Kenangan Dari Sebuah Bunga Mawar

Risih memang…! Ketika sebuah mawar liar harus tumbuh di samping pekarangan rumah. Tapi tak apa, toh aku masih bisa bernapas lega. Sebab bagiku tak terlalu merusak pemandangan. Kupikir, biarlah mawar itu tumbuh dengan indahnya. Nanti bila tiba saatnya ia telah berbunga kuputuskan untuk kupindah pada taman yang berada tepat di depan rumah.

Aku memang menyukai bunga, atau mungkin semacam tanaman-tanaman hias. Apapun! Namun satu hal yang sangat aku sukai dari sekuntum bunga. Yaitu bentuknya. Bagiku bunga akan dikatakan indah ketika ia merekah, dari sebuah kuncup yang kecil menjadi merona dan memesona tatkala mekar. Ah! Aku hanya menyukai bunga yang telah mekar, bukan kuncup. Dan semoga saja pikiranku ini tidaklah salah, sebab kebanyakan orang memang menyukai bunga-bunga yang mekar. Sama halnya ketika aku menyukai sekuntum bunga di pekarangan orang. Sekuntum bunga yang berharga mahal, yang tak boleh tersentuh oleh tangan-tangan jahil siapapun. Termasuk aku. Yang secara tak sengaja selalu melihatnya di setiap penghujung pagi. Dan entah sudah berapa kali pemilik rumah itu memperhatikan tingkahku. Yang jelas, setiap pagi aku selalu menyempatkan diri walau sekedar melihatnya. Dan aku sedikit menyesal, mengapa aku harus suka pada bunga milik orang?

Sebenarnya aku memiliki banyak koleksi bunga. Di taman yang kubuat tiga tahun lalu semenjak lulus SMA, bunga-bunga itu selalu tertata rapi. Biasanya tatkala bunga-bunga itu mulai bermekaran aku akan memilih beberapa bunga yang paling indah untuk kubelikan pot. Adakalanya kugantung di depan jendela kamar atau kutaruh di teras dekat pintu masuk rumah. Tak hanya aku, bahkan sebagian besar bunga-bunga itu adalah ibuku yang menanamnya. Ibuku pun sangat menyayanginya. Konon, bunga-bunga itu bibitnya ibu beli dari seorang famili yang ada di luar kota.

“Buatku?”

“Tentu saja.”

Satu hal lagi, aku suka sekali bertualang ke gunung-gunung, sungai-sungai, sawah-sawah atau bahkan ke rawa-rawa yang letaknya jauh di luar sana hanya untuk urusan yang satu ini. Hampir seminggu sekali kuagendakan untuk keluar kota bersama teman-teman yang hingga kini aktif di organisasi pecinta alam. Apalagi jika terdengar kabar tentang akan diadakannya pameran bunga atau tanaman-tanaman hias, maka sepadat apapun kegiatanku hari itu harus urung kukerjakan. Dalam hal ini, teman-teman sering menjuluki aku sebagai ‘pecinta bunga sejati’, sebagai orang yang menghabiskan seluruh waktunya untuk bunga, bunga, dan bunga.

“Bukan julukan yang jelek…” pikirku.

Tapi entah mengapa? menurutku bunga paling indah hanya milik seorang yang tinggal di pinggiran kota yang tak jauh dari kampus. Tempat aku lewat setiap pagi, tempat yang di setiap waktu aku selalu menyempatkan diri untuk sekedar menjenguknya. Tak jarang kudapati seorang tukang kebun tengah menyiramnya. Pernah suatu ketika tukang kebun itu kuhampiri. Kukatakan kalau aku menyukai bunga yang ada dekat kolam ikan itu.

“Waduuuh! Jangan, Den!” katanya pelan-pelan. “Bunga ini kesukaan Den Bagus, putra yang punya rumah.”

“Berapapun saya beli, Pak!” kataku meyakinkan.

“Bukan masalah itu, Den. Tapi memang saya selalu dapat pesan agar merawat dan menjaga bunga ini baik-baik. Pernah bunga ini ditawar mahal sama seorang pengusaha dari Jakarta. Tapi tetap saja tidak boleh.”

“Ooo, ya sudah, Pak! Terima kasih.” ucapku sambil menyalakan motor. Aku pun bergegas meninggalkan rumah mewah itu menuju tempat kuliah.

Sebenarnya satu yang paling membuat aku khawatir. Mungkin si pemilik rumah sudah mengira jika aku menyukai bunga di pekarangan miliknya. Dan mungkin karena seringnya aku nongkrong di tempat itu lama kelamaan timbul pula kekhawatiran dari yang punya rumah. Keesokan harinya sebuah papan kecil terpampang dengan tulisan huruf balok tebal yang dari jarak sepuluh meter pun aku sudah mampu membaca isinya,“not for sale” (tidak untuk dijual). Ah, terlalu beresiko memang untuk menyukai bunga di pekarangan orang. Sebab jika sewaktu-waktu bunga itu raib sebab dicuri orang, maka akulah orang pertama yang akan disangkanya. Semacam tersangka pencurian bunga, meski aku sebenarnya bukanlah seorang pencuri….

Ah, Mungkin cukup sekian saja cerita tentang bunga di pekarangan orang itu. Sebab mawar liar di samping pekarangan rumahku mulai memiliki kuncup. Setidaknya sedikit ke sedikit aku mulai memperhatikannya. Aneh, padahal aku tak seberapa suka bunga mawar. Entahlah, secara tak sengaja aku mulai menyukainya. Seringkali bunga itu kurapikan, kubersihkan dari debu-debu kotor yang menempel di beberapa helai daunnya. Kupikir, sesuatu telah merasukiku. Ada perasaan teduh dan damai ketika aku memperhatikan mawar liar itu. Mawar liar yang dahulu selalu menjadi tumpahan sumpah serapahku. Bahkan kadang terlintas pikiran hendak mencabutnya lalu kubuang saja ke sungai.

Beberapa kawan sempat memberitahuku bahwa kelak bunga itu akan menjadi bunga yang indah. Kata mereka dari bentuk kuncupnya saja sudah kelihatan sehingga mereka menyuruh aku agar lebih memerhatikannya. Ada-ada saja! Kukatakan pada mereka. Bukankah ini hanya bunga liar? Aku sendiri tak tahu siapa yang seenaknya meletakkan bibit bunga itu sebelumnya. Atau mungkin seseorang sengaja menanamkannya untukku? Sudahlah. Tak perlu kupikirkan. Yang jelas seindah apapun bunga itu tetap saja bunga liar bahkan bikin risih sebab letaknya yang sedikit menjorok ke jalan.

Tapi siapa yang merawat bunga liar ini? Dan yang menyiramnya? Bukankah aku orangnya… yang jelas aku memang orang paling munafik untuk berbicara tentang cinta.

***

Pagi itu tak banyak orang turun ke jalan. Hanya satu dua orang yang terlihat sedang asyik jogging atau mengayuh sepeda. Hujan yang turun malam tadi sedikit mengurangi minat beberapa warga yang biasanya gemar berolah raga. Genangan air masih terlihat di sebagian ruas jalan apalagi udara masih dingin merasuki badan. Aku masih duduk bersantai. Seorang kawan, Hafid, menghampiriku. Masih seperti biasa, ia datang mengenakan sarung bermotif kotak-kotak dengan setelan baju koko. Sebenarnya tak hanya kawan, bahkan ia telah kuanggap sebagai saudara terbaikku sejak lama. Satu hal yang tak pernah kulupa tentang kami berdua, jika aku adalah tipe orang yang paling suka meminta tolong, ia merupakan tipe orang yang paling tidak bisa untuk berkata ‘tidak’. Intinya, aku banyak berhutang padanya…

Setelah memberi salam kusilahkan ia duduk berdampingan denganku. Awalnya kami membicarakan cuaca pagi itu. Tetapi entah sengaja atau tidak pembicaraan mulai menjalar hingga sampailah akhirnya pada topik ‘bunga’. Rupanya ia sudah menyiapkan topik itu jauh-jauh sebelum perjalanan kemari.

“Mawar itu indah juga.”

“Ah tidak juga, aku pun tak terlalu menyukainya.” Potongku singkat.

“Kupikir kau bukanlah tipe orang yang menyukai bunga semacam itu. Apalagi hanya bunga liar yang masih terlihat kuncupnya.”

“Kalau kau mau ambillah?” Entah mengapa tiba-tiba aku mengatakan itu. Ah, biarlah sudah terlanjur.

“Benarkah?” Ia melongo seakan tak percaya. “Dari dulu aku memang sudah menyukainya. Bukankah bunga itu dikatakan indah bila mampu membuat setiap yang melihatnya merasa teduh? Dan terus terang, Fid. Bunga ini benar-benar indah.”

“Mengapa tak kau katakan dari dulu?” Tanyaku. “Bukankah jika kau cerikan, bunga ini bisa kuserahkan padamu sejak kemarin-kemarin.”

“Entahlah, kupikir tanah di sini terlihat lebih subur dibandingkan tempatku.”

“Kalau begitu ambillah, tak apa.”

Kulihat ia bergegas menuju kran di samping kamar mandi, mengambil setengar ember air dan menyiramkannya pada mawar itu. Membersihkannya dari kotoran debu sisa hujan tadi malam.

“Akan aku belikan pot yang paling mahal.” Katanya sambil menyiramkan air itu perlahan.

Aku sempat berfikir sejenak. Kulihat bunga itu. Memang indah. Pantaslah jika beberapa kawan menyukainya, mengingininya untuk dipindah ke tempat mereka tinggal. Dan tak satupun yang kuijinkan dari mereka. Kupikir, tepat sekali. Sebab ternyata seseorang yang selama ini paling peduli dengan bunga, paling menyukai bunga, dan banyak tahu sesuatu tentang bunga, bukanlah aku. Melainkan dia, kawanku sendiri. Ialah pencinta bunga sejati. Dan dialah yang pantas memiliki bunga ini.

“Hari ini pun kau bisa mengambilnya. Asal hati-hati saja menjaganya. Dan jangan lupa kau merawatnya di sana,” kataku sekenanya. Sebab aku pun paling tak bisa untuk berkata ‘tidak’ padanya. Toh, aku masih banyak koleksi bunga, apa salahnya jika bunga liar yang selalu membuatku risih selama ini kuberikan saja padanya. Bagiku membuat ia senang adalah suatu kebaikan tersendiri. Setidaknya sebagai balas jasa terhadap apa yang telah ia lakukan buatku.

***

Tapi ternyata aku salah. Kejadian pagi itu telah berakibat fatal. Setelah sekian lama aku menyukai bunga di pekarangan orang. Kini aku hanya mampu menyukai bunga di pekarangan saudaraku sendiri. Saudaraku yang telah mengarungi hidup dengan pedih dan senang bersamaku.

Mungkin ia tak pernah tahu jika seringnya diriku bertandang ke rumahnya bukan sekedar datang ataupun melihat bunga peliharaannya itu. Aku datang dengan kerinduan, dengan sesal yang mendalam yang tak mampu dirasakan oleh siapapun. Dan ternyata kini aku menyukainya. Semakin sering aku berkunjung ke rumah kawanku itu, maka semakin indahlah bunga itu di kedua kelopak mataku.

Andai saja dahulu kudengarkan saran beberapa kawan untuk memeliharanya dengan baik, memindahnya ke taman tepat di depan rumahku. Mungkin aku tak akan merasa kehilangan seperti ini. Sekarang hanya ada sesal yang bertarung dengan sedikit kebahagiaan dan kepuasan. Sesal karena ternyata aku mencintai bunga itu, dan bahagia karena bunga itu menjadi milik seorang yang tepat buat menjaganya.

Ah, setidaknya aku masih beruntung bisa setiap hari melihatnya.

Sementara itu, bunga-bunga yang lain masih menunggu...

Surabaya, 29 Juli 2008

(03.00 WIB)

Ma’ud Khan




0 komentar:

Posting Komentar