Tentang anak-muda bangsa-negeri ini yang, sepanjang sejarah ikut andil mengawal negeri ini menjadi republik berfikir bebas. ”kalau dulu, suasana dan situasi yang kurang ajar terhadap kita, tapi sekarang kitalah yang kurang ajar pada kesempatan” ujarnya suatu malam ”apalagi di tengah krisis kepercayaan...”
Ah, Syams celoteh dan selorohmu adalah bumbu dapur. Kini aku hanya bisa mengenangmu. Wajahmu yang lugu, tapi penuh semangat yang berkobar. Kata-kata berangkai, tapi penuh tikungan dan kawah terjal. Serta pendirianmu yang memancang bak tembok china.
Tapi di luar itu semua. Terlepas akan kenangan yang kadang menyakitkan. Kadang menyenangkan. Aku hanya menunaikan tugasku. Khayalmu terlalu tinggi. Cita-citamu menjulang meninju langit, Syams.
Akhirnya di malam jumat kliwon. malam yang hujan, yang menandai rapuhnya saton hidupmu, saat kau mengendap kedinginan, sengaja kuambil kesempatan itu. Kesempatan yang akan menyempurnakan segala keluh kesahmu dengan janji tuhanmu.

3
Perempuan separuh abad, kurang lebih, menatapku dengan mata sembab. Kilatnya penuh gairah dan harapan, yang tiba-tiba liar oleh prahara. Di hadapannya potongan tubuh anaknya semisal fragmen yang menghantui masa-usianya yang kian menua dan lampau. Keriput pipinya menyimpan sisa air tangisnya yang tumpah sejak kabar kematian anak semata wayangnya.
Sejenak aku terenyuh. Rasa bersalah tiba-tiba pun berseliweran di setiap pori-pori dan sendi tubuhku. Ibu separuh abad, Ibu Kunti, merangkulku. Degup dadanya seperti hentakan musik yang bertalu di ruang-ruang diskotik malamku. Dan sengak isaknya seperti ujung kuku jarum menusuk ulu hati. Seperti gunung yang lama tidak meledak, Ibu Kunti menumpahkan segala kehilangan dan kehampaannya ke dadaku. Tubuhku bergetar. Darahku tersirap panas.
”Ibu,..” seruku pelan. ”maafkan aku telah...” kata-kataku tersekat dalam dada. Seperti para pelayat yang ikut berbelasungkawa dengan kebaya hitam, beras, uang dan juga dengan ngaji yaa-sin yang mulai menggerumung di kamar tengah.
Sementara persiapan pemberangkatan jenazah telah menyedot dan menarik perhatian beratus pasang mata, seorang dara berkebaya hitam legam, rambut sebahu, terus memantau gerak-gerikku. Seperti pemburu yang mengintai mangsanya. Rautnya runcing. Bias wajahnya menanarkan aura kejantanan. Aku rikuh. Mungkin inilah sosok perempuan yang memikat Syams, Utari. Sosok yang diceritakannya akan hadir dan menghantui pembunuhnya. Aku bergidik
Kubelai kepala Ibu Kunti. Isaknya kian sengak. Arakan jenazah mulai bergerak. Dan gema kalimat tauhid mendendangkan lagu dingin di hatiku. Di tambah suara isak Ibu Kunti, sendi-sendi tubuhku semakin bergidik. Apalagi sepasang mata tajam si dara itu, yang tidak mau melepasku barang sebentar.
Pemakaman berlangsung syahdu. Pembaca talqin tidak hanya menyudahi bekal bagi si mayit Syams. Tapi ia juga seperti putusan yang ditimpakan padaku. Ada rasa sesal. Tapi juga kesal. Tanpa terasa airmataku juga menetes. Satu-satu. Seperti para pelayat yang mulai pulang.
Kini tinggal Ibu Kunti, aku dan si dara berkebaya legam hitam itu yang termangu. Menghikmati upacara duka yang baru usai. Menikmati cuaca berkabung yang tunai. Lalu Ibu Kunti menatapku dingin. Tatapan yang membuat bulu kudukku berdiri. Lebih dingin dari aroma tubuh Syams. Ia melepaskan rangkulanku.
”Benar kata Syam” suara ibu Kunti lirih ”suatu hari nanti pembunuh anakku akan datang kepadaku. Dan meminta tolong untuk mencincang tubuhnya di bilik suara”
Aku tersentak. Ibu Kunti berlalu dengan lambaian jumawa. Si dara berkebaya hitam legam meremas stiker gambarku. Lalu menginjaknya.
Sedang aku menghunus pisau untuk mereka{}


*dimuat di surabaya post, minggu 1 Maret 2009

**Fitriyani El-Mansur: nama pena Salamet Wahedi
Lahir di ujung pulau Madura. Setelah menamatkan sekolahnya di Pondok Pesantren Mathali’ul Anwar, ia tercatat sebagai mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS, Universitas Negeri Surabaya. Karya-karyanya dimuat dan dipublikasikan di Radar Madura, Horison, Majalah Al-fikr, Duta Masyarakat, tabloid kampus GEMA, Majalah Widyawara, Majalah Media, dan lain-lain. Kini tinggal di dusun Ageng RT. 08 RW. 04 desa Pinggir Papas, Kalianget-Sumenep. Nomer Hape: 085645602814

Selengkapnya...

Sang Pemulung

by: Salamet Wahedy

Mengenangnya, apalagi menceritakannya pada kalian, sosoknya begitu membebani pikiranku. Bagaimana tidak, sosoknya begitu kontroversial. Kata-katanya ceplas-ceplos. Tapi penuh tekanan dan hikmah. Tingkah lakunya, setali tiga uang dengan ucapannya. Pakaian ala kadarnya. Compang-camping seperti gelandangan lazimnya. Pekerjaannya hanya memunguti kaleng, botol, atau gelas air minum bekas. Tapi dari gerak-geriknya, ia sosok yang penuh talenta, gesturnya menyimpan benih bergairah, serta rautnya menebar aura.

Entah bagaimana aku mesti menceritakan pada kalian. Sebagai pemungut sampah, ia tampak rapi dan bersih. Sebagai juru warta yang selalu mendongengi kami, ia tak memahami kaidah berita. Sebagai gelandangan, ia memiliki rasa dan karsa. Dianggap penjahat pun, ia jauh dari sosok kriminal. Entahlah siapa dia sebenarnya?

“Aku hanya seorang pemulung. Pemulung kaleng bekas. Botol dan gelas air minum bekas. Juga Pemulung kata-kata bekas. Peristiwa demi peristiwa yang membekas” ujarnya di suatu pagi. Ia datang padaku saat aku celingukan. Kemudian dituturkannya sepotong hikayat tentang seorang kakek yang hidup dengan satu istri dan empat orang anak. Penghasilannya hanya didapat dari upah penjualan lencak kaju1 yang dipasarkannya. Satu lencak kaju, memberinya tujuh ribu lima ratus rupiah.

“Kakek yang menyita perhatianku” lanjutnya. Ia bercerita penuh intonasi dan penghayatan. Matanya selalu menerawang jauh, hingga pada detik yang penuh inspirasi.

“Suatu hari”, lanjutnya. ”Aku berkesempatan bertemu dengannya. Wajahnya lusuh, tapi tidak menampakkan aura yang lumpuh. Tuturnya lembut. Kilat matanya penuh imajinasi. Sesekali ia tersenyum. Apalagi ketika mendengar berita huru-hara, senyumnya semakin menampakkan kematangan. Senyum yang mengembang dari mental kokoh”, ia terus bercerita.

Di sela-sela ceritanya, ia menegaskan makna dan hikmah setiap kejadian ‘penting’. Ceritanya mengingatkan aku akan nenek. Nenek yang selalu berdongeng menjelang tidur. Dongeng yang selalu diterjemahkan: buah apa yang bisa kita petik?

Dan seperti kebiasaannya, ia selalu mengakhiri ceritanya dengan sebait ucapan filosofis.”Aku tidak makan sama manusia. Aku makan pada Tuhanku” tegas kakek itu, ujarnya dengan tatapan sayu. Sunggingan senyumnya seperti hendak menusuk dada pendengarnya.

Ah, mungkin ia pendongeng? Tapi aku selalu dihinggapi keraguan, kegamangan setiap menebak dirinya. Namanya pun, aku selalu sangsi: Kron, Danto, Cobik, Centong, dan sederet nama lainnya. Aku selalu ditertawakan setiap kali memanggilnya.

“Ah apalah sebuah nama. Mengenang Shakespeare terlalu lapuk”, selorohnya. ”Sebagai doa, ia terlalu singkat”

“Lalu?”

Ia tertawa. Tawa yang membangkitkan gairah. Aku mengenangnya karena tawanya yang berteknik ini.

***

Kali pertama aku menemukan namanya di sebuah halaman koran: Kron! Puisi-puisinya begitu rancak. Puisi yang lahir dari kejernihan. Puisi yang tidak menyita kening berkerut. Puisi yang bersahaja.

Kali pertama aku bertemu dengannya, aku juga mengesankan bahwa ia seorang penyair. Mungkin juga sastrawan. Tapi setelah pertemuan kedua kalinya, kesanku berbeda lagi. Petuah-petuahnya, bahkan ide-ide yang ditungkannya dalam cerita-ceritanya, menandaskan keyakinanku akan sosoknya yang lain: kiai atau da’i, atau bahkan pemangku adat!

“Pesan apa Mang?”, suara Bu Dango membuatku tergeragap. Aku angkat mukaku. Dan kulihat sumringah Bu Dango secerah pagi.

“Sudah baca cerpen tentang aku?” suara Bu Dango menampakkan kebanggaan. Binar matanya memancar bahagia. “Warung tepi Kali, judulnya”.

“Kron itu pemuda yang hebat, Mang” sejenak Bu Dango duduk di dekatku. Tangan ringkihnya meletakkan kopi susu pesananku.”Suatu sore ia datang padaku. Ia utarakan niatnya untuk berbagi cerita denganku. Aku pun bercerita” Bu Dango menerawang jauh. Kata-katanya seperti tetasan hujan. Begitu ritmis. Meski sesekali laksana hempasan ombak menghantam karang. Tidak karuan. Kata-kata yang terus berletusan dari bibir keriputnya. Legam dan berkerut.

Aku akui, cerita Kron tentang Bu Dango sungguh menggugah. Kehidupan orang cilik. Seorang penjaga warung. Pendapatan rata-rata 20 ribu rupiah per hari. Tanggungan keluarga lima orang. Disuguhkan lewat narasi yang runtut. Bahkan bumbu kesewenang-wenangan penguasa pada orang cilik seperti Bu Dango, semisal penggusuran warung Bu Dango yang sudah ketiga kalinya, menyegarkan kilasan ingatan kita akan realita yang biasa direkam siaran televisi. Siaran bernuansa berita dan tragedi. Masih berdasar pengakuan Bu Dango, juga sedikit pendapatku, Kron kadang-kadang seperti para pengarang ‘kiri’. Di sini pun, aku pun curiga: jangan-jangan Kron penganut paham komunis! Kalau ya, apakah ia salah? Apakah ia tidak boleh mengeluarkan pendapatnya tentang diorama hidup yang suram dan penuh intrik para bandit ini?!

“Meski omongannya terasa beraroma kiri, Kron juga shalat” tepis Bu Dango buru-buru. Lalu lanjutnya, “Kron memiliki kepekaan yang tidak dimiliki orang sebarangan. Tidak hanya aku yang diangkatnya dalam cerita-ceritanya. Kasus Bu Wiwit, tetangga sebelah ibu, selesai berkat tulisan Kron. Ia tidak pandang bulu membantu orang. Ketulusannya dalam membantu orang seperti kami, telah terbukti. Waktu ia mendampingi Bu Aslan…” sejenak Bu Dango menggantung ceritanya.

“Cerita apa ya?” Pak Kandeng mampang di ambang pintu. Ia memesan kopi item dan sebatang rokok. “Cerita tentang Kron, toh?” Pak Kandeng mengelap keringat yang menetas di dahinya. “Kron tidak hanya peka. Ia begitu halus dan tulus menerjemahkan fragmen hidup. Ia cerdas dan tangkas menanggapi. Pendapat-pendapatnya tidak asal…”

“Nggak makan Pak? Suara Bu Dango dari dapur memotong kata-kata Pak Kandeng. Pak Kandeng tersenyum kecil. Lalu ia memutuskan tidak makan. Lalu melanjutkan kenangnya akan sosok Kron, “tafsir Al-Qur’annya juga fasih. Ia mampu menangkap dan menerangkan isinya amat detailnya. Amat terangnya bagi kami yang tidak tahu-menahu apa-apa” tawa Pak Kandeng berderai renyah.

Ah Kron! Perpisahan dengannya, tidak mengurangi akan kehadiran sosoknya. Ia tetaplah sosok yang kontroversi sekaligus menyisakan fenomena kekaguman. Lima hari tidak bertemu dengannya, ternyata referensi tentangnya begitu berlimpah ruah. Referensi yang membuatku semakin ragu dan gamang untuk menebak dan menceritakannya secara pasti: siapa Kron sebenarnya?

***

Aku tidak bisa menceritakannya secara pasti. Belum bisa! Keraguan dan kegamanganku semakin bertumpuk. Pencarianku akan siapa sebenarnya dirinya, hanya menambah kabur pemahamanku. Tapi hal yang perlu kalian ingat, berdasar simpulanku: Kron orang penuh misteri! Di mataku dan di mata orang-orang sepertiku:Bu Aslan, Bu Dango, Pak Kandeng, Bu Wiwit, Kron sosok yang gagah, berani. Ia tak hanya pahlawan. Bahkan kami diam-diam mengimpikannya bak seorang nabi: penuh pencerahan dan totalitas kepekaan sosialnya. Sebaliknya, di mata orang-orang yang jadi lawan kami: penguasa, pemilik modal, Kron adalah ular yang menyimpan bisa, yang sewaktu-waktu akan mematikan mangsanya, lawannya: lawan kami!

Seperti pagi ini, kejanggalan diri Kron terpampang di tengah kota. Di tengah alun-alun. Ia telah membuat penguasa kota marah. Ia digantung di tengah alun-alun.

Tubuhnya compang-camping. Ceceran darah mengering di sekujur pakaiannya. Tapi bukan Aroma amis yang menyeruak sampai jarak lima puluh meter. Seperti dipenuhi semerbak bunga setaman hidungku, saat aku mendekat. Tubuh Kron begitu tirus. Ringkihnya lirih. Suaranya pelan. Sangat pelan. Dan di sekelilingnya, orang-orang tersedu. Mata mereka sembab. Orang yang berbaju putih. Di bawah kelabu langit, gerombolan mereka menguar cahaya. Tubuh Kron menjelma mercusuar di tengah mereka. Tubuh yang tergantung di tiang berlumur darah. Sungguh parade magic!

“Dosa apakah yang kau perbuat kawan?” bisikku di telinganya yang menggema. Telinga yang seolah sarang lebah. Suara-suara yang bertahan di gendang pendengarnya, suara-suara yang begitu akrab. Begitu dekat.

“Dosaku hanya pemulung kawan” senyumnya bangga! Kedua tapuk matanya pun mengisyaratkan perjalanan panjang.

Ya, perjalanan panjang. Sejak saat itu, sejak Kron melempar senyum pada kelabu langit, kelam malam. Sejak Kron menghembuskan nafasnya di tiang gantungan, kami pun paham akan posisi kami: Para pemulung!

Lidahwetan, maret 2009

1. Lencak kaju: dipan kayu/ tempat tidur yang terbuat dari kayu.
Selengkapnya...

Awas!!! Fitna, Fitna dan Fitnah

Sebelumnya Geert Wilders sudah mengingatkan kita lewat filmnya yang spektakuler. Film berjudul Fitna yang sempat menjadi kontroversi beberapa waktu lalu merupakan pukulan berat bagi umat muslim di seluruh penjuru negeri, namun hendaknya mampu dijadikan pelajaran berharga dalam mempersiapkan diri menyambut ’fitna-fitna’ selanjutnya. Terutama persoalan Ahmadiyah yang tak kunjung usai.

Mungkin saya merupakan salahsatu dari sekian bangsa Indonesia yang kurang mengindahkan ’himbauan’ pemerintah, yaitu himbauan untuk tidak menonton film ’fitna’ yang sempat menjadi persoalan dunia muslim beberapa waktu lalu. Terus terang saya akui sangat penasaran, sebab tanpa tahu seluk beluk inti permasalahan tentunya sungguh kurang bijak jika kita terlalu cepat mengambil tindakan (take action) atas munculnya film tersebut. Dan perlu disadari bahwa pengambilan keputusan semacam itu ¾yang tergesa-gesa¾hanya akan menambah mudharat bagi umat. Jika kita kaitkan dengan keadaan umat muslim di Indonesia sekarang, tentu sangatlah berbahaya karena masyarakat akan mudah untuk terpancing oleh provokasi sesaat yang menyesatkan tersebut sedangkan di dalam negeri rakyat masih sangat disibukkan dengan persoalan-persoalan aliran ’sesat’ yang hingga kini belum juga reda.

Sebenarnya jika dikaji lebih jauh, film yang dibuat oleh salah satu pejabat parlemen negeri Kincir Angin tersebut sangat jauh dari kesan keislaman ¾sedikitpun¾ bahkan saya menganggap film itu merupakan kumpulan kejahatan sosial yang terjadi dan terangkum secara mbulet serta ngawur. Lebih dari itu, tanyangan film berdurasi 16 menit tersebut menunjukkan kelemahan otentisitas dan relevansi dari pembuat film itu sendiri. Tidak diragukan lagi, hanya kaum awam-lah yang akan mudah terpancing dengan tanyangan semacam itu, selebihnya sikap arif serta bijaksana lebih dibutuhkan menyikapi dilema ini.

Yang Menjadi Pegangan....

Tidak diragukan lagi, bahwa Islam turun ke muka bumi adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmat-an li al ’alamin). Sebab nabi adalah diutus untuk seluruh umat manusia secara “universal” artinya tidak hanya untuk kaum muslim saja, dan umat non-muslim sekalipun akan mampu menilai serta merasakan apa yang telah diwariskan oleh Islam kepada sejarah.

Jika kita kembalikan lagi pada Al-Qur’an maka kita akan menemukan semua jawabannya. Di dalam Al-Qur’an Surah pertama (Al-Fatihah) dikatakan “segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam” (QS. 1: 2) menunjukkan bahwa Tuhan melindungi sekalian alam ini dengan segala sifat-sifatnya yang Agung. Tidak mungkin Tuhan kemudian mengajarkan kekerasan kepada sesama. Meskipun kemudian Geerrtz menunjukkan beberapa ayat perang dalam film fitna tersebut (terlepas dari kekurangpahaman Geert Wilders terhadap penafsiran ayat-ayat tersebut), namun ayat kedua Al-Fatihah ini memiliki keotentikan makna yang tidak dapat disangkal sebagai ummul qur’an.

Hematnya, semua agama tidak akan mengajarkan kekerasan, Apalagi Islam yang (bagi saya) merupakan agama penyempurna dari agama-agama terdahulu (yahudi-nasrani). Sehingga kekerasan apapun yang terjadi dalam agama adalah bukan atas nama agama (Islam).

Bukankah Umar bin Khattab sendiri mati di ujung pedang seorang muslim? Tetapi kemudian hal ini bukan diangggap sebagai penodaan si pembunuh terhadap Islam, apalagi yang menjadi persoalan hanyalah permasalahan ekonomi tentang pabrik gandum yang di miliki oleh Abu Lu’lu’, sang pembunuh khalifah. Bukankah Reformasi Gereja yang terjadi pada abad ke-16 sebagai ketidakpuasan penganut Katolik sendiri terhadap dogma-dogma Gereja yang dianggap kaku lebih bisa dianggap sebagai keterpurukan suatu agama? Termasuk Gerakan Revolusi Islam Iran yang terjadi pada 1979 M. Bagaimana dengan pelakunya? Mereka kedua-duanya masih dianggap sebagai pahlawan, bahkan hingga sekarang.

Jika demikian, apa yang dilakukan Geert dalam mencari titik celah dari suatu agama tentunya lebih mudah daripada mengorek kelemahan apa yang menjadi kepercayaan dan keyakinan kita sejak kecil. Kita juga tidak akan sulit jika ¾misalnya¾ membuat film dokumenter yang setara atau bahkan lebih buruk. Tetapi hal tersebut bukanlah solusi, karena permasalahan belum tentu selesai hanya dengan pertarungan adu film yang tidak akan ada habis-habisnya. Sebab setiap agama (baca: pemeluk) pasti memiliki kebobrokan yang disebabkan kurangnya konsistensi dalam menjalani sebuah agama secara baik.

Kekerasan serta teror tidak boleh dipandang sebagai bagian dari agama. Sejauh dan seburuk apapun yang dilakukan personal maupun kelompok dalam upaya kejahatan lain dengan skala tertentu tidak boleh disangkutpautkan dengan masalah keyakinan. Berbagai macam aspek seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya merupakan penyebab utama terjadinya perpecahan umat di dunia meskipun pada tidak jarang akhirnya mengerucut pada soal keyakinan. Mengapa demikian? Sebab dalam kelompok agama, rasa fanatik serta ’send of be longing’ sangatlah besar bahkan tidak terbatas sehingga paling mudah jika kekuatannya digunakan untuk kepentingan beberapa kelompok.

Sejarah telah membuktikan, bahwa peperangan panjang yang terjadi selama kurang lebih dua abad (1091-1295) yang dikemas dalam Crusade War (perang salib) terlepas dari orientasi sebagai perang yang mengatasnamakan agama ternyata tidak dipungkiri merupakan perang yang berujung pada permasalahan aset-aset ekonomi. Karena itu sejak dikuasainya Konstantin oleh Bani Seljuk (Turki Usmani) bangsa Eropa dituntut untuk mengambil inisiatif lain dengan mengadakan ekspedisi samudra dalam menemukan wilayah-wilayah baru. Ekspedisi ini berupaya untuk menemukan wilayah-wilayah baru untuk melancarkan serangkaian kegiatan ekonomi dengan bangsa Timur yang terputus. Terlebih-lebih perang yang mengakibatkan trauma serta permusuhan berkepanjangan antara kedua belah pihak ini telah memicu kebencian yang jika terkena percikan sedikit saja akan menimbulkan masalah yang tak kunjung reda.

Wahai Kaum yang Beragama

Sudah bukan saatnya kita di era global seperti ini terlalu membesar-besarkan hal ’sepele’ ini untuk diperdebatkan. Sebab terlalu membuang-buang tenaga dan pikiran. Sudah waktunya kita berinstropeksi. ”adakah yang salah dengan agama kita?” jika tidak ¾dan tentunya pasti tidak¾ maka perlu kita pertanyakan lagi ”adakah yang salah dengan kita?”. Jika ini yang menjadi pertanyaan, maka jawabannya harus kita tunjukkan kepada mereka (yang atheis maupun yang tak perduli terhadap agama) bahwa inilah kita! Yang mampu merubah sejarah dunia, mampu memberikan yang terbaik kepada seluruh negeri secara universal. Sebab jika tidak, bukan sesuatu yang mustahil jika kaum beragama pada akhirnya akan menyusut dan harus kalah dalam kompetisi global.

Setidaknya bagi kaum muslim khususnya di Indonesia hendaknya ’berterima kasih’ atas apa yang dilakukan oleh Geert. Bagaimanapun juga ia telah mengingatkan kepada kita tentang pentingnya persatuan dan kerukunan sesama muslim, termasuk pentingnya memperbaiki citra diri kita masing-masing sebagai pemeluk agama mulia ini. Dan yang perlu menjadi perhatian serius. Di negeri ini, relegiusitas merupakan momok yang hingga sekarang masih dipegang teguh. Berbagai persoalan yang menyangkut agama sangat rentan untuk menimbulkan konflik. Baik itu penodaan, pengingkaran ataupun pengambilan kepentingan dalam agama.

Persoalan Ahmadiyah yang hingga kini belum juga usai. Hendaknya dijadikan pelajaran berharga. Bahwa kita sedang diuji. Mampukah kita menghindari apa yang dikatakan Geert sebagai ’fitna’ itu? Bisa jadi kita yang selama ini meninggikan dan mengelu-elukan Islam justru menenggelamkan dan menodai agama kita. Sebab bukan tidak mungkin jika kepentingan-kepentingan yang menyangkut politik ataupun ekonomi tersembunyi dibalik hiruk pikuk Ahmadiyah ini. Dan dari sini bisa kita lihat, bagaimana konsistensi pemerintah untuk tetap berpegang pada UUD 45 sebagai landasan konstitus tanpa harus mengurangi skala dari aspirasi massa ataupun sekelompok ormas dalam menyikapi Ahmadiyah yang diaanggap sesat ini.

Surabaya, 5 Juni 2008


Selengkapnya...

Saatnya Mahasiswa Kembali Bangkit

Berdirinya Budi Utomo pada 1908, Pencetusan Sumpah Pemuda 1928, serta Peristiwa Reformasi tahun 1998 Membuktikan Bahwa Peran Mahasiswa Tidak Akan Pernah Mati

oleh: Mahfud

Dalam berbagai kesempatan telah banyak dikemukakan, bahwa mahasiswa merupakan agent of change/agent of control. Peristiwa 1998 yang merupakan unsur klimaks dari perjuangan mahasiswa di Indonesia telah menunjukkan bukti-bukti tersebut. Dalam kenyataannya, peran mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa yang berpendidikan dan berpengetahuan juga tidak dikesampingkan di sini. Gerakan mahasiswa 1998 yang berhasil menghimpun kekuatan bersama rakyat (social force) dan mampu menggulingkan rejim Soeharto telah membuka pengetahuan baru kepada kita. Ledakan-ledakan yang terjadi sejak tahun 1908 dengan berdirinya Organisasi Budi Utomo sekaligus dimulainya era perjuangan baru bangsa Indonesia, kemudian pada Oktober 1928 dengan adanya Sumpah Pemuda merupakan suatu pembuktian bahwa tanpa mahasiswa, Indonesia tidak akan pernah ada!! Sekali lagi Indonesia tidak akan pernah ada!!

Sebagai penegasan kembali, bahwa perjalanan pasca kemerdekaan baik pada masa ‘Orde Lama’ maupun Orde Baru meskipun tidak terlihat kemampuan yang menunjukkan adanya kemampuan“problem solving” tetapi setidaknya mampu membentuk suatu kebersamaan “solidarity making”. Dan efektifitas dari keterbatasan action semacam ini sekalipun belum mampu menghasilkan result yang sangat baik (sesuai harapan) tetapi setidaknya mampu melenyapkan kemungkinan yang lebih buruk. Dan atau hal terkecil yang paling kita rasakan adalah suasana baru (a new era), baik setelah turunnya Soekarno dengan Supersemar maupun setelah lengsernya Soeharto tahun 1998. Sebelum dilanjutkan pada bahasan selanjutnya mungkin sedikit “flashback” di atas mampu menggugah semangat kita ke depan, bahwa apa yang terjadi pada “difficult phases” tersebut bukan suatu keniscayaan bagi kita untuk mewujudkannya kembali apa yang mereka kerjakan.

Banyak kalangan menilai bahwa reformasi 1998 merupakan gerakan massa terbesar dalam sejarah Negara kita. Rejim Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun dengan otoriteristik-nya, serta keterbatasan ruang gerak cendekiawan oleh todongan senjata karena kuatnya militer pada saat itu. Ternyata mampu digulirkan oleh kalangan demonstran yang terdiri dari para mahasiswa serta masyarakat dan tanpa senjata. Dan apakah gerakan ini menghasilkan? Ya..

Reformasi 1998 memang tidak dapat sepenuhnya lebih dibandingkan dengan moment-moment besar sebelumnya. Apalagi melihat kenyataan saat ini di masyarakat yang penuh dengan euphoria serta turunnya nilai-nilai moral dalam masyarakat. Ekonomi yang semakin mengkerdilkan nasib wong cilik serta semakin merajalelanya budaya korupsi sebagai warisan turun-temurun rejim Orba. Sungguh bukan itu yang kita harapkan dari reformasi 1998 yang gede itu.

Tanpa sedikit mengurangi rasa hormat atas jasa para pejuang 1998 tersebut. Kita sebaiknya sadar bahwa ini merupakan cambuk bagi kita., bahwa perjuangan 1998 bukan akhir dari segala-segalanya. Bahwa saatnya kita berjuang, membentuk kembali jiwa-jiwa pahlawan yang telah hilang dari peredaran bangsa Indonesia , guna membangun pribadi civitas academica yang dinamis dan progresif.

Menandai hadirnya masa-masa yang semakin suram ini, krisis multidimensi yang berkepanjangan, terutama krisis moral dan etika. Keadaan ini semakin dipersulit dengan komposisi mahasiswa yang pasca reformasi 1998 mengalami“low environment”. Sudah saatnya para mahasiswa bangkit tanpa menunggu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Persoalan-persoalan bangsa ini yang semakin pelik, ditambah berkurangnya perhatian pemerintah karena terlalu banyaknya permasalahan yang harus dipecahkan menuntut kita untuk turut serta membuat perubahan baru, gerakan baru serta semangat yang baru.

Tipe Perjuangan?

Memang tidak salah jika selain disebut sebagai agent of change, mahasiswa juga sering dikenal sebagai civitas academica. Hal ini menunjukkan betapa urgen-nya posisi mahasiswa dalam proses perjalanan suatu bangsa. Sebab selain sebagai generasi yang mampu bergerak progresif dan revolusioner, mahasiswa juga memiliki kemampuan untuk berpikir dinamis, kritis tetapi logis. Sehingga dalam menyikapi suatu persoalan bangsa hendaknya mampu memilah skala prioritas untuk menyusun kerangka arah perjuangan. Pimilihan unsur strategi ini sangatlah penting mengingat gejolak serta kondisi bangsa yang terus-menerus mengalami perubahan.

Di zaman pembangunan seperti sekarang ini, tentu yang lebih dibutuhkan adalah otak-otak yang mampu bekerja secara teknis, bukan sekadar bicara, retorika-retorika panas dan menggairahkan, terlebih-lebih kontak fisik. Cara-cara lama semacam itu mungkin masih cukup diperlukan (namun dalam skala relatif kecil) mengingat kecakapan utama yang menjadi kebutuhan saat ini adalah kecakapan “problem solving” bukan sekadar “solidarity making” seperti yang terjadi di masa-masa lalu. Artinya pribadi yang ulet, tekun, dan siap saing adalah lebih dibutuhkan saat ini daripada hanya sekadar ‘jargon-jargon palsu’ yang setiap harinya selalu memenuhi tampilan layar televisi serta halaman-halaman utama surat kabar.

Di sisi yang sama, Dr. Nurcholish Madjid (semoga rahmat Allah bersama beliau) pernah menulis bahwa “Model (perjuangan berkobar lewat pidato-pidato panas dan retorika bombastis) ini meskipun barangkali menarik untuk orang awam tetapi perannya dalam mencari pemecahan masalah masyarakat, umat, bangsa, dan negara sangat kecil”.

Hal ini membuktikan betapa kerangka berpikir yang strategis sangat sekali diperlukan untuk memecahkan masalah suatu bangsa. Inilah saatnya untuk mulai mengubah diri, agar tidak selalu berpangku tangan. Sebab sudah merupakan tanggungjawab kita sebagai insan akademis untuk melakukan perbaikan terhadap sistem (bukan penghancuran).

Di sisi lain, peran mahasiswa sebagai social transformator dalam perubahan harus memiliki orientasi yang jelas. Sebab tidak menutup kemungkinan, gerakan mahasiswa hanya akan dijadikan alat oleh elite politik terutama adanya indikasi saling tunggang-menunggang antar keduanya. Tidak dapat disangkali bahwa baik sebelum maupun sesudah runtuhnya rejim Orba banyak gerakan mahasiswa yang masih memiliki kebergantungan terhadap kaum elite (terutama parpol). Hal ini tentunya akan sangat sulit untuk menyatukan konsep-konsep maupun pemikiran-pemikiran ke arah yang sama sebab setiap organ memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Itulah sebabnya gerakan mahasiswa pada masa-masa sekarang ini cenderung tidak memiliki kemampuan yang penuh untuk berpikir dinamis, kritis dan logis.

Menghilangkan sikap apatis mahasiswa sebagai ‘tugas tambahan’ yang perlu diperhatikan memang bukan hal yang mudah namun tetap menjadi suatu keharusan. Begitupula pembentukan gerakan mahasiswa yang independent secara hakiki, artinya tidak bergantung kepada apapun dan siapapun. Sebab paradigma-paradigma untuk tidak ambil bagian dalam upaya “berdemokrasi sehat” akan mengakibatkan alpha-nya pihak pemerintah dalam mengemban amanah dan kewajiban mengurus umat. Jika pada Reformasi 1998 kalangan mahasiswa mampu memunculkan musuh bersama serta menyongsong misi mengembalikan kedaulatan rakyat maka sekaranglah saatnya untuk kembali meluruskan arah kedaulatan serta hak-hak rakyat yang mulai tercecer. Jika saat reformasi kita memiliki musuh yang jelas yaitu rejim Orba, maka pada fase kali ini kita dihadapkan pada musuh yang lebih berat, yang tak terlihat, dan sangat menyengsarakan, bahkan tikus-tikus penentang Orba di saat reformasi sekalipun bisa menjadi musuh yang sangat mematikan bagi pergerakan. Oleh sebab itu, independensi dari masing-masing gerakan mahasiswa amat diperlukan dan harus dikembalikan dalam rangka pengembalian harga diri serta kehormatan mahasiswa dan untuk pemecahan permasalahan bangsa. Sudah saatnya, gerakan-gerakan ini mulai melepaskan diri secara substansi dari kongkongan politik praktis apalagi ketergantungan akan modalitas yang menimbulkan perpecahan sesama gerakan. Akhirnya diharapkan mahasiswa mampu memadukan serta menyatukan visi-misi dalam koridor yang jelas dan tersistem agar mampu menghasilkan output yang maksimal.

Di moment yang besar ini, mari sejenak kita jadikan renungan bersama:

Mahasiswa di masa lalu, tepatnya tahun 1908 berani mengubah haluan perjuangan bersenjata (yang sebelumnya bersifat kedaerahan) menjadi perjuangan berskala nasional yang lebih halus dengan dibentuknya organisasi Budi Utomo. Kemudian 20 tahun berselang giliran mahasiswa kembali menorehkan sejarah awal ‘pembentukan’ bangsa Indonesia yang dikenal dengan Sumpah Pemuda. Selang 80 tahun setelah Sumpah Pemuda, tepatnya Mei 1998 giliran mahasiswa kembali mencapai prestasi puncaknya dalam memperjuangkan kebebasan rakyat melalui gerakan Reformasi-nya. Sudah saatnya kita mengukir sejarah baru. Menghilangkan sikap apatis mahasiswa. Begitupula pembentukan gerakan mahasiswa yang independent secara hakiki, artinya tidak bergantung kepada apapun dan siapapun. Sebab paradigma-paradigma untuk tidak ambil bagian dalam upaya “berdemokrasi sehat” akan mengakibatkan alphanya pihak pemerintah dalam mengemban amanah dan kewajiban mengurus umat.

Jika pada Reformasi 1998 kalangan mahasiswa mampu memunculkan musuh bersama (common enemy) serta menyongsong misi mengembalikan kedaulatan rakyat maka sekaranglah saatnya untuk kembali meluruskan arah kedaulatan serta hak-hak rakyat yang mulai tercecer. Jika saat reformasi kita memiliki musuh yang jelas yaitu rejim Orba, maka pada fase kali ini kita dihadapkan pada musuh yang lebih berat, yang tak terlihat, dan sangat menyengsarakan, bahkan tikus-tikus penentang Orba di saat reformasi sekalipun bisa menjadi musuh yang sangat mematikan bagi pergerakan. Oleh sebab itu, independensi dari masing-masing gerakan mahasiswa amat diperlukan dan harus dikembalikan dalam rangka pengembalian harga diri serta kehormatan mahasiswa dan untuk pemecahan permasalahan bangsa. Sudah saatnya, gerakan-gerakan ini mulai melepaskan diri secara substansi dari kongkongan politik praktis apalagi ketergantungan akan modalitas yang menimbulkan perpecahan sesama gerakan.

Surabaya , 20 Juni 2008

Maud Khan

Selengkapnya...