Semua Karena Kakek

Terkadang cinta memang aneh… Tapi cinta memang tak mampu dirasakan, sebab ia terlalu lembut. Orang sepertiku memang tak pantas memiliki cinta, mengalami, ataupun melihatnya. Sampai sekarang aku masih bertanya-tanya adakah sebenarnya cinta sejati? Apakah cinta hanya sekedar dongeng belaka yang merupakan hasil dari kegilaan sesama makhluk yang tiada tertahankan? Ah! Apalah cinta itu jika tiada pengharapan untuk menemukan dan mendapatkannya.

Kapan aku mengenal cinta? Sejak kecilkah? Di bangku sekolahkah? atau saat aku menuliskan cerita ini? Ah, jika begitu mungkinkah cinta itu tumbuh seiring dewasanya alam pikir kita?

Begitulah kita selalu bercerita. Tentang bagaimana rasanya hidup berdampingan dengan orang yang kita sayangi. Sebagai impian hidup kita. Cita-cita kita. Kita merayu, menggoda, memeluk, mencumbu bahkan jika perlu berbohong demi 'cinta'. Mencari kepuasan hidup untuk sekedar berpamer dengan yang kita miliki. Manusia tumbuh dengan jalan dan likunya, seperti padi yang tumbuh di musim kemarau. Ia akan terus berharap akan hujan, walau mustahil.

Dulu aku berpikir cinta itu adalah perasaan yang lebih terhadap seseorang, diatas yang lain. Sewaktu sekolah, seringkali aku menulis di halaman depan buku dengan kata-kata "I love You" atau "aku cinta kamu". Membuat puisi dan beberapa pantun pendek. Melakukan banyak tindakan bodoh. Melirik beberapa anak perempuan di samping meja belajar kelas. Kemudian melempar selembar kertas yang berisi tulisan konyol sebagai ungkapan perasaan. Tak pernah ada tujuan di sana. Apalagi komitmen. Hanyalah setitik pengaruh lukisan lipstik, tatanan rambut, atau sesuatu yang lebih hormonal tentunya.

Masih teringat betul, betapa seringkali aku melihat tubuh-tubuh perempuan itu menghanyutkanku. Entah sudah berapa kali kulontarkan kata-kata manis merayu dan memanggil mereka dengan beragam keahlian yang kuketahui dari beberapa kawan. Kadang jiwa tak bisa dibohongi, meski tak sepenuhnya suka, namun tatapan awal terkadang lebih membekas. Tetapi, bukankah sesuatu yang berjalan tetaplah memiliki permulaan dan akhir? Sedangkan permulaan tetap saja berawal dari pandangan. Ah, hingga sekarang aku juga tak pernah percaya dengan ’cinta pandangan pertama’.

***

Aku terperanjat! Sepuluh menit lagi aku harus tiba di kampus. Ada beberapa pekerjaan yang perlu kuselesaikan. Sementara itu, baru saja ada kabar tentang kakek yang sakitnya makin parah di kampung. Secepat kilat aku menyambar tas dan motorku, mampir sebentar ke photo copy dan menitipkan proposal kegiatan pada kawan sekelas untuk diserahkan besok. Sore ini aku harus ke kampung menjenguk kakek. Mungkin. Setelah kuliah nanti.

Tak hanya itu. Aku harus menjemput Laela secepat mungkin sebelum dia berangkat sendiri ke kampus. Seperti yang biasa dia lakukan tiap kali aku terlambat menghampirinya. Setelah lima menit perjalanan, kulihat dia masih berdiri tegak, sejajar dengan tiang telepon di sampingnya. Tapi ia tak marah. Dan memang sikap tak pernah marahnya itulah yang selalu membuatku tak berdaya.

"Mengapa lama sekali, Rus?" Ia bertanya penasaran saat aku tiba.

"Barusan aku ketiduran sehabis subuh." jawabku meyakinkan.

"Makanya, tidur jangan malem-malem!" Ia mulai mengingatkan "Nih, lihat! dah mau masuk kan?" Ia menujuk jam tangannya lalu menatapku dengan matanya yang terang laksana bintang di pagi hari itu. Aku hanya tersenyum. Dan kami pun berangkat ke kampus dengan sejuta kebahagiaan seperti biasa.

Ah, tatapan itulah yang setahun lalu membuatku bertekuk lutut. Tatapan matanya penuh makna dan perasaan. Tidak ada sedikitpun cacat dalam dirinya. Raut mukanya selalu cerah. Apalagi kecantikannya itu terkumpul dalam bingkai kerudung putih yang tak pernah ia tanggalkan. Tak pernah pula ia berbesar hati di hadapan orang. Bicaranya sedikit, tak seperti kebanyakan perempuan seusianya. Agaknya perangai itulah yang lebih membuatku tertarik di samping fisiknya yang nyaris sempurna.

Setahun lalu aku mengenalnya di kedai kopi. Kedai itu kecil, jauh dari keramaian. Tempat pemuda biasa berkumpul untuk membicarakan masing-masing pribadinya, urusan perempuan. Kukenal ia saat pertama kali datang ke kedai bersama kakaknya yang sebelumnya kukenal baik. Kedatangan mereka berdua itu membuat pembicaraan beralih. Masalah organisasi. Oooh... Sungguh Membosankan. Kakaknya, Andre, memang penggila dan pecandu organisasi. Selama pembicaraan yang tak menarik itu, aku hanya mampu melepaskan pandangan liarku ke arah Laela. Matanya menangkapku. Ia hanya tersenyum kecil, tak seperti diriku yang banyak cakap. Dan dari situlah besoknya aku berani mengajak makan siang di warung dekat kedai kopi langgananku itu.

***

Setahun bukanlah waktu yang lama, tapi setahun bukan pula waktu yang sebentar untuk mengukur kekuatan 'cinta'. Aku menemukannya sebagai orang yang paham tentang itu. Tak jarang kami mendebatkannya. Baginya cinta dibangun atas dasar rasa percaya. Cinta diracik dengan bumbu kesetiaan, mengerti satu sama lain dan tentu menerima apa adanya. Ah, dasar perempuan! Apapun serba diperhitungkan dan didramatisir. Dasar makhluk sensitif! Tetapi di balik itu aku mengagumi gaya bicaranya. Perlahan, santai dan mampu membikin siapapun yang mendengarnya terhipnotis. Semua perkataanya masuk akal dan aku pun menerimanya. Setidaknya membuat arahku sedikit berubah dalam memahami arti cinta itu sendiri. Untuk memiliki komitmen bersama. Ya, komitmen! Itulah yang aku simpulkan sementara ini.

Di warung dekat kedai kopi langgananku itu. Masih di hari yang melelahkan ini, ia melanjutkan ceramahnya di sela-sela makan siang. Siang itu masih cerah. Secerah wajahnya yang tak terusik walau terkena panasnya hari. Ia menggerak-gerakkan bibir merahnya yang tanpa pewarna sambil memandangku. Ia memang pandai mengarahkan pembicaraan. Walau tak terlalu dipaksa, tetapi telingaku selalu hanyut dalam hidangan yang keluar mulutnya yang indah itu. Tapi saat itu yang menjadi lakon utama adalah aku. Ya, aku.

Aku mulai sampaikan hal-hal penting siang itu. Berbagai hal, kecuali sakit kakek yang sudah begitu parah. Terakhir kukatakan padanya bahwa seorang pecinta harus memiliki keteguhan jiwa agar kedua pihak tak mudah berputus asa menjalani hidup. Tegar menghadapi cobaan-cobaan cinta. Dan entah apalagi. Aku sendiri makin tak mengerti dengan yang kuucapkan. Aku masih melanjutkan. Seorang pecinta sejati harus memiliki kerelaan hati, bahkan untuk berpisah sekalipun. Mengorbankan cintanya. Demi cinta.

"Berpisah? Mengorbankan cinta?" ia bertanya heran.

"Ya, kenapa? Kau masih belum paham?" aku balik bertanya. Namun sama sekali tak merubah raut mukanya saat itu.

"Tidak-tidak, bukan begitu," ia mencoba menenangkan diri, "aku hanya aneh saja.. jika....jika... harus merelakan cinta?. Itu paradoks, mengorbankan cinta demi cinta. Bahkan baru sekarang aku mendengarnya seumur hidupku"

"Tapi bukankah cinta itu pemberian Tuhan? Bukankah kita hanya menerimanya? Bagaimana jika Tuhan mengambilnya kembali? sedang kita berdua belum siap." Ia masih terlihat tenang layaknya batu karang yang tak goyah dihempas gelombang. "Aku hanya tak ingin kita berdua belum siap menerimanya, Lel! Betapa banyaknya manusia-manusia bercinta dan tenggelam dalam cintanya. Tanpa menyadari kuasa Yang Memiliki Cinta. Toh hidup dan cinta bukan kita yang memintanya,” aku mulai serius. Aku coba meyakinkannya. Biasanya ia tak terlalu menanggapi, tapi kali ini tidak.

"Laela.., kau tak tahu maksudku. Begitu cintanya aku. Hingga tak sanggup meninggalkanmu walau sekejap. Tak kan ada yang mampu memisahkan kita, Lel! Kecuali maut. Kalaupun kau mau, ke ujung dunia pun kau akan kudatangi. Tak peduli sekalipun Tuhan yang melakukannya." Kupegang kedua tangannya. Kugenggam erat jari-jemarinya yang lembut bagai jalinan sutera itu. "Tetapi! hidup tidak hanya berjuang menghadapi maut. Bisa saja kematian itu kita dapati semasa hidup bahkan sebelum kita merasakan kehadirannya."

”Salah sendiri, kita hidup diberikan cinta. Mengapa harus diambil kembali?” aku mulai tak sabar.

"Ah, itulah akibatnya jika terlalu banyak membaca buku-buku filsafat, Rus. Kau selalu berbicara tentang hakikat, tentang tujuan atau apalah yang selama ini membuatmu makin aneh." Kulihat ia mulai jengkel dengan kata-kataku. "Kita jalani saja hidup ini seperti kebanyakan orang menjalaninya."

”Ah, kau masih saja tak paham ucapanku.”

"Kau cinta padaku, Rus?"

"Maksudmu?" Aku semakin heran.

"Kau tak akan melupakanku, bukan?

”Jelas.”

Aku terdiam sejenak.

"Ku akan selalu mencintaimu, Laela!"

Ia menatapku dengan penuh haru. Kulihat raut wajahnya sedikit berubah seiring bergesernya jam demi jam. Karang itu mulai terkikis sebab ombak yang tak henti-hentinya menghantam. Kutatap kembali matanya yang berbinar-binar itu. Mata itu seakan-akan berkata "terima kasih, Rus! Terima kasih."

Aku tak menyangka betapa soal cinta ini teramat mengganggu. Aku mengerti jika ia tak lagi meragukan cintaku. Tak seperti dulu saat aku pertama kali mengenalnya di kedai kopi Tapi ia tak pernah tahu bahwa ada sesuatu yang kusembunyikan hingga sekarang. Meski begitu, aku bukanlah pecinta layaknya anak-anak SMP yang tak punya pegangan, harapan dan cita-cita.

”Aku sudah menyiapkan semuanya untuk kita. Ya, termasuk untuk tak bertemu denganmu lagi. Bukankah kita sama-sama demikian?”

Aku hanya mampu bermenung. Ia masih diam. Lama aku menatapnya dengan penasaran yang masih melanda yakinku.

”Ah, betapa aku cinta padamu, Atau mungkin kali ini aku sengaja menjadikanmu sekadar percobaan teori-teori cinta yang baru kudapat tadi itu?” kataku dalam hati.

***

Dua tahun, tiga bulan, lebih lima hari. Aku sedikit tak mampu memahami semua ini. Surat-surat di lantai, email di komputer, sms yang belum terbalas. Semua hampir tak ada artinya buatku. Kata-kata sayang, miss you, love you yang setiap hari terbaca membuatku semakin bimbang. Membuatku benci, benci dengan diriku sendiri.

Dua tahun lebih aku ditinggalnya dalam janji setia yang ia titipkan bersama setangkai mawar buatan tangan. Kuyakin kalimat-kalimat itu ditulisnya dengan kepingan kepercayaan. Dengan bumbu-bumbu cintanya yang dulu pernah diceritakannya padaku. Ah, Ternyata benar apa kata orang. Ketika jarak sudah tak berpihak lagi dengan kita. Ketika rindu hanya dihargai dengan selembar foto dalam bingkai cantik, tulisan, serta kata-kata manis yang melewati kawat telepon tiap pagi. Semua tak ada arti jika belum melihat wajah aslinya yang ayu.

Aku hanya bisa menyesali diriku yang separuhnya telah mengikuti dirinya terbang jauh. Jauh sekali. Ia terbang ke Belanda mencari separuh tubuhnya yang hilang. Separuh tubuhnya yang ada pada Laela. Ia terlalu lama meradang sebab tak mampu menahan keinginannya itu.

Sekarang lengkaplah diriku yang tinggal separuh ini. Yang hanya dipuaskan oleh kata-kata manis. Memandangi bingkai cantik di atas meja. Membaca lembaran-lembaran kertas yang sudah usang. Mengingat-ingat kenangan bersamanya hingga kerutan di dahiku semakin menumpuk. Ya, aku mengingatnya dengan terpaksa. Demi mendiagnosa penyakit rinduku yang sesekali kambuh.

Pernah ia meneleponku tepat tengah malam. Menceritakan indahnya taman kota, memperkenalkan beberapa kawan perempuannya, dari Jepang, India, Mesir. Lantas menyuruhku berbicara dengan ketiganya. Sambil tertawa, bergurau dan bercanda. Nampaknya ia bahagia sekali di sana.

Ternyata kau betul, Laela. Aku terlalu gegabah memaknai cinta kita. Aku terlalu cepat mengambil keputusan tentang keberangkatanmu ke Eropa. Tapi aku punya alasan untuk itu. Kini aku kesepian. Sementara di sana kau banyak bercerita tentangku. Menulis namaku dalam kamus dan di setiap lembaran-lembaran buku harianmu. Kau masih mencintaiku, Laela? Sayang sekali... Kau benar, aku belum siap. Aku memang terlalu banyak bicara cinta. Sedang cintamu benar-benar mulia. Ia teguh. Kau memang menguasai semua topik yang sering kau bicarakan. Kau sempurna. Sedang aku tidak.

Meski berkali-kali kukatakan akan tegar menjalani semuanya. Namun, sekarang aku telah menjalani kematian sebelum aku melihatnya. Persis seperti kataku. Aku tak bisa untuk selalu mengangkat teleponmu, membalas puluhan sms, membuka tumpukan email di komputer atau sekedar membereskan surat-suratmu yang selalu datang tiap minggu.

Aku tak ada beda, layaknya anak-anak sekolahan yang selalu berpikir konyol atas nama perasaan, mengumbar kata cinta, cinta dan cinta setiap pagi dan sore. Tak punya tujuan, apalagi komitmen. Hanyalah pengaruh lukisan lipstik, tatanan rambut dan sesuatu yang lebih hormonal tentunya. Ah, Aku sudah lupa dengan janji kita. Yang kuingat hanya janji bersama perempuan-perempuan yang seringkali menungguiku di terminal, restoran, kampus, tempat hiburan atau bar. Berjalan melewati lorong ke lorong, gang demi gang, mencumbu, memeluk, menggoda, dan merayu. Berpamer kemesraan di depan kawan kost. Bukan untuk memikirkan masa depan kita, cinta sejati, abadi, atau sekedar keteguhan jiwa. Sedang memegang dirimu pun aku tak bisa.

***

Ketukan di pintu rumah membuatku bangkit. Kudapati Pak Badrun, tukang pos yang biasanya mampir di depan pintu tiap minggu itu, berdiri sambil melempar senyumnya. Ia memberikan surat kepadaku. Masih seperti biasa. Ia berlalu dengan sepeda anginnya. Sedang aku masuk kamar tanpa perasaan apapun.

Tiba-tiba bunyi sms mengagetkanku. Dari Andre. Kubaca perlahan.

"Kuharap kau datang ke rumah secepatnya, sore ini Laela akan tiba di Jakarta. Kita sambut kedatangannya. Andre"

"Ya Allah, Laela, kau datang hanya untuk menemuiku?”

Kubuka surat terakhir yang kuterima hari ini. Ya, ia sakit. Sudah parah. Kubuka lagi surat-suratnya yang kusimpan dalam loker. Kubaca semuanya dengan seksama. Ya, ia sudah dua bulan bergelut dengan rindunya, ia benar-benar ingin kembali. Kubuka email, foto-foto kirimannya. Ah, semuanya sudah terlambat. Besok ia akan datang.

"Agaknya inilah yang ku takutkan, Laela,” tak terasa airmataku menetes.

”Aku tak berani melepasmu, tapi aku tak berani berkata jika aku tak mampu.”

Aku sekarang sudah gila. Bahkan lebih dari itu. Kubaca ceritanya satu persatu, cerita harian tentang kuliahnya di Leiden. Cerita tentang indahnya negeri kincir angin. Foto-fotonya di antara rangkaian bunga tulip. Dan tak lupa ceramahnya tentang cinta yang dulu sering membuatku bosan. Aku mempelajarinya seharian. Sorenya, malamnya. Aku masih belajar dari tulisan anehnya itu.

"Rus, Laela sudah sampai di bandara. Kuharap kau cepat datang."

Sekali lagi Andre mengirim sms padaku. Aku masih membaca.

Dan sungguh, kalau saja bukan kakek yang memintanya, semua tak kan seperti ini Laela... Sementara itu, istriku masih menungguiku di pintu kamar dengan perasaan cemburu.

Surabaya, 17 Nopember 2008

Pukul 01.00 WIB

Maud Khan


0 komentar:

Posting Komentar