HAEMI

Oleh: Salamet Wahedy

(I)
Dua tahun dia sudah menghilang.
Tapi Ceritanya berseliweran di sepanjang halaman kampung. Tubuhnya, dua tahun lalu bersih putih. Cerlang matanya tajam. Untaian kata-katanya selalu menyiratkan tanda dan teka-teki. Setiap orang yang berpapasan dengannya, selalu menyediakan tempat ingatan untuk mengenangnya.
Dilahirkan di lingkungan keluarga keturunan dara biru, membuatnya mendapatkan tempat istimewa dalam pergaulan. Ibunya lulusan pondok pesantren. Ayahnya titisan seorang kiai. Teman-temannya memanggilnya dengan sebutan kakak tua.
Di masa mudanya, ia dikenal anak yang berani. Ia tidak takut pada siapa pun. Suaranya lantang. Bahkan sebagai orang yang dituakan dalam pergaulan, ia tetap menunjukkan sikap yang penuh hormat ke sesamanya.
Suatu pagi kejadian itu pun terjadi. Matahari menggeliat dengan malas. Orang-orang masih enggan menepis kesepian. Wajah Haemi tampak memar. Seluruh tubuhnya penuh luka. Gigi depannya tanggal. Yang paling mengenaskan pelipisnya. Tak ada yang mengira: Haemi yang lahir dengan dara biru terjerembab dalam kubang debu.
Haemi dituduh menyelingkuhi istri orang. Ia digebuki. Massa menghakiminya.

(II)
Dua tahun dia sudah menghilang.
Kini, dengan mata cekung legam. Rambut awut-awutan kebiru-biruan. Tampang terpasang seram, ia muncul di ujung jalan desa waku tengah malam. Pandangnya jelalatan seperti mencari sesuatu, seperti hendak membongkar dinding rumah, pohonan juga bebatuan. Jalannya masih tegap. Hanya kaki kirinya agak pincang. Untuk menepis keterasingan suasana malam desa yang larut, berulang ia mendehem, atau sesekali batuk-batuk.
Di rumah kesembilan dari ujung jalan desa, ia mengetuk pintu. Rumah bercat hijau. Hijau keseluruhan. Hanya warna hitam menyela di beberapa sisi dan bagiannya. Rumah nomor nolsatunol. Berulang ia mengetukkan tangannya. Dan berulang pula senyap menelan gemerisik buku tangannya dan daun pintu yang mengelupas.
“Bu. Bu. Bu... Aku Haemi. Buka pintunya Bu. Huk. Huk”, batuknya memberat. Ketukan tangannya semakin keras dan cepat. Rumah itu tampak mau bergetar. Tapi tetaplah senyap yang menyergap untuk beberapa kejap.
Paakk. Paakk. Paakk.
Kini telapak tangannya dihantamkan ke jantung pintu. Kerangka pintu pun ikut bergetar. Seperti kesalnya yang membuncah di kedua matanya. Seperti lelahnya yang menyaru dalam dahak batuknya.
“Sebentar, siapa?”
Pintu berderit berat. Sosok perempuan paruh baya surut di depannya. Sosok itu mengucak-ngucak matanya. Matanya kurang awas. Apalagi malam telah larut. Kabut mengambang di setiap lubang penglihatannya.
“Haemi?” suara itu memastikan dirinya. Ia melengos masuk. Di lemparkannya ransel berat di atas meja bambu tua. Ransel itu meringkuk pasrah seperti tubuhnya yang menimbulkan keriut di kursi bambu di sudut rumahnya.
“Kau ini dari mana saja. Kau pergi tanpa pamit atau kabar yang jelas. Bagaimana maksudmu? Aku tak pernah menganggapmu sebagai Karna. Kau tetaplah Bima”, sosok perempuan paru baya itu berseloroh. Celoteh-celoteh kecilnya seperti kerikil. Ia tak butuh kerikil. Kepulangannya pun hanya sekadar palarian dari kerikil-kerikil yang menggunung di jalannya.
Sosok perempuan paruh baya itu, ibu Haemi, terus berseloroh ria. Petuah dan teguran membuat kuping Haemi tampak berdenyut. Dadanya turun naik. Tanpa ba-bi-bu ia bergegas ke kamar tidurnya. Kamar yang sudah dua tahun terkunci. Hentakan keras membuat debu menghempas.

(III)
“Dari mana saja kau Haemi? Pagi-pagi ibunya kembali memastikan keberadaannya selama dua tahun belakangan ini. Sambil menyuap suguhan ibunya, dengan sedikit kesal, ia menjelaskan keberadaannya.
“Saya tahu ibu melahirkan saya untuk jadi anak yang berbakti. Tapi saya juga berhak untuk mencari pengalaman. Sehingga saya dapat berbakti dengan baik kepada ibu” suaranya agak ketus. Suara yang meletuk seperti kayu-kayu bakar yang mendekati hangus. Panjang lebar dijelaskannya petualangannya.
Malam itu, malam kepergiannya ia mengetahui pacarnya, Indira, memutuskan untuk menikah dengan Kamir. Ia terpukul. Sangat terpukul hatinya. Indira, perempuan yang bersedia pacaran dengannya empat tahun lalu, ternayata diam-diam menjalin hubungan dengan Karim, anak Pak Amir pedagang besar itu. Untuk melepas rasa sakit hatinya, Haemi menerima ‘ajakan’ Nona Pokewati, istri Bang Birokron. Nona Pokewati sudah sejak lama menggodanya. Nona Pokewati, binatang jalang yang binal. Keperkasaan Bang Birokron tidak membuatnya puas. Apalagi Haemi sebagai sosok yang di mata Nona Pokewati penuh imajinasi.
Sialnya sewaktu keduanya melepas segala gumpalan hasrat di dada mereka. Haemi ingin melepas beban nyeri luka hatinya. Nona Pokewati hendak menuntaskan imajinasinya bertarung dengan pemuda penuh imajinasi. Sewaktu mereka hendak melewatkan malam di ranjang spring bed pink di rumah Nona Pokewati, karena kebetulan suaminya lagi bertugas keluar kota, ternyata Bang Birokron pulang mendadak di tengah malam itu. Di tengah pertarungan itu.
“Saya tidak mungkin menahan malu dengan berdiam diri di sini” suaranya serak. Haemi hendak menangis. Tapi buru-buru ditepisnya.
Selama dua tahun ini, ia menghabiskan hari-harinya dengan mendirikan event organiser di Kota Surabaya. Di sana, 176 km dari desanya. Berbekal sisa kemampuan sebagai siswa SMK, ia mengumpulkan beberapa temannya. Satu semester di kota Buaya itu, usahanya cukup berhasil. Ia dapat berkuliah di sana.
“Tapi kenapa kau tidak pamit, atau sekadar ngasih kabar?”
Sayang perjalanan kuliahnya harus pupus. Di semester dua kuliahnya, ia ditimpa nasib sial. Ia ketahuan menggelapkan uang unit kegiatan intra kampusnya. Ia dikeluarkan. Ia pun mesti kembali membangun usahanya demi bertahan hidup. Event organiser yang sempat ditinggalkannya, kini digerakkannya kembali.
“Dan sejak itu Bu...” nafasnya menghela berat. Ceritanya menyimpan kenangan pahit. Matanya menerawang hendak melepas beban yang nyelekit di dadanya.
“Saya mencoba merambah rimba Kota Surabaya. Tapi sayang...” mata Haemi menyelinap di antara celah-ceah rumahnya menangkap bulan. Mulutnya berhenti sejenak. Kata-kata seolah menyingkir untuk diucapkannya.
Sedang ibunya hanya mendengarkannya dengan raut penuh garis-garis campuraduk. Kecewa, iba, sesal membuat airmukanya tercenung rusuh.

(IV)
“Haemi! Haemi! Haemi!
Pagi-pagi pintu rumahnya digedor-gedor. Teriakan dan pekikan penuh amarah memenuhi gelembung udara pagi. Matahari menyeruak seperti airmuka ibunya menguar heran.
“Haemi membawa kabur uang Bu Pathimah. Ia menipu beliau. Haemi seorang penipu”
Sosok kekar tampak melemparkan kata-kata dengan ketus. Cerocos mulutnya seperti hendak menumpahkan kesumat di dadanya. Seluruhnya. Sepenuhnya. Tubuh kekar itu berulang mengulang kata-kata kasarnya. Matanya menyala. Nafasnya turun naik dengan kasar. Tubuh kekar itu suami Bu Pathimah, Pak Kalong.
“Tidak mungkin. Haemi tidak mungkin seperti itu. Anakku bukan penipu. Bukan maling” perempuan paruh baya itu meraung. Suara yang dikuat-kuatkannya, hendak menyerang sosok kekar di depannya. Dengan segala daya-upaya perempuan paruh baya itu hendak menangkis segala tuduhan yang ditimpakan pada anaknya. Ia meraung. Ia mengamuk. Ia kalap.
Segala sesuatu yang dapat dipegangnya, dilemparkannya ke kerumunan tetangganya. Tetangganya hanya menanggapi dengan menghindar. Atau tersenyum kecil melihat kelakuan Ibu Haemi yang seperti kanak-kanak.
“Tidak mungkin Haemi menipu. Tidak mungkin ia mencuri uangmu. Haemi dilahirkan dari rahim yang suci. Ayahnya pun keturunan seorang kiai. Tidak mungkin Haemi mencuri” perempuan paruh baya itu terus melengking. Lengkingan yang runcing. Lengkingan yang menyayat telinga pendengarnya. Mengiris-mengiris gendang telinga di dekatnya.
“Tidak mungkin Haemi menipu. Tidak mungkin” suara itu melemah. Beberapa orang memapah perempuan paruh baya itu.

(V)
Dua tahun dia sudah menghilang.
Kini kedatangannya hanya menyisakan bisik dan gosip. Ibunya sudah dengan segala cara mencoba menepis, tapi nasi sudah jadi bubur. Haemi menjadi sorotan tetangganya. Ia menjadi topik perbincangan yang tiada habisnya. Teman-teman lamanya pun merasa perlu untuk menjaga jarak untuk sekadar menyebut namanya.
Haemi kembali menghilang. Uang Bu Pathimah ditilapnya. Ibunya meradang. Kenyataan ini pun diterimanya dengan dada lapang.
“Haemi, Haemi. Kau kuharapkan menjadi seorang kiai penuh karomah dan magis. Tapi sayang kini kau hampir mirip iblis” seru ibunya menerawang jauh ke langit malam tak berbatas.

Lidahwetan, 01 Juni 2009

0 komentar:

Posting Komentar