Menipu Tuhan


Saudara Salamet, dalam satu hikayatnya pernah bercerita pada saya; seorang petani kecil yang hampir separuh hidupnya dihabiskan buat beribadah, suatu hari hendak menjemur beberapa potong pakaian yang ingin segera ia kenakan. Namun belum genap sejam turunlah hujan lebat yang kemudian meluluhlantakkan tiang jemuran beserta gelantungan talinya. Setelah dirasa cerah, petani itu dengan sabar memunguti lembar demi lembar pakaian yang tercecer. Mencucinya kembali dan menaruhnya pada tonggak-tonggak jemuran yang ia dirikan buat sementara waktu.
Tak berapa lama, ia hanya tersenyum simpul setelah beberapa butir hujan muncul kembali. Ia mengemasi jemurannya, takut, kalau-kalau hujan akan liar sebagai yang telah ditimpakan kepadanya. Tapi tiba-tiba cuaca cerah. Ia kembali menjemur. Tapi hujan turun. Ia ambil pakaiannya. Namun hujan kembali reda. Demikian, kejadian itu terjadi berulang-ulang. Ah, ia masih saja tersenyum sebagai kebiasaannya.
Sambil berucap sesuatu, ia berjalan menuju pelataran mushalla. Pergi ke tempat wudhu, bersuci. Merapikan pakaiannya, termasuk dengan sorban yang melilit di kepala dan tasbih siap di saku. Ia tersenyum, menghamparkan sajadah di 'pengimaman'. Mungkin ia pikir "tempat ini begitu nyaman". Kemudian ia tegakkan badannya, ia tetapkan pandangannya seraya mengangkat kedua tangan dan berucap....... dan rebahlah tubuh kering itu dengan perlahan menutupi sajadah. Ia rebah, ia terpejam, gerak nafasnya masih naik turun. Kemudian, entahlah...
Saya pikir ini anugerah.
Saudara Salamet melanjutkan; tapi beberapa jam kemudian petani itu terbangun, jelas bukan di alam barzah seperti persangkaan saya sebelumnya. Ia masih di dunia. Sambil tertawa terkekeh-kekeh, ia meninggalkan mushalla menuju halaman rumahnya. Menyaksikan jemuran yang seharian tak dihiraukannya itu. Ia terkekeh. Tawanya makin keras saja...
"Tadi Kau tipu aku," selorohnya sambil menyalakan sebatang rokok.
"Sekarang ku tipu Kau!!" ia tertawa... dengan tawanya yang makin keras dan lantang..

"Ah, ada saja bualanmu itu, Met," kata saya dalam hati.


Surabaya, 31 Agustus 2009

0 komentar:

Posting Komentar