Mengganti Template Pada Blogspot

Sebelumnya kawan2 bisa mencari berbagai macam template yang sesuai dengan selera melalui "Google". Misalkan dengan mengetikkan "Free Blogger Template" atau "Blogger Templates Download" dan semacamnya.  Kawan2 bisa mendownloadnya dari situs-situs tersebut. Biasanya file-nya langsung berupa XML atau masih berbentuk Winrar Archieve (di-extract dulu). Ingat!!! pilih yang benar-benar sesuai selera.
Pengalaman Penulis yang selalu berganti-ganti template, selalu disebabkan template yang sudah lama dipakai ternyata kurang bagus. Dan tentu ini beresiko dengan hilangnya Widget/Gadget yang sudah terlanjur banyak.

Langkah Mengganti Template:
Silakan Login menggunakan account blogger/Google Anda. Kemudian Masuk pada "Lay Out" atau "Tata Letak"
Pilih menu Edit HTML





*catatan: Untuk berjaga-jaga, kawan2 bisa terlebih dahulu mendownload template yang sementara ini dipakai. Jadi seandainya template yang baru dirasa kurang cocok atau mungkin karena fiturnya yang terbatas, kawan-kawan bisa kembali pada template awal tanpa perlu merubah widget/gadget seperti semula.



Langkah berikutnya klik "Browse", cari lokasi penyimpanan file XML kawan





Klik tombol "Upload"


Klik tombol "Confirm & Save"


Selamat, Sekarang Template kawan sudah berubah....!!! Selengkapnya...

Menambah Widget pada Blogspot

Banyak sekali manfaat WIDGET, selain untuk aksesori (mempercantik Blog, WIDGET juga berfungsi sebagai link, arsip, label, page rank, atau bahkan untuk menambahkan iklan pada Blog. Ada berbagai macam WIDGET yang dapat kita peroleh di dunia maya. Beberapa macam widget tersebut misalnya widget jam, widget page rank, widget alexa, widget traffic counter dan berbagai bentuk widget default yang memang sudah disediakan sebelumnya oleh Google/Blooger. Biasanya Widget didapat dalam bentuk kode HTML/Javascript. Untuk mendapatkan widget seperti yang kita inginkan, bisa dicari dengan mesin pencari seperti Google. Setelah ketemu situs yang dicari, tinggal ikuti caranya yang tercantum dalam situs tersebut. Setelah berhasil, biasanya kita akan mendapatkan kode HTML/Javascript yang dapat kita pasang di Blog sesuai keinginan kita. Untuk beberapa widget juga sudah saya post kan diblog ini.

Nah, untuk memasangnya ke dalam blog kita (blogspot), Langkah-langkahnya yaitu :
1. Masuk (Log in) situs Blogger dan masukkan username serta password
2. Klik Tata Letak (Lay Out) yang ada pada pojok kiri atas
3. Pilih Elemen Halaman (Page Element)


Pada elemen halaman ini akan terlihat gambaran Blog kita secara umum, yang memuat tata letak berbagai macam widget yang kita pasang, letak halaman posting dan lain sebagainya.

4. Klik Tambah Gadget (Add Gadget)
5. Pada halaman baru yang muncul, Kawan2 bisa memilih berbagai macam IWidget yang sudah disediakan oleh Google/Blogger. Atau jika sudah memiliki kode Widget sendiri, tinggal klik tanda + pada HTML/Javascript.


6. Muncul kolom baru yang terdiri dari kolom judul dan konten


7. Isikan judul yang diinginkan, jika tidak menghendaki dapat dikosongkan
8. Paste kode HTML/Javascript yang telah diperoleh pada kolom konten
9. Klik Simpan (Save Changes)
10. Sekarang Blognya sudah lebih cantik, kan?


Selengkapnya...

HAEMI

Oleh: Salamet Wahedy

(I)
Dua tahun dia sudah menghilang.
Tapi Ceritanya berseliweran di sepanjang halaman kampung. Tubuhnya, dua tahun lalu bersih putih. Cerlang matanya tajam. Untaian kata-katanya selalu menyiratkan tanda dan teka-teki. Setiap orang yang berpapasan dengannya, selalu menyediakan tempat ingatan untuk mengenangnya.
Dilahirkan di lingkungan keluarga keturunan dara biru, membuatnya mendapatkan tempat istimewa dalam pergaulan. Ibunya lulusan pondok pesantren. Ayahnya titisan seorang kiai. Teman-temannya memanggilnya dengan sebutan kakak tua.
Di masa mudanya, ia dikenal anak yang berani. Ia tidak takut pada siapa pun. Suaranya lantang. Bahkan sebagai orang yang dituakan dalam pergaulan, ia tetap menunjukkan sikap yang penuh hormat ke sesamanya.
Suatu pagi kejadian itu pun terjadi. Matahari menggeliat dengan malas. Orang-orang masih enggan menepis kesepian. Wajah Haemi tampak memar. Seluruh tubuhnya penuh luka. Gigi depannya tanggal. Yang paling mengenaskan pelipisnya. Tak ada yang mengira: Haemi yang lahir dengan dara biru terjerembab dalam kubang debu.
Haemi dituduh menyelingkuhi istri orang. Ia digebuki. Massa menghakiminya.

(II)
Dua tahun dia sudah menghilang.
Kini, dengan mata cekung legam. Rambut awut-awutan kebiru-biruan. Tampang terpasang seram, ia muncul di ujung jalan desa waku tengah malam. Pandangnya jelalatan seperti mencari sesuatu, seperti hendak membongkar dinding rumah, pohonan juga bebatuan. Jalannya masih tegap. Hanya kaki kirinya agak pincang. Untuk menepis keterasingan suasana malam desa yang larut, berulang ia mendehem, atau sesekali batuk-batuk.
Di rumah kesembilan dari ujung jalan desa, ia mengetuk pintu. Rumah bercat hijau. Hijau keseluruhan. Hanya warna hitam menyela di beberapa sisi dan bagiannya. Rumah nomor nolsatunol. Berulang ia mengetukkan tangannya. Dan berulang pula senyap menelan gemerisik buku tangannya dan daun pintu yang mengelupas.
“Bu. Bu. Bu... Aku Haemi. Buka pintunya Bu. Huk. Huk”, batuknya memberat. Ketukan tangannya semakin keras dan cepat. Rumah itu tampak mau bergetar. Tapi tetaplah senyap yang menyergap untuk beberapa kejap.
Paakk. Paakk. Paakk.
Kini telapak tangannya dihantamkan ke jantung pintu. Kerangka pintu pun ikut bergetar. Seperti kesalnya yang membuncah di kedua matanya. Seperti lelahnya yang menyaru dalam dahak batuknya.
“Sebentar, siapa?”
Pintu berderit berat. Sosok perempuan paruh baya surut di depannya. Sosok itu mengucak-ngucak matanya. Matanya kurang awas. Apalagi malam telah larut. Kabut mengambang di setiap lubang penglihatannya.
“Haemi?” suara itu memastikan dirinya. Ia melengos masuk. Di lemparkannya ransel berat di atas meja bambu tua. Ransel itu meringkuk pasrah seperti tubuhnya yang menimbulkan keriut di kursi bambu di sudut rumahnya.
“Kau ini dari mana saja. Kau pergi tanpa pamit atau kabar yang jelas. Bagaimana maksudmu? Aku tak pernah menganggapmu sebagai Karna. Kau tetaplah Bima”, sosok perempuan paru baya itu berseloroh. Celoteh-celoteh kecilnya seperti kerikil. Ia tak butuh kerikil. Kepulangannya pun hanya sekadar palarian dari kerikil-kerikil yang menggunung di jalannya.
Sosok perempuan paruh baya itu, ibu Haemi, terus berseloroh ria. Petuah dan teguran membuat kuping Haemi tampak berdenyut. Dadanya turun naik. Tanpa ba-bi-bu ia bergegas ke kamar tidurnya. Kamar yang sudah dua tahun terkunci. Hentakan keras membuat debu menghempas.

(III)
“Dari mana saja kau Haemi? Pagi-pagi ibunya kembali memastikan keberadaannya selama dua tahun belakangan ini. Sambil menyuap suguhan ibunya, dengan sedikit kesal, ia menjelaskan keberadaannya.
“Saya tahu ibu melahirkan saya untuk jadi anak yang berbakti. Tapi saya juga berhak untuk mencari pengalaman. Sehingga saya dapat berbakti dengan baik kepada ibu” suaranya agak ketus. Suara yang meletuk seperti kayu-kayu bakar yang mendekati hangus. Panjang lebar dijelaskannya petualangannya.
Malam itu, malam kepergiannya ia mengetahui pacarnya, Indira, memutuskan untuk menikah dengan Kamir. Ia terpukul. Sangat terpukul hatinya. Indira, perempuan yang bersedia pacaran dengannya empat tahun lalu, ternayata diam-diam menjalin hubungan dengan Karim, anak Pak Amir pedagang besar itu. Untuk melepas rasa sakit hatinya, Haemi menerima ‘ajakan’ Nona Pokewati, istri Bang Birokron. Nona Pokewati sudah sejak lama menggodanya. Nona Pokewati, binatang jalang yang binal. Keperkasaan Bang Birokron tidak membuatnya puas. Apalagi Haemi sebagai sosok yang di mata Nona Pokewati penuh imajinasi.
Sialnya sewaktu keduanya melepas segala gumpalan hasrat di dada mereka. Haemi ingin melepas beban nyeri luka hatinya. Nona Pokewati hendak menuntaskan imajinasinya bertarung dengan pemuda penuh imajinasi. Sewaktu mereka hendak melewatkan malam di ranjang spring bed pink di rumah Nona Pokewati, karena kebetulan suaminya lagi bertugas keluar kota, ternyata Bang Birokron pulang mendadak di tengah malam itu. Di tengah pertarungan itu.
“Saya tidak mungkin menahan malu dengan berdiam diri di sini” suaranya serak. Haemi hendak menangis. Tapi buru-buru ditepisnya.
Selama dua tahun ini, ia menghabiskan hari-harinya dengan mendirikan event organiser di Kota Surabaya. Di sana, 176 km dari desanya. Berbekal sisa kemampuan sebagai siswa SMK, ia mengumpulkan beberapa temannya. Satu semester di kota Buaya itu, usahanya cukup berhasil. Ia dapat berkuliah di sana.
“Tapi kenapa kau tidak pamit, atau sekadar ngasih kabar?”
Sayang perjalanan kuliahnya harus pupus. Di semester dua kuliahnya, ia ditimpa nasib sial. Ia ketahuan menggelapkan uang unit kegiatan intra kampusnya. Ia dikeluarkan. Ia pun mesti kembali membangun usahanya demi bertahan hidup. Event organiser yang sempat ditinggalkannya, kini digerakkannya kembali.
“Dan sejak itu Bu...” nafasnya menghela berat. Ceritanya menyimpan kenangan pahit. Matanya menerawang hendak melepas beban yang nyelekit di dadanya.
“Saya mencoba merambah rimba Kota Surabaya. Tapi sayang...” mata Haemi menyelinap di antara celah-ceah rumahnya menangkap bulan. Mulutnya berhenti sejenak. Kata-kata seolah menyingkir untuk diucapkannya.
Sedang ibunya hanya mendengarkannya dengan raut penuh garis-garis campuraduk. Kecewa, iba, sesal membuat airmukanya tercenung rusuh.

(IV)
“Haemi! Haemi! Haemi!
Pagi-pagi pintu rumahnya digedor-gedor. Teriakan dan pekikan penuh amarah memenuhi gelembung udara pagi. Matahari menyeruak seperti airmuka ibunya menguar heran.
“Haemi membawa kabur uang Bu Pathimah. Ia menipu beliau. Haemi seorang penipu”
Sosok kekar tampak melemparkan kata-kata dengan ketus. Cerocos mulutnya seperti hendak menumpahkan kesumat di dadanya. Seluruhnya. Sepenuhnya. Tubuh kekar itu berulang mengulang kata-kata kasarnya. Matanya menyala. Nafasnya turun naik dengan kasar. Tubuh kekar itu suami Bu Pathimah, Pak Kalong.
“Tidak mungkin. Haemi tidak mungkin seperti itu. Anakku bukan penipu. Bukan maling” perempuan paruh baya itu meraung. Suara yang dikuat-kuatkannya, hendak menyerang sosok kekar di depannya. Dengan segala daya-upaya perempuan paruh baya itu hendak menangkis segala tuduhan yang ditimpakan pada anaknya. Ia meraung. Ia mengamuk. Ia kalap.
Segala sesuatu yang dapat dipegangnya, dilemparkannya ke kerumunan tetangganya. Tetangganya hanya menanggapi dengan menghindar. Atau tersenyum kecil melihat kelakuan Ibu Haemi yang seperti kanak-kanak.
“Tidak mungkin Haemi menipu. Tidak mungkin ia mencuri uangmu. Haemi dilahirkan dari rahim yang suci. Ayahnya pun keturunan seorang kiai. Tidak mungkin Haemi mencuri” perempuan paruh baya itu terus melengking. Lengkingan yang runcing. Lengkingan yang menyayat telinga pendengarnya. Mengiris-mengiris gendang telinga di dekatnya.
“Tidak mungkin Haemi menipu. Tidak mungkin” suara itu melemah. Beberapa orang memapah perempuan paruh baya itu.

(V)
Dua tahun dia sudah menghilang.
Kini kedatangannya hanya menyisakan bisik dan gosip. Ibunya sudah dengan segala cara mencoba menepis, tapi nasi sudah jadi bubur. Haemi menjadi sorotan tetangganya. Ia menjadi topik perbincangan yang tiada habisnya. Teman-teman lamanya pun merasa perlu untuk menjaga jarak untuk sekadar menyebut namanya.
Haemi kembali menghilang. Uang Bu Pathimah ditilapnya. Ibunya meradang. Kenyataan ini pun diterimanya dengan dada lapang.
“Haemi, Haemi. Kau kuharapkan menjadi seorang kiai penuh karomah dan magis. Tapi sayang kini kau hampir mirip iblis” seru ibunya menerawang jauh ke langit malam tak berbatas.

Lidahwetan, 01 Juni 2009

Selengkapnya...

Merdeka

Oleh: Putu Wijaya

Pada hari ulang tahun proklamasi kemerdekaan, seorang anak lahir di sebuah kota kecil. Bapaknya, seorang bekas pejuang kemerdekaan, menimang orok itu dengan bangga.

“Selamat datang ke atas dunia. Selamat datang di Indonesia, anakku,” kata lelaki yang bahagia itu. “Kau adalah harapanku, masa depanku dan pewarisku. Aku beri kau nama Merdeka dan jadilah kusuma bangsa.Tulis sejarah yang berbeda dari apa yang sudah aku alami di masa lalu. Merdekakan diri kamu dari segala macam penjajahan, jangan seperti bapakmu ini. Bebaskan negeri ini dari kemiskinan. Merdekakan rakyat dari kesengsaraan akibat kezaliman para pemimpinnya sendiri. Jadilah masa depan kami semua!”

Merdeka kecil, sudah bisa mendengar, tetapi belum bisa menyimak. Ia hanya membuka mulutnya dan tertawa. Bapaknya tersenyum dan berbisik.

“Syukur kamu sudah mendengar apa yang aku katakan. Mudah-mudahan nanti, setelah kamu dewasa dan mengerti apa yang aku katakan, kamu masih bisa tertawa.”

Duapuluh tahun kemudian, Merdeka tumbuh dan dewasa. la menjadi seorang anak muda yang gagah. Wajahnya cakap. Otaknya encer. Barangkali juga terlalu cerdas untuk ukuran seusia dia. Merdeka sangat enerjetik dan suka membantah. Teman-temannya semua suka dan segan. Tetapi guru-gurunya sebaliknya. Mereka kesal.

“Merdeka adalah seorang anak yang hebat. Dia jenius. Dia bisa menjadi pemimpin di masa depan untuk negeri ini. Jenis orang seperti Merdeka sangat kita butuhkan di zaman millenium ini. Tapi sayang dia terlalu PD,” kata guru-gurunya.

“Andaikan saja dia lebih rendah hati sedikit, tak ayal lagi dia bisa menjadi harapan kita semua,” lanjut gurunya yang lain. “Karena di masa globalisasi, ketika kita akan bersaing secara terbuka dengan seluruh dunia, kita memerlukan SDM yang canggih. Merdeka adalah contohnya.Tetapi sayang, dia terlalu cepat matang. Di dalam menuntut ilmu, mula-mula yang diperlukan adalah menyerap, bukan bersikap. Kalau belum apa-apa sudah bersikap, sebagaimana ulah Merdeka, kita akan konyol. Kita tidak akan mungkin bisa maju.

Lihat saja di dalam ilmu pasti, pada dalil satu dan dua kita harus mau menerima saja dulu, tidak boleh membantah. Nah nanti sesudah dalil tiga boleh pertanyakan apa saja dengan logika. Sesudah menguasai ilmu, perkara mau mendobrak atau melabrak, itu terserah. Tapi tidak mungkin memberontak sebelum menguasai. Jadi Merdeka, sudah salah kaprah!”

Merdeka tidak peduli apa yang dikatakan guru-gurunya. Ia lapar ilmu. Ia buka mulutnya lebar-lebar untuk mereguk. Dia tidak peduli sama sekali apa perasaan guru-gurunya. Kalau ia tak setuju, tanpa nertimbangan lagi ia protes. Tidak pandang tempat dan waktu, ia langsung dobrak.

Sebagai akibatnya, Merdeka terkenal sebagai anak kurangajar. Ia ditakuti tetapi sekaligus dikucilkan. Guru-guru ngeper semua kalau ada Merdeka. Akhirnya karena kasus yang sangat sepele, terlambat bayar sekolah, Merdeka dipecat.

Ketika teman-temannya menamatkan pelajaran dan pada me-ngantongi ijazah, Merdeka hanya mengantongi pengetahuan. Tetapi ia tidak kecil hati. Aku hanya memerlukan pengetahuan, aku tidak memerlukan ijazah, kata Merdeka. Dengan bekal kepintarannya itu, ia terjun ke masyarakat dan mereguk hidup yang sebenarnya.

Di masyarakat, kenyataan berbeda dengan apa yang dibicarakan di dalam kelas. Walaupun semua orang setuju bahwa ilmu pengetahuan adalah utama, pada prakteknya, yang menentukan orang dapat pekerjaan adalah ijazah. Ke mana saja Merdeka pergi, dia selalu diminta untuk memperlihatkan ijazahnya sebelum mereka mau membuka pintu. Dan waktu mereka tahu Merdeka tak punya ijazah pintu langsung ditutup.

”Boleh ngomong besar tapi mana bukti. Mana dokumen rekomendasi?”

Teman-teman Merdeka yang goblok, semuanya mendapat pekerjaan dan jabatan. Bahkan yang dulu lulus karena membeli ijazah dan nodong kepala sekolah, mendapat posisi penting. Merdeka melihat kejanggalan itu dengan jijik. Ia merasa diperlakukan tidak adil. Kontan Ia mencak-mencak, berkoar menggelar aksi protes.

Tetapi kepada siapa. Ternyata semua orang hanya mengaku menyuarakan keadilan dan kebenaran. Bila waktunya tiba untuk menunjukkan aksi, semuanya punya alasan untuk menghindar. Bahkan surat-surat kabar yang paling vokal, tak berani memuat gugatannya, ketika itu menyentuh orang yang berkuasa yang mampu menyumpalnva dengan duit.

“Kalian semua hanya ngomong-ngomong muluk, prakteknya semua dagang. Segala kegombalan yang kalian maki-maki, nyatanva kalian kaji sendin!” teriak Merdeka.

Merdeka mulai marah dan benci kepada kehidupan, karena hidup berpihak kepada ketidakadilan. la menjadi sinis dan apatis. Dunia yang dibayangkannya sebagai lautan harapan, sekarang sudah menjadi sarang kebobrokan. Masa depan hanya enak dalam obrolan, pada kenyataannya semua kentut.

Tetapi untunglah tidak semua yang hitam itu hitam. Rupanya di dalam belantara kebrengsekan itu, masih ada orang-orang yang idealis. Setelah kepalanya bonyok ditonjok oleh rasa kesal, Merdeka bertemu dengan seorang yang berpihak kepada kebenaran.

“Memang ijazah itu perlu, karena itulah satu-satunya yang bisa jadi pegangan kita untuk memilih orang terbaik. Tetapi diploma sekarang sudah gampang saja dipalsu,” kata orang idealis itu.

“Jadi Bung Merdeka, keunggulan yang digaransi oleh sebuah ijazah pun hanya keunggulan macan kandang, sedangkan kita menggarap hidup keras di lapangan yang memerlukan siasat. Itulah yang selama ini lupa diajarkan di sekolah mana pun. Walhasil, Bung Merdeka, jangan merasa kesepian. Aku tidak buta. Aku melihat secara transparan potensimu. Persetan dengan ijazah, bukan orang-orang yang bertopeng ijazah itu yang akan memperbaiki negeri ini, tetapi SDM jenius seperti Ente!”

Merdeka lantas dirangkulnya. Diberikan tanggungjawab memimpin sebuah proyek raksasa yang menentukan nasib berjuta-juta orang. Merdeka disodori jabatan, kekuasaan dan harapan.

Merdeka kontan sembuh. Darah membara lagi di mukanya. Ia terima jabat tangan itu dan siap berpacu.

Tetapi apa lacur, pada hari pengangkatannya sebagai panglima proyek, orang yang merangkulnya muncul membawa segepok uang. Dengan muka manis tetapi malu-malu, ia menarik Merdeka ke sudut.

“Merdeka,” katanya dengan suara orang yang bersalah, “kita semua tahu, setiap orang mencari pekerjaan, untuk mendapatkan uang. Betul tidak, Bung?”

Merdeka mengangguk. Betul.

“Nah, berarti Bung, mereka yang lain itu juga bekerja untuk mendapatkan uang. Kalau uang yang Bung cari itu sudah Bung dapatkan, buat apa lagi pekerjaan. Ya kan? Jadi, lihat ini, aku bawakan Bung duit sekarung. Terima rezeki nomplok ini. Dan serahkan jabatan yang sudah ada di tanganmu ini kembali kepadaku. Karena ada seorang anak pejabat yang memerlukan itu. la punya duit. Banyak sekali. Tetapi ia tidak punya kehormatan karena tidak ada jabatan. la membeli jabatan kamu. Jadi klop! Bung untung dan aku juga untung!”

Tanpa menunggu jawaban lagi, jabatan itu diambilnya kembali sambil menaruh segepok uang di tangan Merdeka. Sebelum Merdeka bisa mencegah, idealis itu sudah kabur. Merdeka jadi histeris. Uang itu dicampakkannya sambil mengumpat.

“Bangsat! Aku memang perlu uang. Aku tahu untuk hidup orang membutuhkan uang.Tapi aku tidak hidup untuk mencari uang. Aku cari uang untuk hidup. Dan aku hidup untuk menjalankan amanat bapakku untuk membangun bangsa ini. Untuk menjadi manusia yang berarti dan berbuat kebajikan kepada negeri dan rakyatku!”

Suara Merdeka lantang dan jelas. Tapi idealis itu sudah ngibrit entah ke mana. Tinggal Merdeka yang sekarang benar-benar merasa nasibnya sangat sialan. la berteriak-tenak karena tak mampu lagi menahan emosinya. Orang-orang bilang, anak muda itu sudah mulai terganggu.

“Kamu kelihatannya frustasi, Merdeka,” kata seorang sahabat. “Di zaman edan ini, siapa yang tidak frustasi. Kalau kamu terus ikutkan perasaanmu, kamu akan gim. Kamu tidak akan menjadi istimewa, hanya karena kamu gila. Karena semua orang memang sudah gelo sekarang. Jadi lebih baik kamu waras saja. Lawan semua itu!”

“Lawan? Lawan dengan apa? Musuhku tidak kelihatan. Kalau ada, aku hajar sekarang juga!”

“Makanya jangan lawan secara konfrontatif, lawan dengan cara mencintainya. Terima! Pasrah, Merdeka!”

“Tidak! Aku tidak mau jadi orang Jawa yang nrimo. Itu sudah kuno! Aku manusia baru. Aku bukan proyek feodalisme yang mau saja menjadi budak segala ketidakadilan ini. Aku mau berontak!”

“Tidak mungkin! Orang gila tidak mungkin berontak. Paling banter kamu akan dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Kalau mau berontak jangan pakai otot, pakai mulut dan diplomasi. Belajar dari para politisi. Untuk menguasai diplomasi pikiran kamu harus tenang. Dan untuk tenang jiwa kamu harus stabil. Untuk membuat emosimu stabil, kamu harus punya seorang pendamping. Dengan kata lain, Merdeka, satu-satunya jalan yang bisa kamu pilih sekarang adalah: kawin. Kawinlah Merdeka, sebelum terlambat!”

Merdeka terkejut.

“Apa? Kawin?”

“Ya! Menikah! Apa kamu tidak sadar bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri? Setiap manusia wajib punya teman hidup. Baik untuk diajak bersetubuh maupun untuk berkomplot. Kalau kamu tetap sendiri, kamu akan menjadi manusia separuh yang tidak lengkap. Emosimu akan labil. Dan staminamu hanya sebatas ayam sayur. Jati dirimu akan kropos. Pasti kamu akan cepat tamat. Makanya, cepat-cepat saja, carilah seorang teman hidup. Mesti berkongsi, melawan semua kebejatan dunia ini. Kalau tidak kamu akan terlambat. Coba umurmu sudah berapa sekarang? Jangan terlalu sibuk berjuang, nanti kamu keburu tua bangka dan tidak jadi apa-apa! Apa kamu mau kedaluwarsa?”

Merdeka terkejut. Buru-buru ia berdiri di depan kaca. Lalu dilihatnya sebilah rambut putih berkibar di bulu hidungnya. Garis-garis tua sudah merayap di wajahnya. la tidak semuda yang ia kira lagi. Ia terpaksa menerima, ia hampir basi.

Lalu tanpa berpikir panjang lagi, Merdeka mengajak pacarnya nikah. Pacar Merdeka menyambut lamaran itu dengan pekik gembira. Setelah bertahun-tahun dan hampir kehilangan kesabaran, akhirnya Merdeka berani mengambil keputusan. Siap untuk mengambil resiko melepaskan kebebasannya, memasuki penjara suami-istri.

Tetapi celaka tiga belas. Meskipun dukungan pacarnya seratus persen, calon mertua Merdeka bertingkah. Mereka yang semula menerima Merdeka, tiba-tiba menolak. Alasannya bagi Merdeka sama sekali tak masuk akal.

“Kamu mau menikah dengan putri tunggalku, Merdeka?” tanya calon mertuanya. “Kenapa? Karena kalian saling mencintai?”

“Betul, Pak, kami saling mencintai.”

Calon mertuanya tersenyum pahit.

“Merdeka, jangan main-main. Apa kamu tidak tahu, cinta saja tidak cukup untuk hidup? Tak sampai tiga bulan, kamu akan bosan mengisap cinta, lalu kesulitan hidup akan mulai merongrong. Kamu memerlukan lebih dari cinta. Kamu perlu duit dan jabatan. Itulah sumber kesuksesan dan kebahagiaan. Tidak. Kamu tidak bisa menikah dengan putriku, kalau kamu tidak bisa memberikan janji yang baik. Hendak kamu bawa ke mana putri tunggalku yang cantik jelita ini. Buktikan dulu bahwa aku pantas menyerahkan anakku kepadamu, baru ngomong. Jangan suruh aku bersabar dan menunggu. Kalau kamu tidak bisa memberikan jaminan bahwa kamu akan bisa membahagiakan dia jasmani dan rohani, relakan putriku dengan orang lain. Atau jangan-jangan kamu sebenarnya tertarik bukan pada putriku, tetapi kepada warisannya. Kepada kekayaan dan jabatanku. Kalau begitu, maaf anak muda, sekarang juga minggat, tinggalkan rumah ini dan jangan berani kembali, karena aku akan tembak kepalamu!”

Merdeka pingsan. Belum pernah ia menerima kenyataan yang begitu parah.

”Aku manusia sial. Aku ditakdirkan menjadi orang gagal,” teriak Merdeka putus asa. Pikirannya benar-benar mulai terganggu. Ia tidak tahu lagi apa yang harus dikatakan, apa lagi yang harus dilakukan.

Akhirnya dalam keadaan panik dan terjepit, Merdeka datang kepada seorang dukun. Ya dukun. Kenapa tidak. Meskipun ini zaman millenium, banyak orang masih pergi ke dukun. Para pejabat juga ke dukun. Olahragawan ke dukun. Para politikus ke dukun. Presiden juga ada yang punya dukun. Bahkan beberapa seniman malahan jadi dukun itu sendiri.

Dukun memegang tangan Merdeka dan membaca nasibnya.

“Sebenarnya menurut skenario, kamu ini orang jenius, seperti Pak Habibie, Merdeka,” kata dukun. “Pada dasarnya kamu adalah manusia hebat. Kamu bisa menjadi pemimpin bangsa ini di masa depan. Di dalam tubuhmu mengalir darah kesatria yang berwarna putih.Tetapi sayang pada prakteknya, kamu tidak jadi apa-apa, karena sajenmu kurang!”

“Sajen? Sajen apa?”

“Kamu tahu. Segala sesuatu itu memerlukan sajen. Otak saja tidak cukup, kepintaran saja tidak menjamin. Bahkan kelihaian juga bukan kartu kunci untuk membuat kamu sukses. Kamu memerlukan keikhlasan. Kamu harus ikhlas. Ikhlas berarti kamu tulus. Tulus berarti kamu harus rela. Rela untuk berkorban. Kamu harus mengorbankan apa yang dlperlukan. Kamu tidak akan bisa sukses kalau kamu tidak berani berkorban dengan ikhlas, Merdeka!”

Merdeka terkejut.

“Berkorban? Berkorban apa? Ini sudah zaman merdeka, kita tidak memerlukan pengorbanan jiwa lagi seperti di masa revolusi seperti Bapakku. Kita memerlukan pekerja-pekerja lapangan yang canggih. Dan aku canggih. Aku tidak mau mengorbankan jiwaku. Aku mau berbakti kepada bangsa, negara dan rakyatku. Kamu jangan macam macam, Duk!”

“Tenang, Merdeka, pengorbanan ini bukan pengorbanan fisik. Ini adalah pengorbanan spiritual. Dengan berkorban, tidak berarti kamu akan kehilangan apa-apa. Kamu hanya harus mengikhlaskan dirimu kehilangan namamu. Tukar namamu sekarang. Ganti nama kamu jangan lagi Merdeka. Nama itu terlalu besar, terlalu berat untuk kamu pikul sendirian.Tidak mungkin. Kalau kamu memikulnya, kamu akan terlalu repot sehingga kamu tidak akan bisa berbuat apa-apa. Jadi lepaskan saja. Ganti dengan yang lain. Oper Merdeka itu dengan sesuatu yang lebih ringan. Apa artinya nama. Ya tidak?”

Merdeka tidak setuju.

“Mengganti nama? Tidak. Tidak mungkin,” katanya. “Nama ini pemberian bapakku. Dia seorang pejuang yang hebat. Dia orang yang jujur. Dia sudah berjasa kepada negeri ini, tetapi dia tidak punya uang. Dia tidak punya pabrik. Dia tidak punya kekuasaan. Dia hanya punya cita-cita dan konsep. Dan semua itu dia wariskan kepadaku. Aku tidak bisa mengganti apa yang diwariskan oleh orang tuaku begitu saja. Karena itu adalah amanat. Aku tidak mau menjadi manusia durhaka!”
Dukun menggeleng.

“Memang susah bicara dengan orang pinter tetapi picik seperti kamu, Merdeka!” katanya sambil mengusir Merdeka supaya pergi, karena pasien-pasiennya yang lain berjubel.

Merdeka pulang sambil mencak-mencak uring-uringan. Berhari-hari ia bergulat dengan usul dukun itu. Pada hari yang ketujuh puluh, ia kalah. Lalu sambil mengenakan baju batik, ia berangkat ke rumah orang tuanya.

”Romo,” kata Merdeka sambil mencium tangan bapaknya yang sudah tua. “Aku datang untuk melaporkan apa yang sudah terjadi di lapangan. Terus-terang aku sudah gagal. Tetapi bukan berarti aku menyerah. Aku terus berusaha. Aku datang bukan untuk minta bantuan. Aku datang hanya untuk meminta restu. Karena aku bebas dari Merdeka.”

Orang tua Merdeka kontan mengernyitkan alisnya.

“Apa?”

”Aku ingin mengganti nama yang sudah Bapak berikan.”
”Mengganti nama? Apa maksudmu Merdeka?”

”Dukun bilang, nasibku jadi sial, karena namaku terlalu berat. Kalau aku ganti nama itu dengan nama lain, dalam sekejap aku akan menjadi orang baru yang sukses. Jadi apa salahnya kalau nama itu diganti. Aku juga tidak akan memilih nama sendiri. Aku serahkan kepada Romo untuk memberiku petunjuk.”

Mata orang tua itu sekarang terbuka.

“Kamu mau berhenti menjadi Merdeka, Merdeka?”

“Ya.”

“Kenapa?”

“Kenapa?”

“Ya! Kenapa!” bentak orang tuanya.

Merdeka tertegun. Waktu kecil la tidak peduli kalau dibentak. Tetapi sekarang la sudah dewasa, sudah jauh lebih pintar dari bapaknya, di samping itu hidupnya sudah pahit, ia tidak mau lagi dibentak.

“Karena aku tidak mau terus-menerus sial!” teriak Merdeka.

Tetapi orang tuanya semakin keras lagi mendamprat.

“Gelo! Tidak!”

Merdeka takjub.

“Kenapa tidak?”

“Pokoknya tidak!”

“Ya!”

“Tidak!”

“Yaaaaaa!”

“Tidakkkkkk!”

“Brengsek!” teriak Merdeka kelepasan. “Bapak kan tidak tahu apa yang sudah terjadi di lapangan. Aku yang berkutat di sana. Aku tahu apa yang aku lakukan. Aku yang mengalami apa yang terjadi. Sekolahku jebol, gara-gara aku Merdeka. Jabatan-jabatan copot dan luput dari tanganku gara-gara aku Merdeka. Bahkan pacarku direbut orang lain gara-gara aku Merdeka. Dukun juga bilang aku goblok karena aku Merdeka. Aku tidak mau jadi Merdeka lagi. Sudah cukup! Aku tidak mau diperintah terus. Aku mau bebas dari Merdeka! Aku mau sukses, aku mau bahagia, aku mau berhasil, aku tidak mau lagi jadi Merdeka!”

“Goblok!” teriak Bapak Merdeka sambil menampar anaknya.

Merdeka terkesima. la melotot memandangi Bapaknya. la belum pernah digebrak seperti itu. Masak putra harapan bangsa disebut goblok dan ditampar.

Sebaliknya Bapak Merdeka juga tidak takut. la mendekat dan menghembuskan nafas kesalnya. Lalu mencekek leher Merdeka.

“Merdeka!” bisik orang tua itu dengan nafas menggebu-gebu,

“Merdeka, apa kamu kira Merdeka itu nikmat? Apa kamu kira merdeka itu bebas dari segala kesialan. Apa kamu kira merdeka itu berarti kamu akan mendadak jadi kaya dan bahagia. Kamu sudah keblinger! Merdeka itu adalah beban. Selangit beban di atas pundakmu sendirian. Merdeka itu adalah penderitaan. Merdeka adalah sejuta kesengsaraan yang tak putus-putusnya. Merdeka berarti kamu jalan sendirian, kamu tidak punya tuan dan majikan yang akan menolongmu kalau celaka. Merdeka itu berarti kamu harus menghadapi keperihan, kesengsaraan, nasib busuk itu sendiri. Merdeka itu sakit. Sakit yang maha besar. Tapi kamu harus bangga karena kamu yang terpilih untuk memikulnya. Berarti kamu dianggap mampu. Kamu masih dipercaya. Kalau kamu masih dipercaya, berarti kamu masih diperhitungkan. Kalau kamu masih diberikan kesengsaraan, berarti kamu masih hidup. Kamu belum jadi mayat, belum jadi robot, belum mati seperti yang lain, berarti kamu masih merdeka. Goblok kalau kamu mau berhenti Merdeka. Mengerti? Mengerti!”

Merdeka bingung.

“Mengerti?!”

”Tidak!”
”Ya Tuhan, aku juga tidak mengerti!” teriak orang tua itu lebih dahsyat lagi. Lalu memegang dadanya. Lehernya seperti tercekek. Kemudian mendadak tumbang dan mati di tempat.
Merdeka kebingungan. Ketika sadar, dengan panik ia memeluk bapaknya. Tetapi tiba-tiba saja tangan lelaki tua itu kembali bererak dan mencekek Merdeka. Sambil menangis tersedu-sedu, ia berbisik.

”Anakku, tetaplah Merdeka. Jangan berhenti. Berikan aku janji. Merdeka kamu harus tetap Merdeka, jangan pernah berhenti Merdeka, anakku. Jangan bablas. Tetaplah Merdeka”

Tangan orang tua itu gemetar. Cekekannya semakin lemah, Semakin lemah, lalu perlahan-lahan terlepas. Tubuhnya terhempas la gi ke bumi, melanjutkan mati.***

SELESAI.
Karya: Putu Wijaya, Sumber: Horison, No. 2, Februari 2001.

Selengkapnya...

Sang Pembunuh Syams (In Memoriam Syams)

by: Salamet Wahedy

I
Syams. Kami memanggilnya. Syams Al-Wahed. Sudah dua tahun, ia telah meninggalkan kami. Ia telah menjadi manusia impian. Banyak hal dan peristiwa yang, tiba-tiba, minta dikenang. ’ee’, logat-gaya bicaranya agak lambat. Matanya yang selalu menampak kuyu. Kebiru-biruan. Pakaiannya ala kadar. ”si charokonx”, begitu kami memanggilnya. Lalu, ia nyengir. Lalu keluarlah filosofi andalannya, ”chasing boleh charokonx, tapi isi tetap tetap nomer settong”. Lalu terurailah dari mulutnya, kata-kata yang puitis. Peristiwa demi peristiwa mengalir ritmis. Entah cerita tentang siapa. Kami tak mengerti. Kami begitu asing dengan nama dan tokoh yang disebutnya. Tapi kami- dengan bahasanya, dengan tuturnya yang meledak, melemah- dibuatnya begitu akrab. Begitu terhibur.
Syams. Satu dari sekian nama yang dipakainya. Suatu kali Kami menemukannya dalam sebuah majalah. Atau el-habib, ketika kami mendengar teman-teman kuliahnya. Atau Bang Slam, panggilan yang dilekatkan anak didiknya. Syams. Satu dari sekian nama yang kami pakai untuk mengenangnya. Sosok yang begitu rupawan, tapi bersahaja. Sosok yang penuh kontroversi, tapi arif dan bijak. Celotehnya, di samping membuat kami mengernyitkan kening, juga memberi sebuah dunia lain, -yang sekali lagi dengan bahasanya yang ritmis, tuturnya yang lemah-lembut, syams membuatnya begitu akrab. Dunia lain, tempat peristiwa yang akrab bagi kami. Sekaligus asing. Dan syams, seperti kebiasaannya, sehabis isya’, selalu kami temukan nongkrong di warung babeh.
”Kita mesti bertanya tentang diri kita. Tentang sejarah yang berjalan atas nama nenek moyang kita” malam itu syams datang dengan gaya yang amat nyentrik. Pakai gelang, kalung, serta anting-anting. ”banyak potongan sejarah ini digudangkan dan diganti dengan cerita birahi para penguasa. Koruptor...”
”Semalam mimpi apa Syams? Adi menyela” pakaianmu kayak penyair tidak diakui orang”
”Aku hendak bertemu izrail” seperti angin malam yang menusuk sumsum, kata-kata syams membuat kami terkesiap. Malam itu kami hanya berpandangan dengan mata nanar penasar. Kata-kata yang polos. Tentang kamtian yang tulus. Isyarat yang halus. Tapi kami tidak dapat menangkap bahwa kematian itu, telah ditangguhkannya sendiri. Kematian itu, telah dijemputnya dengan kepala tegak.
Dua tahun, Syams telah meninggalkan warung bapak babeh. Jejaknya tidak hanya minta dikenang, tapi telah menyelipkan kesunyian bersama desir angin malam. Syams mati malam itu. Malam, di mana ia berpakaian amat nyentriknya. Kata-katanya mengandung magis. Tentang nasib petani yang ditemui dan didampinginya mengurus hak-hak tanahnya. Tentang para mahasiswa yang mulai kehilangan jati dirinya. Tentang caleg muda yang terjebak pada euforia kekuasaan semata. Tentang....
Syams mati mengenaskan dan penuh misteri. Tubuhnya tersayat. Potongan tubuhnya berserakan sepanjang selokan. Lidahnya hilang. Matanya copot. Ia mati dibunuh. Jejak ceritanya yang menghibur bagi kami, ternyata begitu runcing dalam kenangan. Pun tokoh-tokoh yang berulang disebutnya: Pak Mahmud yang tanahnya kena gusur, Bu Karti yang merelakan warung kopinya demi mall , atau Dr. Mizoh, M.M yang getol menawarkan diri jadi caleg dengan seribu janji copypaste, K.H. Ali Gili, yang dengan gaya da’i sejuta umat mengajak para pemiarsanya mencoblos gambarnya, atau Moh. Aris, Mahasiswa tekhnik yang jadi kader partai biru-merah, Al-Jaber, Mahasiswa yang nyentrik dan merasa jagoan karena jadi ketua tim sukses pasangan pilpres no. 27 dan banyak lagi.

2
”Syams” ia memperkenalkan diri. Wajahnya sayu. Rambutnya awut-awutan. Selain kata-katanya yang rancak, sosok 20-an ini memiliki aura yang sungguh menarik. Tuturnya yang runtut, untaian kalimatnya yang berantai, serta mimiknya yang ekspresif. Apalagi humor dan joke-jokenya yang memecah kebuntuan, bahkan ketegangan.
Malam masih merambat 20.30. ketika kami berjabat tangan. ”sudah dua tahun saya mengadu nasib di kota bratakala ini” matanya berkaca-kaca. Ada tetes bening di pelupuk matanya. Seperti embun yang mulai merembes, dan memenuhi udara dingin rongga dada. Mata yang Memandang kilat matanya terlalu lama, dengan raut yang runcing akan terhipnotis. Terhisap pada pusaran kata-kata. Kubangan welas asih tak tertangguh.
Setiap malam. Setiap pukul 20.30 kami mulai menghabiskan dua pertigamalam kami dengan puntung rokok, secangkir kopi, cerita-cerita remeh orang-orang pinggiran, siasat perang orang-orang besar. Tidak terlewatkan, tentang wanita-wanita yang hilir mudik memasuki memori dan diary kami. ”tanpa bunga revolusi, kita akan sepi. Lalu mati” ia ngakak. Seperti tak ada beban yang perlu dipikirkan, ”tapi siapakah orang-orang revolusioner? Kita? Mereka?” tawanya semakin jumawa. Tawa yang tidak hanya menertawakan keadaan yang berjalan tanpa arah, tapi tawa yang begitu menusuk hatiku. Menusuk ulunya yang paling dalam.
Suatu malam, syams menghilang. Kata Adi, temannya, ia menghadiri acara sastra: baca puisi! ”Sosok yang energik!” seruku dalam hati.
Hilangnya syams memberi gambaran lain akan sosoknya. Tiba-tiba aku memahami segala ucapannya. Kata-katanya yang berangkai, kalimat-kalimatnya seirama dan beruntai, serta kritikannya yang berlambai dan landai. Sesekali aku membayangkan rautnya yang kuyu. Matanya sayu. ”jangan percaya pada siapa pun. Bahkan pada diri kita sendiri, kita perlu mawas. Was-was” wajahnya tanpa ekspresi suatu waktu.
Waktu itu kami memutusakn untuk cangkru’an di cafe arudam, di lantai tiga sebuah mall. ”Dari sini kita dapat menyaksikan kelap-kelip lampu. Gelap dan terang yang berisisian menciptakan nuansa. Lalu malam...” sejenak ia menyeruput es juice-nya” akan membawakan aku sepotong puisi” lalu menyelorohlah ia tentang seribu lembar mimpinya. Aku hanya sesekali menimpali.
”Di Jerman...”. Syams nampak berbinar menghisap rokoknya. ”Ya di Jerman, aku akan membacakan sebuah puisi. Aku akan berkeliling dunia membacakan puisiku. Tentang Utari, yang menjadi kekasih impian. Sebab ia telah memilih suaminya bukan aku. Lalu puisi ’bapakku’, seorang petani yang tiada lelahnya menantang matahari...”
”Tentang aku?” tukasku. Bibirku mengembang senyum. Syams pun mengiya. Sekali lagi diseruputnya minumannya. Dan dihembuskannya asap rokoknya.
”Ya tentang Mahfud. Seorang teman yang setia menemani sepiku. Seorang teman yang menghitung jejak di malam tahun baru. Seorang teman, ah mahfud. Malam itu” cerocos syams begitu puitis. Aku tidak dapat membedakan apakah ia sedang berpuisi atau mengingau” kau tampak gemetar. Bibirmu yang tirus meringis. Menahan dingin yang datang dengan segenap bisanya. seperti daun dini hari. Tubuhmu pun menguar aroma cendana. aroma...
Lalu mengalirlah berbagai angan dan khayalannya. Cita-citanya ingin jadi orang bebas, berpenghasilan tetap. Ia punya istri seperti Utari. Perempuan berjilbab. Pipi bulat telur. Mata seperti kerling tetas air di kejauhan. Dan tutur kata yang halus dan sopan. Dan yang tak dapat dilupakan Syams, rona mukanya ketika ia marah. Di antara celoteh dan seloroh Syams, yang membuat darahku tersirap, adalah sikapnya tentang gerakan mahasiswa. Tentang anak-muda bangsa-negeri ini yang, sepanjang sejarah ikut andil mengawal negeri ini menjadi republik berfikir bebas. ”kalau dulu, suasana dan situasi yang kurang ajar terhadap kita, tapi sekarang kitalah yang kurang ajar pada kesempatan” ujarnya suatu malam ”apalagi di tengah krisis kepercayaan...”
Ah, Syams celoteh dan selorohmu adalah bumbu dapur. Kini aku hanya bisa mengenangmu. Wajahmu yang lugu, tapi penuh semangat yang berkobar. Kata-kata berangkai, tapi penuh tikungan dan kawah terjal. Serta pendirianmu yang memancang bak tembok china.
Tapi di luar itu semua. Terlepas akan kenangan yang kadang menyakitkan. Kadang menyenangkan. Aku hanya menunaikan tugasku. Khayalmu terlalu tinggi. Cita-citamu menjulang meninju langit, Syams.
Akhirnya di malam jumat kliwon. malam yang hujan, yang menandai rapuhnya saton hidupmu, saat kau mengendap kedinginan, sengaja kuambil kesempatan itu. Kesempatan yang akan menyempurnakan segala keluh kesahmu dengan janji tuhanmu.

3
Perempuan separuh abad, kurang lebih, menatapku dengan mata sembab. Kilatnya penuh gairah dan harapan, yang tiba-tiba liar oleh prahara. Di hadapannya potongan tubuh anaknya semisal fragmen yang menghantui masa-usianya yang kian menua dan lampau. Keriput pipinya menyimpan sisa air tangisnya yang tumpah sejak kabar kematian anak semata wayangnya.
Sejenak aku terenyuh. Rasa bersalah tiba-tiba pun berseliweran di setiap pori-pori dan sendi tubuhku. Ibu separuh abad, Ibu Kunti, merangkulku. Degup dadanya seperti hentakan musik yang bertalu di ruang-ruang diskotik malamku. Dan sengak isaknya seperti ujung kuku jarum menusuk ulu hati. Seperti gunung yang lama tidak meledak, Ibu Kunti menumpahkan segala kehilangan dan kehampaannya ke dadaku. Tubuhku bergetar. Darahku tersirap panas.
”Ibu,..” seruku pelan. ”maafkan aku telah...” kata-kataku tersekat dalam dada. Seperti para pelayat yang ikut berbelasungkawa dengan kebaya hitam, beras, uang dan juga dengan ngaji yaa-sin yang mulai menggerumung di kamar tengah.
Sementara persiapan pemberangkatan jenazah telah menyedot dan menarik perhatian beratus pasang mata, seorang dara berkebaya hitam legam, rambut sebahu, terus memantau gerak-gerikku. Seperti pemburu yang mengintai mangsanya. Rautnya runcing. Bias wajahnya menanarkan aura kejantanan. Aku rikuh. Mungkin inilah sosok perempuan yang memikat Syams, Utari. Sosok yang diceritakannya akan hadir dan menghantui pembunuhnya. Aku bergidik
Kubelai kepala Ibu Kunti. Isaknya kian sengak. Arakan jenazah mulai bergerak. Dan gema kalimat tauhid mendendangkan lagu dingin di hatiku. Di tambah suara isak Ibu Kunti, sendi-sendi tubuhku semakin bergidik. Apalagi sepasang mata tajam si dara itu, yang tidak mau melepasku barang sebentar.
Pemakaman berlangsung syahdu. Pembaca talqin tidak hanya menyudahi bekal bagi si mayit Syams. Tapi ia juga seperti putusan yang ditimpakan padaku. Ada rasa sesal. Tapi juga kesal. Tanpa terasa airmataku juga menetes. Satu-satu. Seperti para pelayat yang mulai pulang.
Kini tinggal Ibu Kunti, aku dan si dara berkebaya legam hitam itu yang termangu. Menghikmati upacara duka yang baru usai. Menikmati cuaca berkabung yang tunai. Lalu Ibu Kunti menatapku dingin. Tatapan yang membuat bulu kudukku berdiri. Lebih dingin dari aroma tubuh Syams. Ia melepaskan rangkulanku.
”Benar kata Syam” suara ibu Kunti lirih ”suatu hari nanti pembunuh anakku akan datang kepadaku. Dan meminta tolong untuk mencincang tubuhnya di bilik suara”
Aku tersentak. Ibu Kunti berlalu dengan lambaian jumawa. Si dara berkebaya hitam legam meremas stiker gambarku. Lalu menginjaknya.
Sedang aku menghunus pisau untuk mereka{}


*dimuat di surabaya post, minggu 1 Maret 2009

**Fitriyani El-Mansur: nama pena Salamet Wahedi
Lahir di ujung pulau Madura. Setelah menamatkan sekolahnya di Pondok Pesantren Mathali’ul Anwar, ia tercatat sebagai mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS, Universitas Negeri Surabaya. Karya-karyanya dimuat dan dipublikasikan di Radar Madura, Horison, Majalah Al-fikr, Duta Masyarakat, tabloid kampus GEMA, Majalah Widyawara, Majalah Media, dan lain-lain. Kini tinggal di dusun Ageng RT. 08 RW. 04 desa Pinggir Papas, Kalianget-Sumenep. Nomer Hape: 085645602814

Selengkapnya...

Sang Pemulung

by: Salamet Wahedy

Mengenangnya, apalagi menceritakannya pada kalian, sosoknya begitu membebani pikiranku. Bagaimana tidak, sosoknya begitu kontroversial. Kata-katanya ceplas-ceplos. Tapi penuh tekanan dan hikmah. Tingkah lakunya, setali tiga uang dengan ucapannya. Pakaian ala kadarnya. Compang-camping seperti gelandangan lazimnya. Pekerjaannya hanya memunguti kaleng, botol, atau gelas air minum bekas. Tapi dari gerak-geriknya, ia sosok yang penuh talenta, gesturnya menyimpan benih bergairah, serta rautnya menebar aura.

Entah bagaimana aku mesti menceritakan pada kalian. Sebagai pemungut sampah, ia tampak rapi dan bersih. Sebagai juru warta yang selalu mendongengi kami, ia tak memahami kaidah berita. Sebagai gelandangan, ia memiliki rasa dan karsa. Dianggap penjahat pun, ia jauh dari sosok kriminal. Entahlah siapa dia sebenarnya?

“Aku hanya seorang pemulung. Pemulung kaleng bekas. Botol dan gelas air minum bekas. Juga Pemulung kata-kata bekas. Peristiwa demi peristiwa yang membekas” ujarnya di suatu pagi. Ia datang padaku saat aku celingukan. Kemudian dituturkannya sepotong hikayat tentang seorang kakek yang hidup dengan satu istri dan empat orang anak. Penghasilannya hanya didapat dari upah penjualan lencak kaju1 yang dipasarkannya. Satu lencak kaju, memberinya tujuh ribu lima ratus rupiah.

“Kakek yang menyita perhatianku” lanjutnya. Ia bercerita penuh intonasi dan penghayatan. Matanya selalu menerawang jauh, hingga pada detik yang penuh inspirasi.

“Suatu hari”, lanjutnya. ”Aku berkesempatan bertemu dengannya. Wajahnya lusuh, tapi tidak menampakkan aura yang lumpuh. Tuturnya lembut. Kilat matanya penuh imajinasi. Sesekali ia tersenyum. Apalagi ketika mendengar berita huru-hara, senyumnya semakin menampakkan kematangan. Senyum yang mengembang dari mental kokoh”, ia terus bercerita.

Di sela-sela ceritanya, ia menegaskan makna dan hikmah setiap kejadian ‘penting’. Ceritanya mengingatkan aku akan nenek. Nenek yang selalu berdongeng menjelang tidur. Dongeng yang selalu diterjemahkan: buah apa yang bisa kita petik?

Dan seperti kebiasaannya, ia selalu mengakhiri ceritanya dengan sebait ucapan filosofis.”Aku tidak makan sama manusia. Aku makan pada Tuhanku” tegas kakek itu, ujarnya dengan tatapan sayu. Sunggingan senyumnya seperti hendak menusuk dada pendengarnya.

Ah, mungkin ia pendongeng? Tapi aku selalu dihinggapi keraguan, kegamangan setiap menebak dirinya. Namanya pun, aku selalu sangsi: Kron, Danto, Cobik, Centong, dan sederet nama lainnya. Aku selalu ditertawakan setiap kali memanggilnya.

“Ah apalah sebuah nama. Mengenang Shakespeare terlalu lapuk”, selorohnya. ”Sebagai doa, ia terlalu singkat”

“Lalu?”

Ia tertawa. Tawa yang membangkitkan gairah. Aku mengenangnya karena tawanya yang berteknik ini.

***

Kali pertama aku menemukan namanya di sebuah halaman koran: Kron! Puisi-puisinya begitu rancak. Puisi yang lahir dari kejernihan. Puisi yang tidak menyita kening berkerut. Puisi yang bersahaja.

Kali pertama aku bertemu dengannya, aku juga mengesankan bahwa ia seorang penyair. Mungkin juga sastrawan. Tapi setelah pertemuan kedua kalinya, kesanku berbeda lagi. Petuah-petuahnya, bahkan ide-ide yang ditungkannya dalam cerita-ceritanya, menandaskan keyakinanku akan sosoknya yang lain: kiai atau da’i, atau bahkan pemangku adat!

“Pesan apa Mang?”, suara Bu Dango membuatku tergeragap. Aku angkat mukaku. Dan kulihat sumringah Bu Dango secerah pagi.

“Sudah baca cerpen tentang aku?” suara Bu Dango menampakkan kebanggaan. Binar matanya memancar bahagia. “Warung tepi Kali, judulnya”.

“Kron itu pemuda yang hebat, Mang” sejenak Bu Dango duduk di dekatku. Tangan ringkihnya meletakkan kopi susu pesananku.”Suatu sore ia datang padaku. Ia utarakan niatnya untuk berbagi cerita denganku. Aku pun bercerita” Bu Dango menerawang jauh. Kata-katanya seperti tetasan hujan. Begitu ritmis. Meski sesekali laksana hempasan ombak menghantam karang. Tidak karuan. Kata-kata yang terus berletusan dari bibir keriputnya. Legam dan berkerut.

Aku akui, cerita Kron tentang Bu Dango sungguh menggugah. Kehidupan orang cilik. Seorang penjaga warung. Pendapatan rata-rata 20 ribu rupiah per hari. Tanggungan keluarga lima orang. Disuguhkan lewat narasi yang runtut. Bahkan bumbu kesewenang-wenangan penguasa pada orang cilik seperti Bu Dango, semisal penggusuran warung Bu Dango yang sudah ketiga kalinya, menyegarkan kilasan ingatan kita akan realita yang biasa direkam siaran televisi. Siaran bernuansa berita dan tragedi. Masih berdasar pengakuan Bu Dango, juga sedikit pendapatku, Kron kadang-kadang seperti para pengarang ‘kiri’. Di sini pun, aku pun curiga: jangan-jangan Kron penganut paham komunis! Kalau ya, apakah ia salah? Apakah ia tidak boleh mengeluarkan pendapatnya tentang diorama hidup yang suram dan penuh intrik para bandit ini?!

“Meski omongannya terasa beraroma kiri, Kron juga shalat” tepis Bu Dango buru-buru. Lalu lanjutnya, “Kron memiliki kepekaan yang tidak dimiliki orang sebarangan. Tidak hanya aku yang diangkatnya dalam cerita-ceritanya. Kasus Bu Wiwit, tetangga sebelah ibu, selesai berkat tulisan Kron. Ia tidak pandang bulu membantu orang. Ketulusannya dalam membantu orang seperti kami, telah terbukti. Waktu ia mendampingi Bu Aslan…” sejenak Bu Dango menggantung ceritanya.

“Cerita apa ya?” Pak Kandeng mampang di ambang pintu. Ia memesan kopi item dan sebatang rokok. “Cerita tentang Kron, toh?” Pak Kandeng mengelap keringat yang menetas di dahinya. “Kron tidak hanya peka. Ia begitu halus dan tulus menerjemahkan fragmen hidup. Ia cerdas dan tangkas menanggapi. Pendapat-pendapatnya tidak asal…”

“Nggak makan Pak? Suara Bu Dango dari dapur memotong kata-kata Pak Kandeng. Pak Kandeng tersenyum kecil. Lalu ia memutuskan tidak makan. Lalu melanjutkan kenangnya akan sosok Kron, “tafsir Al-Qur’annya juga fasih. Ia mampu menangkap dan menerangkan isinya amat detailnya. Amat terangnya bagi kami yang tidak tahu-menahu apa-apa” tawa Pak Kandeng berderai renyah.

Ah Kron! Perpisahan dengannya, tidak mengurangi akan kehadiran sosoknya. Ia tetaplah sosok yang kontroversi sekaligus menyisakan fenomena kekaguman. Lima hari tidak bertemu dengannya, ternyata referensi tentangnya begitu berlimpah ruah. Referensi yang membuatku semakin ragu dan gamang untuk menebak dan menceritakannya secara pasti: siapa Kron sebenarnya?

***

Aku tidak bisa menceritakannya secara pasti. Belum bisa! Keraguan dan kegamanganku semakin bertumpuk. Pencarianku akan siapa sebenarnya dirinya, hanya menambah kabur pemahamanku. Tapi hal yang perlu kalian ingat, berdasar simpulanku: Kron orang penuh misteri! Di mataku dan di mata orang-orang sepertiku:Bu Aslan, Bu Dango, Pak Kandeng, Bu Wiwit, Kron sosok yang gagah, berani. Ia tak hanya pahlawan. Bahkan kami diam-diam mengimpikannya bak seorang nabi: penuh pencerahan dan totalitas kepekaan sosialnya. Sebaliknya, di mata orang-orang yang jadi lawan kami: penguasa, pemilik modal, Kron adalah ular yang menyimpan bisa, yang sewaktu-waktu akan mematikan mangsanya, lawannya: lawan kami!

Seperti pagi ini, kejanggalan diri Kron terpampang di tengah kota. Di tengah alun-alun. Ia telah membuat penguasa kota marah. Ia digantung di tengah alun-alun.

Tubuhnya compang-camping. Ceceran darah mengering di sekujur pakaiannya. Tapi bukan Aroma amis yang menyeruak sampai jarak lima puluh meter. Seperti dipenuhi semerbak bunga setaman hidungku, saat aku mendekat. Tubuh Kron begitu tirus. Ringkihnya lirih. Suaranya pelan. Sangat pelan. Dan di sekelilingnya, orang-orang tersedu. Mata mereka sembab. Orang yang berbaju putih. Di bawah kelabu langit, gerombolan mereka menguar cahaya. Tubuh Kron menjelma mercusuar di tengah mereka. Tubuh yang tergantung di tiang berlumur darah. Sungguh parade magic!

“Dosa apakah yang kau perbuat kawan?” bisikku di telinganya yang menggema. Telinga yang seolah sarang lebah. Suara-suara yang bertahan di gendang pendengarnya, suara-suara yang begitu akrab. Begitu dekat.

“Dosaku hanya pemulung kawan” senyumnya bangga! Kedua tapuk matanya pun mengisyaratkan perjalanan panjang.

Ya, perjalanan panjang. Sejak saat itu, sejak Kron melempar senyum pada kelabu langit, kelam malam. Sejak Kron menghembuskan nafasnya di tiang gantungan, kami pun paham akan posisi kami: Para pemulung!

Lidahwetan, maret 2009

1. Lencak kaju: dipan kayu/ tempat tidur yang terbuat dari kayu.
Selengkapnya...

Awas!!! Fitna, Fitna dan Fitnah

Sebelumnya Geert Wilders sudah mengingatkan kita lewat filmnya yang spektakuler. Film berjudul Fitna yang sempat menjadi kontroversi beberapa waktu lalu merupakan pukulan berat bagi umat muslim di seluruh penjuru negeri, namun hendaknya mampu dijadikan pelajaran berharga dalam mempersiapkan diri menyambut ’fitna-fitna’ selanjutnya. Terutama persoalan Ahmadiyah yang tak kunjung usai.

Mungkin saya merupakan salahsatu dari sekian bangsa Indonesia yang kurang mengindahkan ’himbauan’ pemerintah, yaitu himbauan untuk tidak menonton film ’fitna’ yang sempat menjadi persoalan dunia muslim beberapa waktu lalu. Terus terang saya akui sangat penasaran, sebab tanpa tahu seluk beluk inti permasalahan tentunya sungguh kurang bijak jika kita terlalu cepat mengambil tindakan (take action) atas munculnya film tersebut. Dan perlu disadari bahwa pengambilan keputusan semacam itu ¾yang tergesa-gesa¾hanya akan menambah mudharat bagi umat. Jika kita kaitkan dengan keadaan umat muslim di Indonesia sekarang, tentu sangatlah berbahaya karena masyarakat akan mudah untuk terpancing oleh provokasi sesaat yang menyesatkan tersebut sedangkan di dalam negeri rakyat masih sangat disibukkan dengan persoalan-persoalan aliran ’sesat’ yang hingga kini belum juga reda.

Sebenarnya jika dikaji lebih jauh, film yang dibuat oleh salah satu pejabat parlemen negeri Kincir Angin tersebut sangat jauh dari kesan keislaman ¾sedikitpun¾ bahkan saya menganggap film itu merupakan kumpulan kejahatan sosial yang terjadi dan terangkum secara mbulet serta ngawur. Lebih dari itu, tanyangan film berdurasi 16 menit tersebut menunjukkan kelemahan otentisitas dan relevansi dari pembuat film itu sendiri. Tidak diragukan lagi, hanya kaum awam-lah yang akan mudah terpancing dengan tanyangan semacam itu, selebihnya sikap arif serta bijaksana lebih dibutuhkan menyikapi dilema ini.

Yang Menjadi Pegangan....

Tidak diragukan lagi, bahwa Islam turun ke muka bumi adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmat-an li al ’alamin). Sebab nabi adalah diutus untuk seluruh umat manusia secara “universal” artinya tidak hanya untuk kaum muslim saja, dan umat non-muslim sekalipun akan mampu menilai serta merasakan apa yang telah diwariskan oleh Islam kepada sejarah.

Jika kita kembalikan lagi pada Al-Qur’an maka kita akan menemukan semua jawabannya. Di dalam Al-Qur’an Surah pertama (Al-Fatihah) dikatakan “segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam” (QS. 1: 2) menunjukkan bahwa Tuhan melindungi sekalian alam ini dengan segala sifat-sifatnya yang Agung. Tidak mungkin Tuhan kemudian mengajarkan kekerasan kepada sesama. Meskipun kemudian Geerrtz menunjukkan beberapa ayat perang dalam film fitna tersebut (terlepas dari kekurangpahaman Geert Wilders terhadap penafsiran ayat-ayat tersebut), namun ayat kedua Al-Fatihah ini memiliki keotentikan makna yang tidak dapat disangkal sebagai ummul qur’an.

Hematnya, semua agama tidak akan mengajarkan kekerasan, Apalagi Islam yang (bagi saya) merupakan agama penyempurna dari agama-agama terdahulu (yahudi-nasrani). Sehingga kekerasan apapun yang terjadi dalam agama adalah bukan atas nama agama (Islam).

Bukankah Umar bin Khattab sendiri mati di ujung pedang seorang muslim? Tetapi kemudian hal ini bukan diangggap sebagai penodaan si pembunuh terhadap Islam, apalagi yang menjadi persoalan hanyalah permasalahan ekonomi tentang pabrik gandum yang di miliki oleh Abu Lu’lu’, sang pembunuh khalifah. Bukankah Reformasi Gereja yang terjadi pada abad ke-16 sebagai ketidakpuasan penganut Katolik sendiri terhadap dogma-dogma Gereja yang dianggap kaku lebih bisa dianggap sebagai keterpurukan suatu agama? Termasuk Gerakan Revolusi Islam Iran yang terjadi pada 1979 M. Bagaimana dengan pelakunya? Mereka kedua-duanya masih dianggap sebagai pahlawan, bahkan hingga sekarang.

Jika demikian, apa yang dilakukan Geert dalam mencari titik celah dari suatu agama tentunya lebih mudah daripada mengorek kelemahan apa yang menjadi kepercayaan dan keyakinan kita sejak kecil. Kita juga tidak akan sulit jika ¾misalnya¾ membuat film dokumenter yang setara atau bahkan lebih buruk. Tetapi hal tersebut bukanlah solusi, karena permasalahan belum tentu selesai hanya dengan pertarungan adu film yang tidak akan ada habis-habisnya. Sebab setiap agama (baca: pemeluk) pasti memiliki kebobrokan yang disebabkan kurangnya konsistensi dalam menjalani sebuah agama secara baik.

Kekerasan serta teror tidak boleh dipandang sebagai bagian dari agama. Sejauh dan seburuk apapun yang dilakukan personal maupun kelompok dalam upaya kejahatan lain dengan skala tertentu tidak boleh disangkutpautkan dengan masalah keyakinan. Berbagai macam aspek seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya merupakan penyebab utama terjadinya perpecahan umat di dunia meskipun pada tidak jarang akhirnya mengerucut pada soal keyakinan. Mengapa demikian? Sebab dalam kelompok agama, rasa fanatik serta ’send of be longing’ sangatlah besar bahkan tidak terbatas sehingga paling mudah jika kekuatannya digunakan untuk kepentingan beberapa kelompok.

Sejarah telah membuktikan, bahwa peperangan panjang yang terjadi selama kurang lebih dua abad (1091-1295) yang dikemas dalam Crusade War (perang salib) terlepas dari orientasi sebagai perang yang mengatasnamakan agama ternyata tidak dipungkiri merupakan perang yang berujung pada permasalahan aset-aset ekonomi. Karena itu sejak dikuasainya Konstantin oleh Bani Seljuk (Turki Usmani) bangsa Eropa dituntut untuk mengambil inisiatif lain dengan mengadakan ekspedisi samudra dalam menemukan wilayah-wilayah baru. Ekspedisi ini berupaya untuk menemukan wilayah-wilayah baru untuk melancarkan serangkaian kegiatan ekonomi dengan bangsa Timur yang terputus. Terlebih-lebih perang yang mengakibatkan trauma serta permusuhan berkepanjangan antara kedua belah pihak ini telah memicu kebencian yang jika terkena percikan sedikit saja akan menimbulkan masalah yang tak kunjung reda.

Wahai Kaum yang Beragama

Sudah bukan saatnya kita di era global seperti ini terlalu membesar-besarkan hal ’sepele’ ini untuk diperdebatkan. Sebab terlalu membuang-buang tenaga dan pikiran. Sudah waktunya kita berinstropeksi. ”adakah yang salah dengan agama kita?” jika tidak ¾dan tentunya pasti tidak¾ maka perlu kita pertanyakan lagi ”adakah yang salah dengan kita?”. Jika ini yang menjadi pertanyaan, maka jawabannya harus kita tunjukkan kepada mereka (yang atheis maupun yang tak perduli terhadap agama) bahwa inilah kita! Yang mampu merubah sejarah dunia, mampu memberikan yang terbaik kepada seluruh negeri secara universal. Sebab jika tidak, bukan sesuatu yang mustahil jika kaum beragama pada akhirnya akan menyusut dan harus kalah dalam kompetisi global.

Setidaknya bagi kaum muslim khususnya di Indonesia hendaknya ’berterima kasih’ atas apa yang dilakukan oleh Geert. Bagaimanapun juga ia telah mengingatkan kepada kita tentang pentingnya persatuan dan kerukunan sesama muslim, termasuk pentingnya memperbaiki citra diri kita masing-masing sebagai pemeluk agama mulia ini. Dan yang perlu menjadi perhatian serius. Di negeri ini, relegiusitas merupakan momok yang hingga sekarang masih dipegang teguh. Berbagai persoalan yang menyangkut agama sangat rentan untuk menimbulkan konflik. Baik itu penodaan, pengingkaran ataupun pengambilan kepentingan dalam agama.

Persoalan Ahmadiyah yang hingga kini belum juga usai. Hendaknya dijadikan pelajaran berharga. Bahwa kita sedang diuji. Mampukah kita menghindari apa yang dikatakan Geert sebagai ’fitna’ itu? Bisa jadi kita yang selama ini meninggikan dan mengelu-elukan Islam justru menenggelamkan dan menodai agama kita. Sebab bukan tidak mungkin jika kepentingan-kepentingan yang menyangkut politik ataupun ekonomi tersembunyi dibalik hiruk pikuk Ahmadiyah ini. Dan dari sini bisa kita lihat, bagaimana konsistensi pemerintah untuk tetap berpegang pada UUD 45 sebagai landasan konstitus tanpa harus mengurangi skala dari aspirasi massa ataupun sekelompok ormas dalam menyikapi Ahmadiyah yang diaanggap sesat ini.

Surabaya, 5 Juni 2008


Selengkapnya...

Saatnya Mahasiswa Kembali Bangkit

Berdirinya Budi Utomo pada 1908, Pencetusan Sumpah Pemuda 1928, serta Peristiwa Reformasi tahun 1998 Membuktikan Bahwa Peran Mahasiswa Tidak Akan Pernah Mati

oleh: Mahfud

Dalam berbagai kesempatan telah banyak dikemukakan, bahwa mahasiswa merupakan agent of change/agent of control. Peristiwa 1998 yang merupakan unsur klimaks dari perjuangan mahasiswa di Indonesia telah menunjukkan bukti-bukti tersebut. Dalam kenyataannya, peran mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa yang berpendidikan dan berpengetahuan juga tidak dikesampingkan di sini. Gerakan mahasiswa 1998 yang berhasil menghimpun kekuatan bersama rakyat (social force) dan mampu menggulingkan rejim Soeharto telah membuka pengetahuan baru kepada kita. Ledakan-ledakan yang terjadi sejak tahun 1908 dengan berdirinya Organisasi Budi Utomo sekaligus dimulainya era perjuangan baru bangsa Indonesia, kemudian pada Oktober 1928 dengan adanya Sumpah Pemuda merupakan suatu pembuktian bahwa tanpa mahasiswa, Indonesia tidak akan pernah ada!! Sekali lagi Indonesia tidak akan pernah ada!!

Sebagai penegasan kembali, bahwa perjalanan pasca kemerdekaan baik pada masa ‘Orde Lama’ maupun Orde Baru meskipun tidak terlihat kemampuan yang menunjukkan adanya kemampuan“problem solving” tetapi setidaknya mampu membentuk suatu kebersamaan “solidarity making”. Dan efektifitas dari keterbatasan action semacam ini sekalipun belum mampu menghasilkan result yang sangat baik (sesuai harapan) tetapi setidaknya mampu melenyapkan kemungkinan yang lebih buruk. Dan atau hal terkecil yang paling kita rasakan adalah suasana baru (a new era), baik setelah turunnya Soekarno dengan Supersemar maupun setelah lengsernya Soeharto tahun 1998. Sebelum dilanjutkan pada bahasan selanjutnya mungkin sedikit “flashback” di atas mampu menggugah semangat kita ke depan, bahwa apa yang terjadi pada “difficult phases” tersebut bukan suatu keniscayaan bagi kita untuk mewujudkannya kembali apa yang mereka kerjakan.

Banyak kalangan menilai bahwa reformasi 1998 merupakan gerakan massa terbesar dalam sejarah Negara kita. Rejim Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun dengan otoriteristik-nya, serta keterbatasan ruang gerak cendekiawan oleh todongan senjata karena kuatnya militer pada saat itu. Ternyata mampu digulirkan oleh kalangan demonstran yang terdiri dari para mahasiswa serta masyarakat dan tanpa senjata. Dan apakah gerakan ini menghasilkan? Ya..

Reformasi 1998 memang tidak dapat sepenuhnya lebih dibandingkan dengan moment-moment besar sebelumnya. Apalagi melihat kenyataan saat ini di masyarakat yang penuh dengan euphoria serta turunnya nilai-nilai moral dalam masyarakat. Ekonomi yang semakin mengkerdilkan nasib wong cilik serta semakin merajalelanya budaya korupsi sebagai warisan turun-temurun rejim Orba. Sungguh bukan itu yang kita harapkan dari reformasi 1998 yang gede itu.

Tanpa sedikit mengurangi rasa hormat atas jasa para pejuang 1998 tersebut. Kita sebaiknya sadar bahwa ini merupakan cambuk bagi kita., bahwa perjuangan 1998 bukan akhir dari segala-segalanya. Bahwa saatnya kita berjuang, membentuk kembali jiwa-jiwa pahlawan yang telah hilang dari peredaran bangsa Indonesia , guna membangun pribadi civitas academica yang dinamis dan progresif.

Menandai hadirnya masa-masa yang semakin suram ini, krisis multidimensi yang berkepanjangan, terutama krisis moral dan etika. Keadaan ini semakin dipersulit dengan komposisi mahasiswa yang pasca reformasi 1998 mengalami“low environment”. Sudah saatnya para mahasiswa bangkit tanpa menunggu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Persoalan-persoalan bangsa ini yang semakin pelik, ditambah berkurangnya perhatian pemerintah karena terlalu banyaknya permasalahan yang harus dipecahkan menuntut kita untuk turut serta membuat perubahan baru, gerakan baru serta semangat yang baru.

Tipe Perjuangan?

Memang tidak salah jika selain disebut sebagai agent of change, mahasiswa juga sering dikenal sebagai civitas academica. Hal ini menunjukkan betapa urgen-nya posisi mahasiswa dalam proses perjalanan suatu bangsa. Sebab selain sebagai generasi yang mampu bergerak progresif dan revolusioner, mahasiswa juga memiliki kemampuan untuk berpikir dinamis, kritis tetapi logis. Sehingga dalam menyikapi suatu persoalan bangsa hendaknya mampu memilah skala prioritas untuk menyusun kerangka arah perjuangan. Pimilihan unsur strategi ini sangatlah penting mengingat gejolak serta kondisi bangsa yang terus-menerus mengalami perubahan.

Di zaman pembangunan seperti sekarang ini, tentu yang lebih dibutuhkan adalah otak-otak yang mampu bekerja secara teknis, bukan sekadar bicara, retorika-retorika panas dan menggairahkan, terlebih-lebih kontak fisik. Cara-cara lama semacam itu mungkin masih cukup diperlukan (namun dalam skala relatif kecil) mengingat kecakapan utama yang menjadi kebutuhan saat ini adalah kecakapan “problem solving” bukan sekadar “solidarity making” seperti yang terjadi di masa-masa lalu. Artinya pribadi yang ulet, tekun, dan siap saing adalah lebih dibutuhkan saat ini daripada hanya sekadar ‘jargon-jargon palsu’ yang setiap harinya selalu memenuhi tampilan layar televisi serta halaman-halaman utama surat kabar.

Di sisi yang sama, Dr. Nurcholish Madjid (semoga rahmat Allah bersama beliau) pernah menulis bahwa “Model (perjuangan berkobar lewat pidato-pidato panas dan retorika bombastis) ini meskipun barangkali menarik untuk orang awam tetapi perannya dalam mencari pemecahan masalah masyarakat, umat, bangsa, dan negara sangat kecil”.

Hal ini membuktikan betapa kerangka berpikir yang strategis sangat sekali diperlukan untuk memecahkan masalah suatu bangsa. Inilah saatnya untuk mulai mengubah diri, agar tidak selalu berpangku tangan. Sebab sudah merupakan tanggungjawab kita sebagai insan akademis untuk melakukan perbaikan terhadap sistem (bukan penghancuran).

Di sisi lain, peran mahasiswa sebagai social transformator dalam perubahan harus memiliki orientasi yang jelas. Sebab tidak menutup kemungkinan, gerakan mahasiswa hanya akan dijadikan alat oleh elite politik terutama adanya indikasi saling tunggang-menunggang antar keduanya. Tidak dapat disangkali bahwa baik sebelum maupun sesudah runtuhnya rejim Orba banyak gerakan mahasiswa yang masih memiliki kebergantungan terhadap kaum elite (terutama parpol). Hal ini tentunya akan sangat sulit untuk menyatukan konsep-konsep maupun pemikiran-pemikiran ke arah yang sama sebab setiap organ memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Itulah sebabnya gerakan mahasiswa pada masa-masa sekarang ini cenderung tidak memiliki kemampuan yang penuh untuk berpikir dinamis, kritis dan logis.

Menghilangkan sikap apatis mahasiswa sebagai ‘tugas tambahan’ yang perlu diperhatikan memang bukan hal yang mudah namun tetap menjadi suatu keharusan. Begitupula pembentukan gerakan mahasiswa yang independent secara hakiki, artinya tidak bergantung kepada apapun dan siapapun. Sebab paradigma-paradigma untuk tidak ambil bagian dalam upaya “berdemokrasi sehat” akan mengakibatkan alpha-nya pihak pemerintah dalam mengemban amanah dan kewajiban mengurus umat. Jika pada Reformasi 1998 kalangan mahasiswa mampu memunculkan musuh bersama serta menyongsong misi mengembalikan kedaulatan rakyat maka sekaranglah saatnya untuk kembali meluruskan arah kedaulatan serta hak-hak rakyat yang mulai tercecer. Jika saat reformasi kita memiliki musuh yang jelas yaitu rejim Orba, maka pada fase kali ini kita dihadapkan pada musuh yang lebih berat, yang tak terlihat, dan sangat menyengsarakan, bahkan tikus-tikus penentang Orba di saat reformasi sekalipun bisa menjadi musuh yang sangat mematikan bagi pergerakan. Oleh sebab itu, independensi dari masing-masing gerakan mahasiswa amat diperlukan dan harus dikembalikan dalam rangka pengembalian harga diri serta kehormatan mahasiswa dan untuk pemecahan permasalahan bangsa. Sudah saatnya, gerakan-gerakan ini mulai melepaskan diri secara substansi dari kongkongan politik praktis apalagi ketergantungan akan modalitas yang menimbulkan perpecahan sesama gerakan. Akhirnya diharapkan mahasiswa mampu memadukan serta menyatukan visi-misi dalam koridor yang jelas dan tersistem agar mampu menghasilkan output yang maksimal.

Di moment yang besar ini, mari sejenak kita jadikan renungan bersama:

Mahasiswa di masa lalu, tepatnya tahun 1908 berani mengubah haluan perjuangan bersenjata (yang sebelumnya bersifat kedaerahan) menjadi perjuangan berskala nasional yang lebih halus dengan dibentuknya organisasi Budi Utomo. Kemudian 20 tahun berselang giliran mahasiswa kembali menorehkan sejarah awal ‘pembentukan’ bangsa Indonesia yang dikenal dengan Sumpah Pemuda. Selang 80 tahun setelah Sumpah Pemuda, tepatnya Mei 1998 giliran mahasiswa kembali mencapai prestasi puncaknya dalam memperjuangkan kebebasan rakyat melalui gerakan Reformasi-nya. Sudah saatnya kita mengukir sejarah baru. Menghilangkan sikap apatis mahasiswa. Begitupula pembentukan gerakan mahasiswa yang independent secara hakiki, artinya tidak bergantung kepada apapun dan siapapun. Sebab paradigma-paradigma untuk tidak ambil bagian dalam upaya “berdemokrasi sehat” akan mengakibatkan alphanya pihak pemerintah dalam mengemban amanah dan kewajiban mengurus umat.

Jika pada Reformasi 1998 kalangan mahasiswa mampu memunculkan musuh bersama (common enemy) serta menyongsong misi mengembalikan kedaulatan rakyat maka sekaranglah saatnya untuk kembali meluruskan arah kedaulatan serta hak-hak rakyat yang mulai tercecer. Jika saat reformasi kita memiliki musuh yang jelas yaitu rejim Orba, maka pada fase kali ini kita dihadapkan pada musuh yang lebih berat, yang tak terlihat, dan sangat menyengsarakan, bahkan tikus-tikus penentang Orba di saat reformasi sekalipun bisa menjadi musuh yang sangat mematikan bagi pergerakan. Oleh sebab itu, independensi dari masing-masing gerakan mahasiswa amat diperlukan dan harus dikembalikan dalam rangka pengembalian harga diri serta kehormatan mahasiswa dan untuk pemecahan permasalahan bangsa. Sudah saatnya, gerakan-gerakan ini mulai melepaskan diri secara substansi dari kongkongan politik praktis apalagi ketergantungan akan modalitas yang menimbulkan perpecahan sesama gerakan.

Surabaya , 20 Juni 2008

Maud Khan

Selengkapnya...

BBM naik Lagi???


Sementara pasokan minyak nasional dan dunia terus-menerus berkurang, pemerintah harus menyiapkan langkah-langkah tegas dalam menyikapi persoalan naiknya harga minyak di pasaran. Terutama yang berkenaan penggunaan dengan teknologi alternatif dan tepat guna serta penegakan hukum terhadap para pelaku ‘tindak kejahatan’ yang telah banyak merugikan keuangan negara.

BBM naik lagi..! setidaknya kata-kata itu yang keluar dan sempat menjadi polemic di masyarakat kita saat ini. Tak hanya politikus, praktisi, atau mahasiswa. Warga kecil pun mulai angkat bicara. Sebagian kalangan menilai hal tersebut merupakan jalan satu-satunya untuk mengejar subsidi harga minyak mentah dunia yang menembus rekor USD 137 per barel. Namun sebagian lagi menyatakan bahwa menaikkan harga BBM bukanlah jalan keluar terbaik, sebab hanya akan semakin menyengsarakan masyarakat kecil.Tidak bisa dipungkiri bahwa langkah tegas ini diambil seiring melonjaknya harga minyak dunia yang tak terkendali. Sedangkan masyarakat kita sendiri merupakan salah satu masyarakat terboros di dunia dalam mengkonsumsi bahan bakar.

Yang perlu menjadi perhatian khusus, jumlah rakyat miskin di Indonesia dari tahun ke tahun kian bertambah. Naiknya harga bahan bakar, akan berimbas pada pada naiknya transportasi dan distribusi barang, kemudian berlanjut pada naiknya biaya produksi dan menurunnya minat beli karena harga melambung. Melambungnya harga barang inilah yang pada akhirnya yang akan membuat rakyat kecil kita akan semakin terkesan ‘dikerdilkan’. Para petani dan nelayan akan sulit melakukan aktivitas yang semakin memakan biaya. Termasuk sopir buruh dan karyawan yang menuntut kenaikan gaji sedang posisi mere sendiri berada pada tingkat kerawanan terjadinya PHK. Sementara itu, kebutuhan tuntutan untuk memenuhi akan hidup masih terus berlanjut.

Naiknya harga BBM di dalam negeri yang kisarannya mencapai 28% bukan tidak mungkin akan terus melonjak mengingat harga minyak dunia yang hingga kini belum berada pda titik stabil. Sebab, negara kita yang memiliki banyak kandungan alam termasuk simpanan minyak mentah masih belum cukup berpotensi untuk mengolah dan menasionalisasi aset-aset tersebut sebagai bahan bakar yang siap pakai.

Sebenarnya beberapa solusi sempat diusulkan kepada pemerintah dalam mengatasi persoalan pelik ini. Salah satunya yang ditawarkan oleh anggota DPR dari salah satu fraksi. Diantaranya ialah menyita harta para obligator dan para koruptor tanah air. Namun tawaran ini dimentahkan oleh pemerintah. Usulan untuk mengambilalih sumber daya alam dari jangkauan asing pun belum menjadi alternatif pilihan. sebab kemampuan Indonesia masih belum mampu menjangkau komoditi tersebut.

Perlu ada pemikiran dan solusi cerdas. Bukan sikap negatif atau pelecehan terhadap kebijakan negara. Mengingat sejarah perkembangan harga BBM di tanah air yang tidak pernah menurunkan kembali harga BBM setelah adanya kebijakan untuk dinaikkan. Dan sebagai masyarakat ‘timur’ yang tahu betul adat dan tata kesopanan bukan seharusnya jika ketidaksetujuan itu disikapi dengan ‘memanas-manaskan’ suasana yang semakin mempersulit persoalan. Tetapi sebagai kaum yang memiliki hak dalam menyampaikan aspirasi tentunya tidak tepat jika kita hanya sekedar nrimo begitu saja. Menggunakan hak bicara dalam berdemokrasi harus tetap ditegakkan sebagi warga negara.

BLT dan BKM bukan Solusi

“Negara kita negara bermartabat, bukan pengemis!” kalimat itulah yang sempat beredar dari mulut ke mulut. Bukan hanya politisi. Bahkan sebagian masyarakat pun akan mengiyakan pernyataan tersebut. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah setiap orang yang berperut kosong akan lebih memikirkan apa yang disebut oleh mereka sebagai ‘martabat’ itu? Apakah dana yang diberikan secara cuma-cuma akan ditolak begitu saja? Sementara upaya pemenuhan kebutuhan semakin sulit dijangkau.

Seperti yang berulangkali dijelaskan oleh pemerintah, bahwa BLT bukanlah solusi. BLT hanyalah bantuan ketika masyarakat dihadapkan pada shock saat awal kenaikan BBM. Masyarakat tidak sepatutnya menolak manakala bantuan itu dibutuhkan. Masyarakat juga tidak patut ‘ambil bagian’ dalam BLT jika kebutuhan sudah benar-benar terpenuhi. Kesadaran itulah yang dibutuhkan. Ketika warga yang dinilai mampu ikut berbondong-bondong datang meminta jatah aliran dana. Ketika itulah akan banyak warga miskin yang kehilangan ‘haknya’.

Pengalaman tahun 2005, tentang pembagian dana BLT yang kurang maksimal dan tidak tepat sasaran bahkan tidak sedikit menimbulkan korban jiwa menyebabkan sebagian masyarakat sangsi dengan kebijakan BLT tahun ini. Belum lagi ketika ketidakadilan terjadi dalam penentuan penerima dana BLT, maka kemungkinan akan terjadinya konflik semakin tinggi. Banyak yang harus dievaluasi mulai dari pendataan, proses distribusi serta sistem pembagian dana BLT di tahun 2005. Perlu juga adanya kejelasan yang lebih terperinci dalam pengkategorian miskin. Sebab tidak sedikit kesalahan pendataan yang terjadi akibat adanya kerancuan terhadap kategori keluarga miskin ini.

Lepas dari BLT ada istilah aneh lagi yang dikeluarkan pemerintah. Alih-alih sebagai upaya untuk mengurangi beban mahasiswa yang tidak mampu, meluncurlah program BKM, Bantuan Khusus Mahasiswa. Dalam program BKM ini pemerintah menyiapkan Rp 200 miliar untuk 400.000 mahasiswa di tanah air, baik perguruan tinggi negeri maupun swasta. Bantuan ini akan diberikan kepada mahasiswa yang kurang mampu sebagai kompensasi atas kenaikan harga BBM. Hingga kini, masyarakat kita masih belum memiliki kepastian tentang penerimaan dana BLT tersebut. Di beberapa daerah bahkan masih mengalami kendala pendataan dan administrasi lainnya.

Polemik kembali bermunculan. Kali ini datang dari mahasiswa sendiri yang sejak awal tidak setuju dengan kebijakan kenaikan BBM bahkan BLT. Sebab, kebijakan ini baru muncul saat mahasiswa tengah gencar-gencarnya menyuarakan aspirasi mereka menolak kenaikan harga BBM. Sehingga bukan tidak mungkin pemberian dana yang menurut pemerintah dilakukan secara ‘ikhlas’ dan sesuai program ini di tanggapi negatif oleh mahasiswa dan disalahartikan sebagai iming-iming belaka.

Terpisah ketua BEM Universitas Indonesia, Edwin Hofsan Naufal menyatakan bahwa bantuan yang dikemas dengan nama BKM ini pasti tak urung menimbulkan masalah baru. Sebab yang menjadi pertanyaan mengapa bantuan tersebut tidak perbah dikoordinasikan sejak awal? Justru ketika keadaan mahasiswa yang telah meledak-ledak menolak BBM naik mencapai puncaknya, program BKM baru dimunculkan. Ini yang kemudian perlu untuk diperhatikan.

Yang paling menjadi kekhawatiran sekarang adalah adanya indikasi terpecahnya mahasiswa dalam beberapa kubu yang berseberangan. Dan hal tersebut tentunya akan menjadi persoalan baru yang semakin meruncing. Karena sebagai yang kita ketahui selama ini, bahwa secara tidak langsung mahasiswa telah terpecah ke dalam beberapa front. Baik itu yang pro dan kontra terhadap kenaikan harga BBM ataupun mahasiswa yang antipati terhadap kebijakan pemerintah ini. Inilah yang membuat pemerintah terkesan berupaya mengambil hati mahasiswa yang selama ini kurang peduli terhadap permasalahan bangsa tersebut.

Sadar untuk Hidup Kolektif

Kemiskinan adalah masalah terbesar yang selama ini membelenggu negeri ini. Kelangkaan pangan, kelaparan, rendahnya pelayanan kesehatan dan tingginya angka kriminal adalah hasil dari apa yang disebut-sebut orang sebagai kemiskinan. Betapa tidak? Tingginya angka korupsi di tanah air yang telah menimbulkan kerusakan sepanjang bangsa ini berdiri juga diakibatkan oleh kemiskinan pula. Masihkah banyak pejabat-pejabat kita yang merasa miskin?

Tetapi jangan salah. Sebenarnya di negara kita yang miskin dan papa ini masih terlalu banyak orang-orang kaya. Orang-orang yang semakin lama semakin kaya. Masih banyak orang-orang yang bahkan hartanya tidak akan habis hanya untuk memenuhi kebutuhan pribadi mereka seketurunan. Dari sinilah mulai terlihat bahwa selama ini efek kesenjangan sosial sudah lama merasuki kebudayaan kita. Sehingga batasan antara kaya dan miskin semakin jauh saja.

Padahal seperti kita ketahui , satu persatu nominator orang terkaya dunia dari negeri ini selalu bermunculan. Akhir Mei lalu, Menko Kesra Aburizal Bakrie tercatat sebagai orang terkaya di Asia Tenggara dengan total kekayaan mencapai USD 9,2 miliar (setara Rp 84,6 triliun) mengalahkan para konglomerat negara-negara Asia Tenggara lainnya. Bukan hanya itu, Bos Group Sinar Mas, Bos PT Djarum dan bahkan mantan menteri Siswono Yudohusodo pun masuk dalam daftar orang kaya baru.

Bayangkan dengan harta seorang Menko Kesra saja, bangsa ini akan mampu melaksanakan program Pendidikan Gratis di tanah air, terutama untuk program wajib belajar 9 tahun yang membutuhkan dana sekitar Rp 74,92 triliun. Di negeri ini, tidak sedikit pejabat, artis atau pengusaha yang memiliki harta berlebih.

Tetapi sungguh ironis, sejak beberapa tahun terakhir selalu saja ada orang kaya baru di negeri ini. Munculnya orang kaya baru ini sering menjadi perhatian dan berita hangat di berbagai media massa maupun elektronik. Tapi pernahkah kita membayangkan bahwa setiap harinya nominator orang termiskin di negara kita selalu bertambah. Bahkan hingga menyebabkan kematian.

Sementara kemiskinan bertambah, kriminalitas pun merajalela, termasuk ancaman terbesar dan paling serius yakni korupsi. Sudah lama penyakit yang telah mendarah daging dalam kehidupan bangsa kita ini merajalela. Apalagi mengenai penyalahgunaan posisi, baik sebagai aparatur negara maupun swasta.

Sebenarnya, berkaca pada apa yang pernah disampaikan oleh mendiang Nurcholis Madjid, bahwa kesejahteraan pribadi akan mampu terwujud apabila kesejahteraan kolektif terpenuhi. Artinya, kepentingan umum haruslah lebih diutamakan daripada kepentingan khusus. Sebab bangsa yang baik dan adil adalah bangsa yang ikut merasa lapar ketika yang lain lapar dan merasa kenyang ketika yang lain makan. Kesadaran kolektif itulah yang sekarang mulai menghilang dari bangsa ini. Hilang sebab tergiur duniawi untuk kepuasan pribadi. Dengan korupsi, dengan mencuri, dengan hanya mampu menebar janji.

Rakyat kecil hanya butuh satu. Kesadaran! Kesadaran untuk mereka yang menjadi pejabat, pengusaha sukses, dan orang-orang berhasil lainnya. Kesadaran untuk tidak mengambil hak orang lain, kesadaran untuk mengerti keadaan orang lain, kesadaran untuk sama-sama ber-empaty terhadap orang miskin. Bukan kesadaran untuk mengemis dan mengajarkan menjadi pengemis. Bukan kesadaran untuk meminta dan mengajarkan menjadi peminta-minta. Tetapi kesadaran untuk bersama-sama ikut menyadarkan. Pertanyaannya, sudahkah kita sendiri sadar?


Surabaya, 5 Juni 2008

Maud Khan
Selengkapnya...

Iran, Aawal Kebangkitan Timur Tengah

oleh: Mahfud*

“Sepanjang sejarah, Iran dikenal sebagai bangsa besar yang mampu menguasai wilayah Timur Tengah−termasuk di dalamnya Babylonia, Palestina dan Syria−, Asia Kecil, bahkan hingga kawasan Eropa. Sejarah kepahlawanan negeri Persia itu semakin lengkap tatkala berhasil menakhlukkan negeri Sparta tahun 480 S.M dibawah pimpinan Xerxes, putra Darius melalui pertempuran sengit di Thermopylae. Sejarah juga mencatat perkembangan kerajaan lembah sungai Eufrat dan Tigris pada masa Hammurabi maupun Nebukadnezar yang mampu memberikan kontribusi besar dalam perkembangan dunia. Salah satu karya besar negeri Babylonia ini adalah hukum Hammurabi yang memegang teguh penegakan hak-hak asasi manusia. Hingga abad ini Iran yang pernah 25 tahun berperang melawan Irak mampu menunjukkan eksistensi mereka sebagai bangsa yang beradab dan poros utama kekuatan Islam di kawasan Timur Tengah. Iran tidak henti-hentinya menghimbau kepada seluruh umat Islam dunia untuk bersatu agar terlepas dari ketertindasan serta monopoli kaum barat, menegakkan keadilan dan menciptakan perdamaian.”

***

Sebagai bagian dari penghuni kawasan Timur tengah, rakyat Iran dituntut untuk dapat survive secara mandiri, terutama pada fase-fase awal perkembangannya yang cukup tertinggal dibandingkan negara-negara lain selama kurun waktu 2500 tahun dibawah kekangan monarkhi yang absolut. Keberhasilan Revolusi Islam Iran pimpinan Ayatullah Ruhullah Khomeini pada 1979 telah melahirkan semangat baru menuju modernisasi yang revolusioner, antiimperialisme, menjunjung tinggi nasionalisme, dan ajaran Islam. Karakteristik itulah yang kemudian muncul dan mampu membawa masyarakat Timur tengah ke dalam persaingan membangun peradaban. Tidak hanya terbatas dalam bidang infrastruktur pemerintahan, melainkan juga memengaruhi nilai-nilai identitas nasional, sosial, politik, dan budaya. Kini, bangsa Persia yang diarsiteki Presiden Mahmoud Ahmadinejad dalam Republik Islam Iran itu tengah dihadapkan pada upaya mempertahankan peradaban yang komprehensif, kolektif, dan mampu menjadi poros dunia Islam. Tindakan tidak proporsional yang selama ini selalu ditunjukkan oleh beberapa negara adidaya memang selalu menyudutkan Islam dari berbagai posisi. Apalagi di era global saat ini umat Islam merupakan kalangan yang paling mudah menjadi bulan-bulanan tuntutan zaman. Kondisi ini diperparah dengan semakin meningkatnya kekuatan imperialis, kapitalis dalam menyebarkan makar-makar mereka yang pada akhirnya memunculkan perpecahan, krisis berkepanjangan dan sikap ultra-sensitif antar sesama umat muslim.

Kebangkitan Islam dalam mempertahankan eksistensinya merupakan sesuatu yang menjadi prioritas oleh masyarakat Iran saat ini. Apalagi kecenderungan merosotnya kepercayaan terhadap Islam yang selama ini dilontarkan oleh masyarakat internasional semakin meluas melalui isu-isu ‘terorisme’. Dalam hal ini Iran merupakan hampir satu-satunya negara berpenduduk muslim terbanyak yang masih lepas dari kesan terorisme dan kekerasan lainnya dalam dekade terakhir. Ini membuktikan bahwa kebangkitan Iran dalam mengusung landasan keislaman tidak dapat dipandang sebelah mata. Apalagi jika hanya menjadikan Irak sebagai asumsi akan keberadaan Iran yang dikhawatirkan mampu mengancam perdamaian internasional. Tidak hanya itu, konflik Syi’ah-Suni di area Teluk yang tak kunjung reda selalu dijadikan apologi oleh Amerika Serikat dan sekutunya dalam menuding Iran bahwa Ahmadinejad memiliki ambisi menjadi penguasa Timur Tengah setelah tumbangnya rezim Saddam Hussein. Mereka menilai tokoh-tokoh Syiah yang kini berkuasa di Irak dan juga di Iran termasuk Presiden Mahmoud Ahmadinejad merupakan orang-orang yang bersemangat membela ajaran dan nilai pokok Syiah. Pada saat yang sama mereka bukan hanya anti-Wahabi, tapi juga anti-Suni. Perspektif semacam ini sungguh mengandung resiko yang berbahaya mengingat kedua sayap Islam ini−Suni dan Syiah− sangat rentan membangkitkan luka-luka lama di antara kedua kelompok umat Muslimin. Namun berawal dari kesadaran dan sikap optimis segenap rakyat Iran dalam memegang semangat keislamannya, Iran mampu bangkit dan bersaing di dunia global saat ini.

Bangkitnya Republik Islam Iran melalui kemajuan teknologinya memang menyisakan permasalahan tersendiri bagi bangsa-bangsa Eropa-Amerika terutama program pengayaan uranium sebagai reaktor nuklir di negeri itu yang menjadi polemik hingga saat ini. Sungguh paradoks, Israel yang sejak dulu selalu menjadi biang keributan di berbagai belahan dunia serta berhasil membangun basis militer terbesar di Timur Tengah justru terkesan mendapat perlindungan dari PBB. Indikasi munculnya konspirasi internasional ini semakin jelas tatkala Mei 2008 diketahui bahwa jumlah misil nuklir yang dimiliki Israel telah mencapai ratusan. Namun hal ini belum sama sekali menimbulkan ketakutan atau kekhawatiran sedikitpun pada PBB selaku badan keamanan. Sedangkan Iran yang mengerahkan semua potensi dan sarana demi mengakhiri pendudukan dan pembunuhan warga sipil yang tak berdosa serta aktif melibatkan diri atas isu Timur Tengah, Palestina, Afganistan dan Irak selalu menjadi sosok yang harus diwaspadai. Sungguh ironis!

Sebelumnya, Iran sudah mendeklarasikan kepada dunia bahwa Iran telah berhasil menggapai teknologi produksi bahan bakar nuklir dan secara resmi masuk dalam daftar negara-negara pemilik teknologi canggih dan efektif tersebut. Apalagi teknologi nuklir Iran telah menembus batas-batas wajar hingga ke berbagai sektor yang sangat rumit. Selain menjadi sumber energi alternatif yang efektif, teknologi nuklir mampu menunjang di bidang kedokteran, industri, geologi, pertanian, pertambangan, dan sektor-sektor penting lainnya. Dalam hal ini Iran juga tetap menekankan komitmennya terhadap ketentuan internasional di bidang nuklir serta hanya akan menggunakan teknologi ini sebagai sarana pendukung fasilitas. Ini menunjukkan betapa besar potensi Iran dalam persaingannya di bidang teknologi maupun ilmiah. Keberhasilan Iran dalam mengembangkan teknologi nuklirnya memang patut menjadi contoh bagi negara-negara muslim lain. Bagi Iran, bukan saatnya menggantungkan diri kepada bangsa asing, setiap bangsa memiliki hak-hak untuk diperjuangkan termasuk yang berkenaan dengan permasalahan teknologi nuklir. Itulah sebabnya sampai saat ini Iran bersikeras untuk tetap melanjutkan program nuklirnya walau sempat mendapatkan sanksi PBB, sebab tidak layak jika Iran menghentikan program nuklirnya hanya atas dasar 5 negara anggota tetap PBB tanpa melibatkan bangsa-bangsa lain yang sebenarnya mempunyai hak yang sama. Terlepas dari setiap padangan ketidaksetujuan terhadap program nuklir manapun, tekanan yang dilakukukan Barat kepada Iran memang terkesan tidak adil. Sebab sikap serupa tidak diperlihatkan AS Barat kepada India, Pakistan, Israel, dan China ataupun negara-negara lain yang ikut mengembangkan program nuklir.

Keberhasilan ini memberikan pesan kepada semua masyarakat muslim bahwa sebagai umat yang besar dan beradab tidak perlu mengendurkan tekad di hadapan represi asing. Islam adalah agama besar, kuat, penuh cinta kasih, penuh kedamaian, dan mampu bersaing dengan lintasan perubahan jaman.. Iran adalah negara pertama yang membuktikannya. Sikap tegar pasca Revolusi 1979 tersebut juga menunjukkan bahwa Iran tidak akan pernah tunduk kepada Amerika Serikat walau dengan ancaman apapun.


Surabaya, 27 Juni 2008

Selengkapnya...