Sang Pemulung

by: Salamet Wahedy

Mengenangnya, apalagi menceritakannya pada kalian, sosoknya begitu membebani pikiranku. Bagaimana tidak, sosoknya begitu kontroversial. Kata-katanya ceplas-ceplos. Tapi penuh tekanan dan hikmah. Tingkah lakunya, setali tiga uang dengan ucapannya. Pakaian ala kadarnya. Compang-camping seperti gelandangan lazimnya. Pekerjaannya hanya memunguti kaleng, botol, atau gelas air minum bekas. Tapi dari gerak-geriknya, ia sosok yang penuh talenta, gesturnya menyimpan benih bergairah, serta rautnya menebar aura.

Entah bagaimana aku mesti menceritakan pada kalian. Sebagai pemungut sampah, ia tampak rapi dan bersih. Sebagai juru warta yang selalu mendongengi kami, ia tak memahami kaidah berita. Sebagai gelandangan, ia memiliki rasa dan karsa. Dianggap penjahat pun, ia jauh dari sosok kriminal. Entahlah siapa dia sebenarnya?

“Aku hanya seorang pemulung. Pemulung kaleng bekas. Botol dan gelas air minum bekas. Juga Pemulung kata-kata bekas. Peristiwa demi peristiwa yang membekas” ujarnya di suatu pagi. Ia datang padaku saat aku celingukan. Kemudian dituturkannya sepotong hikayat tentang seorang kakek yang hidup dengan satu istri dan empat orang anak. Penghasilannya hanya didapat dari upah penjualan lencak kaju1 yang dipasarkannya. Satu lencak kaju, memberinya tujuh ribu lima ratus rupiah.

“Kakek yang menyita perhatianku” lanjutnya. Ia bercerita penuh intonasi dan penghayatan. Matanya selalu menerawang jauh, hingga pada detik yang penuh inspirasi.

“Suatu hari”, lanjutnya. ”Aku berkesempatan bertemu dengannya. Wajahnya lusuh, tapi tidak menampakkan aura yang lumpuh. Tuturnya lembut. Kilat matanya penuh imajinasi. Sesekali ia tersenyum. Apalagi ketika mendengar berita huru-hara, senyumnya semakin menampakkan kematangan. Senyum yang mengembang dari mental kokoh”, ia terus bercerita.

Di sela-sela ceritanya, ia menegaskan makna dan hikmah setiap kejadian ‘penting’. Ceritanya mengingatkan aku akan nenek. Nenek yang selalu berdongeng menjelang tidur. Dongeng yang selalu diterjemahkan: buah apa yang bisa kita petik?

Dan seperti kebiasaannya, ia selalu mengakhiri ceritanya dengan sebait ucapan filosofis.”Aku tidak makan sama manusia. Aku makan pada Tuhanku” tegas kakek itu, ujarnya dengan tatapan sayu. Sunggingan senyumnya seperti hendak menusuk dada pendengarnya.

Ah, mungkin ia pendongeng? Tapi aku selalu dihinggapi keraguan, kegamangan setiap menebak dirinya. Namanya pun, aku selalu sangsi: Kron, Danto, Cobik, Centong, dan sederet nama lainnya. Aku selalu ditertawakan setiap kali memanggilnya.

“Ah apalah sebuah nama. Mengenang Shakespeare terlalu lapuk”, selorohnya. ”Sebagai doa, ia terlalu singkat”

“Lalu?”

Ia tertawa. Tawa yang membangkitkan gairah. Aku mengenangnya karena tawanya yang berteknik ini.

***

Kali pertama aku menemukan namanya di sebuah halaman koran: Kron! Puisi-puisinya begitu rancak. Puisi yang lahir dari kejernihan. Puisi yang tidak menyita kening berkerut. Puisi yang bersahaja.

Kali pertama aku bertemu dengannya, aku juga mengesankan bahwa ia seorang penyair. Mungkin juga sastrawan. Tapi setelah pertemuan kedua kalinya, kesanku berbeda lagi. Petuah-petuahnya, bahkan ide-ide yang ditungkannya dalam cerita-ceritanya, menandaskan keyakinanku akan sosoknya yang lain: kiai atau da’i, atau bahkan pemangku adat!

“Pesan apa Mang?”, suara Bu Dango membuatku tergeragap. Aku angkat mukaku. Dan kulihat sumringah Bu Dango secerah pagi.

“Sudah baca cerpen tentang aku?” suara Bu Dango menampakkan kebanggaan. Binar matanya memancar bahagia. “Warung tepi Kali, judulnya”.

“Kron itu pemuda yang hebat, Mang” sejenak Bu Dango duduk di dekatku. Tangan ringkihnya meletakkan kopi susu pesananku.”Suatu sore ia datang padaku. Ia utarakan niatnya untuk berbagi cerita denganku. Aku pun bercerita” Bu Dango menerawang jauh. Kata-katanya seperti tetasan hujan. Begitu ritmis. Meski sesekali laksana hempasan ombak menghantam karang. Tidak karuan. Kata-kata yang terus berletusan dari bibir keriputnya. Legam dan berkerut.

Aku akui, cerita Kron tentang Bu Dango sungguh menggugah. Kehidupan orang cilik. Seorang penjaga warung. Pendapatan rata-rata 20 ribu rupiah per hari. Tanggungan keluarga lima orang. Disuguhkan lewat narasi yang runtut. Bahkan bumbu kesewenang-wenangan penguasa pada orang cilik seperti Bu Dango, semisal penggusuran warung Bu Dango yang sudah ketiga kalinya, menyegarkan kilasan ingatan kita akan realita yang biasa direkam siaran televisi. Siaran bernuansa berita dan tragedi. Masih berdasar pengakuan Bu Dango, juga sedikit pendapatku, Kron kadang-kadang seperti para pengarang ‘kiri’. Di sini pun, aku pun curiga: jangan-jangan Kron penganut paham komunis! Kalau ya, apakah ia salah? Apakah ia tidak boleh mengeluarkan pendapatnya tentang diorama hidup yang suram dan penuh intrik para bandit ini?!

“Meski omongannya terasa beraroma kiri, Kron juga shalat” tepis Bu Dango buru-buru. Lalu lanjutnya, “Kron memiliki kepekaan yang tidak dimiliki orang sebarangan. Tidak hanya aku yang diangkatnya dalam cerita-ceritanya. Kasus Bu Wiwit, tetangga sebelah ibu, selesai berkat tulisan Kron. Ia tidak pandang bulu membantu orang. Ketulusannya dalam membantu orang seperti kami, telah terbukti. Waktu ia mendampingi Bu Aslan…” sejenak Bu Dango menggantung ceritanya.

“Cerita apa ya?” Pak Kandeng mampang di ambang pintu. Ia memesan kopi item dan sebatang rokok. “Cerita tentang Kron, toh?” Pak Kandeng mengelap keringat yang menetas di dahinya. “Kron tidak hanya peka. Ia begitu halus dan tulus menerjemahkan fragmen hidup. Ia cerdas dan tangkas menanggapi. Pendapat-pendapatnya tidak asal…”

“Nggak makan Pak? Suara Bu Dango dari dapur memotong kata-kata Pak Kandeng. Pak Kandeng tersenyum kecil. Lalu ia memutuskan tidak makan. Lalu melanjutkan kenangnya akan sosok Kron, “tafsir Al-Qur’annya juga fasih. Ia mampu menangkap dan menerangkan isinya amat detailnya. Amat terangnya bagi kami yang tidak tahu-menahu apa-apa” tawa Pak Kandeng berderai renyah.

Ah Kron! Perpisahan dengannya, tidak mengurangi akan kehadiran sosoknya. Ia tetaplah sosok yang kontroversi sekaligus menyisakan fenomena kekaguman. Lima hari tidak bertemu dengannya, ternyata referensi tentangnya begitu berlimpah ruah. Referensi yang membuatku semakin ragu dan gamang untuk menebak dan menceritakannya secara pasti: siapa Kron sebenarnya?

***

Aku tidak bisa menceritakannya secara pasti. Belum bisa! Keraguan dan kegamanganku semakin bertumpuk. Pencarianku akan siapa sebenarnya dirinya, hanya menambah kabur pemahamanku. Tapi hal yang perlu kalian ingat, berdasar simpulanku: Kron orang penuh misteri! Di mataku dan di mata orang-orang sepertiku:Bu Aslan, Bu Dango, Pak Kandeng, Bu Wiwit, Kron sosok yang gagah, berani. Ia tak hanya pahlawan. Bahkan kami diam-diam mengimpikannya bak seorang nabi: penuh pencerahan dan totalitas kepekaan sosialnya. Sebaliknya, di mata orang-orang yang jadi lawan kami: penguasa, pemilik modal, Kron adalah ular yang menyimpan bisa, yang sewaktu-waktu akan mematikan mangsanya, lawannya: lawan kami!

Seperti pagi ini, kejanggalan diri Kron terpampang di tengah kota. Di tengah alun-alun. Ia telah membuat penguasa kota marah. Ia digantung di tengah alun-alun.

Tubuhnya compang-camping. Ceceran darah mengering di sekujur pakaiannya. Tapi bukan Aroma amis yang menyeruak sampai jarak lima puluh meter. Seperti dipenuhi semerbak bunga setaman hidungku, saat aku mendekat. Tubuh Kron begitu tirus. Ringkihnya lirih. Suaranya pelan. Sangat pelan. Dan di sekelilingnya, orang-orang tersedu. Mata mereka sembab. Orang yang berbaju putih. Di bawah kelabu langit, gerombolan mereka menguar cahaya. Tubuh Kron menjelma mercusuar di tengah mereka. Tubuh yang tergantung di tiang berlumur darah. Sungguh parade magic!

“Dosa apakah yang kau perbuat kawan?” bisikku di telinganya yang menggema. Telinga yang seolah sarang lebah. Suara-suara yang bertahan di gendang pendengarnya, suara-suara yang begitu akrab. Begitu dekat.

“Dosaku hanya pemulung kawan” senyumnya bangga! Kedua tapuk matanya pun mengisyaratkan perjalanan panjang.

Ya, perjalanan panjang. Sejak saat itu, sejak Kron melempar senyum pada kelabu langit, kelam malam. Sejak Kron menghembuskan nafasnya di tiang gantungan, kami pun paham akan posisi kami: Para pemulung!

Lidahwetan, maret 2009

1. Lencak kaju: dipan kayu/ tempat tidur yang terbuat dari kayu.

0 komentar:

Posting Komentar