Awas!!! Fitna, Fitna dan Fitnah

Sebelumnya Geert Wilders sudah mengingatkan kita lewat filmnya yang spektakuler. Film berjudul Fitna yang sempat menjadi kontroversi beberapa waktu lalu merupakan pukulan berat bagi umat muslim di seluruh penjuru negeri, namun hendaknya mampu dijadikan pelajaran berharga dalam mempersiapkan diri menyambut ’fitna-fitna’ selanjutnya. Terutama persoalan Ahmadiyah yang tak kunjung usai.

Mungkin saya merupakan salahsatu dari sekian bangsa Indonesia yang kurang mengindahkan ’himbauan’ pemerintah, yaitu himbauan untuk tidak menonton film ’fitna’ yang sempat menjadi persoalan dunia muslim beberapa waktu lalu. Terus terang saya akui sangat penasaran, sebab tanpa tahu seluk beluk inti permasalahan tentunya sungguh kurang bijak jika kita terlalu cepat mengambil tindakan (take action) atas munculnya film tersebut. Dan perlu disadari bahwa pengambilan keputusan semacam itu ¾yang tergesa-gesa¾hanya akan menambah mudharat bagi umat. Jika kita kaitkan dengan keadaan umat muslim di Indonesia sekarang, tentu sangatlah berbahaya karena masyarakat akan mudah untuk terpancing oleh provokasi sesaat yang menyesatkan tersebut sedangkan di dalam negeri rakyat masih sangat disibukkan dengan persoalan-persoalan aliran ’sesat’ yang hingga kini belum juga reda.

Sebenarnya jika dikaji lebih jauh, film yang dibuat oleh salah satu pejabat parlemen negeri Kincir Angin tersebut sangat jauh dari kesan keislaman ¾sedikitpun¾ bahkan saya menganggap film itu merupakan kumpulan kejahatan sosial yang terjadi dan terangkum secara mbulet serta ngawur. Lebih dari itu, tanyangan film berdurasi 16 menit tersebut menunjukkan kelemahan otentisitas dan relevansi dari pembuat film itu sendiri. Tidak diragukan lagi, hanya kaum awam-lah yang akan mudah terpancing dengan tanyangan semacam itu, selebihnya sikap arif serta bijaksana lebih dibutuhkan menyikapi dilema ini.

Yang Menjadi Pegangan....

Tidak diragukan lagi, bahwa Islam turun ke muka bumi adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmat-an li al ’alamin). Sebab nabi adalah diutus untuk seluruh umat manusia secara “universal” artinya tidak hanya untuk kaum muslim saja, dan umat non-muslim sekalipun akan mampu menilai serta merasakan apa yang telah diwariskan oleh Islam kepada sejarah.

Jika kita kembalikan lagi pada Al-Qur’an maka kita akan menemukan semua jawabannya. Di dalam Al-Qur’an Surah pertama (Al-Fatihah) dikatakan “segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam” (QS. 1: 2) menunjukkan bahwa Tuhan melindungi sekalian alam ini dengan segala sifat-sifatnya yang Agung. Tidak mungkin Tuhan kemudian mengajarkan kekerasan kepada sesama. Meskipun kemudian Geerrtz menunjukkan beberapa ayat perang dalam film fitna tersebut (terlepas dari kekurangpahaman Geert Wilders terhadap penafsiran ayat-ayat tersebut), namun ayat kedua Al-Fatihah ini memiliki keotentikan makna yang tidak dapat disangkal sebagai ummul qur’an.

Hematnya, semua agama tidak akan mengajarkan kekerasan, Apalagi Islam yang (bagi saya) merupakan agama penyempurna dari agama-agama terdahulu (yahudi-nasrani). Sehingga kekerasan apapun yang terjadi dalam agama adalah bukan atas nama agama (Islam).

Bukankah Umar bin Khattab sendiri mati di ujung pedang seorang muslim? Tetapi kemudian hal ini bukan diangggap sebagai penodaan si pembunuh terhadap Islam, apalagi yang menjadi persoalan hanyalah permasalahan ekonomi tentang pabrik gandum yang di miliki oleh Abu Lu’lu’, sang pembunuh khalifah. Bukankah Reformasi Gereja yang terjadi pada abad ke-16 sebagai ketidakpuasan penganut Katolik sendiri terhadap dogma-dogma Gereja yang dianggap kaku lebih bisa dianggap sebagai keterpurukan suatu agama? Termasuk Gerakan Revolusi Islam Iran yang terjadi pada 1979 M. Bagaimana dengan pelakunya? Mereka kedua-duanya masih dianggap sebagai pahlawan, bahkan hingga sekarang.

Jika demikian, apa yang dilakukan Geert dalam mencari titik celah dari suatu agama tentunya lebih mudah daripada mengorek kelemahan apa yang menjadi kepercayaan dan keyakinan kita sejak kecil. Kita juga tidak akan sulit jika ¾misalnya¾ membuat film dokumenter yang setara atau bahkan lebih buruk. Tetapi hal tersebut bukanlah solusi, karena permasalahan belum tentu selesai hanya dengan pertarungan adu film yang tidak akan ada habis-habisnya. Sebab setiap agama (baca: pemeluk) pasti memiliki kebobrokan yang disebabkan kurangnya konsistensi dalam menjalani sebuah agama secara baik.

Kekerasan serta teror tidak boleh dipandang sebagai bagian dari agama. Sejauh dan seburuk apapun yang dilakukan personal maupun kelompok dalam upaya kejahatan lain dengan skala tertentu tidak boleh disangkutpautkan dengan masalah keyakinan. Berbagai macam aspek seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya merupakan penyebab utama terjadinya perpecahan umat di dunia meskipun pada tidak jarang akhirnya mengerucut pada soal keyakinan. Mengapa demikian? Sebab dalam kelompok agama, rasa fanatik serta ’send of be longing’ sangatlah besar bahkan tidak terbatas sehingga paling mudah jika kekuatannya digunakan untuk kepentingan beberapa kelompok.

Sejarah telah membuktikan, bahwa peperangan panjang yang terjadi selama kurang lebih dua abad (1091-1295) yang dikemas dalam Crusade War (perang salib) terlepas dari orientasi sebagai perang yang mengatasnamakan agama ternyata tidak dipungkiri merupakan perang yang berujung pada permasalahan aset-aset ekonomi. Karena itu sejak dikuasainya Konstantin oleh Bani Seljuk (Turki Usmani) bangsa Eropa dituntut untuk mengambil inisiatif lain dengan mengadakan ekspedisi samudra dalam menemukan wilayah-wilayah baru. Ekspedisi ini berupaya untuk menemukan wilayah-wilayah baru untuk melancarkan serangkaian kegiatan ekonomi dengan bangsa Timur yang terputus. Terlebih-lebih perang yang mengakibatkan trauma serta permusuhan berkepanjangan antara kedua belah pihak ini telah memicu kebencian yang jika terkena percikan sedikit saja akan menimbulkan masalah yang tak kunjung reda.

Wahai Kaum yang Beragama

Sudah bukan saatnya kita di era global seperti ini terlalu membesar-besarkan hal ’sepele’ ini untuk diperdebatkan. Sebab terlalu membuang-buang tenaga dan pikiran. Sudah waktunya kita berinstropeksi. ”adakah yang salah dengan agama kita?” jika tidak ¾dan tentunya pasti tidak¾ maka perlu kita pertanyakan lagi ”adakah yang salah dengan kita?”. Jika ini yang menjadi pertanyaan, maka jawabannya harus kita tunjukkan kepada mereka (yang atheis maupun yang tak perduli terhadap agama) bahwa inilah kita! Yang mampu merubah sejarah dunia, mampu memberikan yang terbaik kepada seluruh negeri secara universal. Sebab jika tidak, bukan sesuatu yang mustahil jika kaum beragama pada akhirnya akan menyusut dan harus kalah dalam kompetisi global.

Setidaknya bagi kaum muslim khususnya di Indonesia hendaknya ’berterima kasih’ atas apa yang dilakukan oleh Geert. Bagaimanapun juga ia telah mengingatkan kepada kita tentang pentingnya persatuan dan kerukunan sesama muslim, termasuk pentingnya memperbaiki citra diri kita masing-masing sebagai pemeluk agama mulia ini. Dan yang perlu menjadi perhatian serius. Di negeri ini, relegiusitas merupakan momok yang hingga sekarang masih dipegang teguh. Berbagai persoalan yang menyangkut agama sangat rentan untuk menimbulkan konflik. Baik itu penodaan, pengingkaran ataupun pengambilan kepentingan dalam agama.

Persoalan Ahmadiyah yang hingga kini belum juga usai. Hendaknya dijadikan pelajaran berharga. Bahwa kita sedang diuji. Mampukah kita menghindari apa yang dikatakan Geert sebagai ’fitna’ itu? Bisa jadi kita yang selama ini meninggikan dan mengelu-elukan Islam justru menenggelamkan dan menodai agama kita. Sebab bukan tidak mungkin jika kepentingan-kepentingan yang menyangkut politik ataupun ekonomi tersembunyi dibalik hiruk pikuk Ahmadiyah ini. Dan dari sini bisa kita lihat, bagaimana konsistensi pemerintah untuk tetap berpegang pada UUD 45 sebagai landasan konstitus tanpa harus mengurangi skala dari aspirasi massa ataupun sekelompok ormas dalam menyikapi Ahmadiyah yang diaanggap sesat ini.

Surabaya, 5 Juni 2008


0 komentar:

Posting Komentar