Mengulang Hidup

Salah satu kebiasaan buruk saya yang hingga sekarang sulit dihilangkan adalah melamun. Bila ada waktu kosong di sela-sela pekerjaan, maka tanpa sengaja pikiran saya akan melayang jauh meninggalkan diri saya saat itu juga. Sering pula saya melamunkan suatu hal untuk beberapa waktu yang cukup lama tanpa banyak menghiraukan apapun di sekeliling.

Suatu ketika saya mendatangi kawan lama yang kebetulan juga seorang psikiater. Saya sampaikan keluhan-keluhan yang saya alami. Termasuk akibatnya terhadap pekerjaan saya. Saya sampaikan bahwa kebiasaan ini sangat mengganggu dan membebani. Berat sekali rasanya. Apalagi di kantor, beberapa rekan sering melihat saya sebagai seorang yang aneh dan tentu mengundang rasa iba terhadap mereka. Lantaran keadaaan saya yang belum berkeluarga hingga sekarang, kebanyakan mereka berpikir bahwa saya dipusingkan oleh perkara perempuan. Tapi saya masihlah sangat muda, saya belum hendak kawin, bahkan meminang seseorang untuk menjadi calon istri sekalipun. Saya belum siap.

Saya ceritakan semua masalah saya, kecuali tentang percintaan lama yang putus tanpa alasan empat tahun lalu. Sebab buat saya tak perlu diceritakan, saya sudah lama melupakannya. Saya mulai bertanya kepada kawan saya itu bagaimana menghilangkan sifat melamun dan membuangnya jauh-jauh. Walau tidak seluruhnya minimal dapat dikurangi. Ia masih manggut-manggut mendengar dan pertanyaan saya. Ia belum menjawab. Kemudian ia mengeluarkan secarik kertas dari sakunya, menuliskan beberapa yang saya pikir sebagai resep.

Ia kembali memandang saya. Sebagai teman lama ia tahu betul watak dan perangai saya. Termasuk kebiasaaan saya itu. Ia lantas mengatakan bahwa hobi melamun itu tidaklah buruk. Saya katakan bahwa saya sudah keterlaluan. Namun ia tetap saja berkelit melindungi profesinya, dikatakannya saya telah menghakimi diri sendiri. Padahal saya belum pernah mengukur kadar lamunan masing-masing orang. Menurutnya tak pantas jika saya merasa sebagai orang paling sering atau setidaknya lebih sering melamun daripada orang lain. Baginya penyakit saya hanya satu, yaitu kurang bisa melamunkan sesuatu sebagai hal-hal yang positif. Itulah yang biasanya membuat saya lupa keadaan.

“Bukankah pekerjaan presiden hanyalah melamun?” katanya pula sambil tersenyum.

Saya hanya diam. Memang tak bisa saya bedakan antara melamun, termenung, berpikir, konsentrasi atau semacamnya termasuk menghitung, membaca dan menulis yang bagi saya semuanya adalah proses kerja otak. Dan saya baru merasa bahwa otak saya sudah terlalu banyak salah di setiap kerjanya. Mungkin benar kata dia, bahwa saya hanya kurang memanfaatkan lamunan saya itu.

Ia kembali bertanya tentang apa yang akan saya lakukan seandainya tuhan memberi kesempatan kepada saya untuk mengulang hidup dari titik manapun, termasuk dari patokan waktu kapanpun yang saya mau.

“Tentu saja memperbaiki hidup,” jawab saya sambil tertawa kecil. Termasuk memperbaiki kisah cinta saya dengan Jeny, pikir saya. Ah, pikiran itu masih saja menghantui saya.

“Coba kau katakan, pada titik mana akan kau ulang hidupmu itu?”

”Lima tahun lalu.” jawab saya cepat sambil tersenyum kecil mendengarkan leluconnya. ”Sudahlah tak usah mengada-ada!”

”Aku tidak mengada-ada!”

”Tapi itu tidak mungkin, John?”

“Bisa saja,” katanya meyakinkan.

”Caranya?” saya semakin heran.

”Anggap saja saat ini kau sedang berada di titik yang kau inginkan itu. Beres, kan?”

”Maksudmu?” saya sedikit tidak paham jalan pikirannya, namun saya tetap mengejar pembicaraan. Ia memandang wajah saya.

”Coba kau bayangkan, lima tahun lagi kau akan jadi apa? Semakin baik atau burukkah? Tentu kita tak tahu. Jadi, anggaplah sekarang adalah masa mengulang hidupmu dari kehidupan yang telah salah nanti, kau tak kan mengulangi kesalahan yang telah kau kerjakan satu sampai lima tahun ke depan, bukan?”

”Jadi aku harus berpikir lima tahun ke depan dan kembali ke ’lima tahun lalu’ tepat ke sekarang?”

”Tepat sekali!”

”Seakan-akan aku pernah hidup di masa lima tahun lagi?”

”Ya!”

”Lalu bagaimana caranya?”

”Kau bayangkan saja.” jawabnya santai. Kemudian saya pergi.

Aku baru mengerti. Membayangkan sesuatu yang belum terjadi? Benar, tapi aneh pula ucapannya. Ah, setidaknya hal itu akan mendorong saya menghindari hal-hal buruk yang akan terjadi. Saya perhatikan jam tangan. Kemudian saya percepat laju mobil sambil mendengarkan lagu favorit dari radio.

Sepanjang jalan saya masih memikirkan apa yang dikatakan John itu. Seperti teka-teki. Dan tentu saya hargai ide dan pikiran cemerlangnya. Apalagi sudah banyak orang yang disembuhkannya dan pulang dengan muka tersenyum. Kembali ke masa lalu dari masa depan? Cukup masuk akal. Bahkan terlalu mudah untuk saya lamunkan malam nanti.

***

Biasanya jika malam mulai larut, tanpa harus menyuruh atau memanggil, pembantu saya akan datang membawakan segelas susu hangat ke kamar. Merapikan baju dan bawaan saya kemudian menaruhnya di samping almari pakaian. Termasuk setiap kali pulang kerja lembur. Bila sesekali saya terjaga dan menginginkan sesuatu tengah malam itu, saya tak sungkan membangunkan ia buat mencari atau mendapatkannya. Walau demikian ia tak pernah keberatan melakukan pekerjaan itu. Kadang saya berpikir, betapa mudanya ia, cantik dan perhatian. Bahkan jika dipikir sekali lagi, tentu ia lebih pantas menjadi istri saya daripada pembantu. Tak jarang setiap kali pergi ke mall atau keluar menemui beberapa kawan lama, saya ajak ia sekadar buat menutupi kesendirian saya. Jika tak mau, saya paksa.

Tapi malam ini saya tak ingin membangunkannya. Saya rebahkan tubuh di ranjang sebentar setelah tiba di kamar dan membikin secangkir kopi hangat. Malam ini saya tak akan tidur. Besok tak ada agenda penting yang harus dikerjakan. Saya coba mengarang-ngarang cerita kecil di dalam kepala. Tentang masa lalu, tentang Jeny, tentang pembantu saya yang cantik, tentang siapa calon istri saya nanti atau tentang karir dan pekerjaan saya. Membayangkan sedikit masa kecil. Dan tak lama setelah itu pikiran saya mulai terbang meninggalkan tubuh saya yang masih rebah di kamar. Kemudian entah, saya sudah terhanyut dengan bermacam lamunan dan mimpi malam itu juga.

***

Kira-kira setahun setelah pertemuan saya dengan kawan psikiater itu, sedikit ke sedikit hidup saya mulai berubah. Saya sudah jarang melamun. Di kantor, saya selalu cepat mengambil keputusan, saya tak pernah lagi membuang-buang waktu. Hanya saja entahlah, urusan mencari pasangan masih belum melintas di benak saya. Jangankan mencari, buat membicarakannya saya tak ada sedikit waktu. Pernah saya dekat dengan seorang perempuan, rekan bisnis dari luar kota. Namun tak lebih dari menungguinya di klab semalaman atau menemani menghabiskan beberapa botol minuman. Itupun karena permintaannya yang lebih suka bicara bisnis di ’tongkrongan-tongkrongan’ malam daripada mengobrol di kantor yang serba formal. Selebihnya tidak ada. Saya hanya sibuk dengan pekerjaan, meeting, ke luar kota, atau bertemu kolega di lapangan golf.

Dalam satu bulan ini misalnya, akan ada agenda penting di luar negeri yang tak boleh saya lewatkan. Mau tidak mau rumah harus saya kosongkan untuk beberapa waktu. Saya mulai memanggil tiga orang sewaan untuk menjaga rumah. Sebab saya takut jika rumah saya akan menjadi sasaran pencuri. Seminggu lalu, salah seorang tetangga sebelah mengaku kehilangan uang dan perhiasannya senilai satu milyar lebih. Saya tak peduli. Sebab sudah saya ingatkan kalau akhir-akhir ini banyak maling berkeliaran. Akhirnya persis seperti dugaan. Rumahnya kebobolan saat sekeluarga pergi liburan. Sekarang rumahnya sepi, istrinya sakit-sakitan. Anak-anaknya yang jika sore selalu bermain di depan rumah saya tak pernah lagi tampak. Agaknya mereka sekeluarga menahan diri. Karena kasihan, akhirnya saya bantu membiayai pengobatan istrinya selama beberapa hari. Sementara itu jalanan sepi. Rumah-rumah pun sepi. Kabarnya, satu atau dua bulan lagi mereka akan pindah ke tempat lain.

Ratna, pembantu yang dulu belum genap setahun bekerja di rumah ini sudah lama saya pecat. Ia terlalu bersikap baik dalam banyak hal, saya kira ia hanya berniat mengambil hati saya saja. Dan yang paling membikin saya jengkel, ia suka menangis jika saya tegur. Pernah ia kedapatan sedang memegang perhiasan peninggalan mendiang ibu saya dengan alasan membersihkan lacinya yang sudah berdebu. Padahal perhiasan itu hanya akan saya perlihatkan kepada calon istri saya nanti sesuai wasiat. Begitu saya tegur, ia menangis. Dasar perempuan. Saya begitu khawatir dengan keberadaannya di sini. Apalagi ia selalu membuat saya tergoda dan seakan menghalangi saya secara tidak langsung untuk mencintai seseorang. Saat saya pecat, ia menangis meraung-raung. Padahal saya tak memukulinya. Tapi apalah peduli saya jika ia sudah tak cocok lagi bekerja di sini, ia hanya akan menjadi benalu di kebebasan saya. Menikahinya? Mana mungkin. Sekali lagi saya belum hendak kawin. Setidaknya itu alasan saya.

Setelah tiba saatnya berangkat, saya putuskan menelpon Om Iwan yang kebetulan tinggal di kota tempat saya singgah sementara. Saya kabarkan saya akan mampir dan akan sampai sekitar jam tiga sore. Ia dan putrinya akan menjemput di bandara. Saya begitu mengenal putrinya, perempuan bergelar Master of Arts setelah empat tahun tinggal dan belajar di Amerika. Terakhir kali kami berkumpul hanya saat masih SMP, sedang SMA hingga Sarjana ia jalani di negeri Jiran. Sekarang ia sudah kembali ke Malaysia dan bekerja di kantor Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur. Meski begitu setahun sekali ia masih sempatkan diri berkunjung kemari, bertemu kakek atau famili di kampung. Berbeda dengan saya yang dengan terpaksa kembali mengurus perusahaan. Ah, tentu ia sudah tidak manja lagi seperti dulu. Sebagai saudara sepupu saya begitu mengharapkan ia bahagia dengan jodohnya nanti.

Di perjalanan saya bertemu dengan perempuan yang kira-kira dua tahun lebih muda daripada saya. Di pesawat. Ia duduk sejajar dengan saya. Mengenakan jas abu-abu dengan kemeja putih bermotif bunga-bunga di sepanjang jahitan kancingnya, sedang rambutnya dicat sedikit pirang. Saya bingung, seakan ada firasat yang mengatakan saya pernah mengalami kejadian ini. Entahlah, mungkin dalam mimpi. Masih seperti lima tahun lalu dalam bayangan saya. Wajahnya yang merona terlihat anggun tatkala ia melepaskan ikat rambutnya. Saat saya pandang, ia tersenyum. Saya berpikir, masihkah ia mengenal saya? Saya coba mengingat-ingat apa yang terjadi saat silam itu. Ya, kejadiannya hampir sama. Mirip. Mirip sekali. Setelah beberapa menit terbuang akhirnya saya memberanikan diri untuk mengawali pembicaraan.

”Ke Kuala Lumpur?” tanya saya membuka percakapan.

”Ke Bangkok” jawabnya ramah ”Anda?”

”Kebetulan, saya juga hendak ke Bangkok, tapi masih mampir di Kuala Lumpur untuk dua sampai tiga hari,” saya mengulurkan tangan. ”Nama saya Ricky.”

”Jessica.” ucapnya penuh senyum ”panggil saja Jessy.”

Jessica? Saya ingat betul nama itu. Saya coba mengumpulkan ingatan yang kadangkala timbul tenggelam. Benarkah ia Jessy tunangan saya dulu? Ya, dialah yang seharusnya menjadi calon istri saya. Kalau bukan lantaran Ratna yang melarang dan mengarang-ngarang cerita tentang keburukan ia bersama laki-laki lain, tentu saya sudah menikahinya. Biarlah, saya memang sedikit menyesal sering meminta pertimbangan mantan pembantu yang sok baik itu. Tapi beruntung saya keburu memecatnya sebelum kembali berulah aneh.

”Ada perlu apa ke Bangkok?” tanyanya sopan.

”Urusan kantor” jawab saya singkat.

”Lama?”

”Kira-kira sebulan.”

”Sering ke Bangkok?”

”Baru sekarang.”

”Istri anda?” ia mulai mengarah kepada pribadi saya namun tetap berwibawa dengan senyumnya.

”Belum” jawab saya ”saya belum beristri. Apakah saya terlalu tua untuk melajang?” tanya saya sedikit tertawa.

”Tidak. Bukan begitu, maaf. Hanya menurut saya orang seperti anda seharusnya sudah layak dan mapan buat berkeluarga,” rupanya pertanyaan saya membuatnya malu.

”Sebenarnya saya masih belum siap.”

”Atau mungkin soulmate or whatever, lah?”

”Belum, saya terlalu sibuk dengan pekerjaan” jawab saya, ”bukankah Anda juga demikian?” Ah, seharusnya saya tak menanyakan itu.

”Maksudnya?” ia keheranan.

”Maaf, maksud saya apakah Anda sudah berkeluarga?” tanya saya merasa bodoh.

”Oo... belum” jawabnya santai.

Sulit buat saya mengendalikan arah pikiran yang masih sedikit tak percaya dengan perjumpaan ini. Saya kembali membuka ingatan. Ya, saya tinggalkan dia hanya karena isu perselingkuhan yang saya sendiri tak bisa membuktikannya. Tapi tak perlu menyesal, bukankah hubungan itu bisa saya perbaiki kembali? Ia masih cantik, masih segar, masih seperti ketika saya kenal ia di pesawat lima tahun lalu.

Selama di pesawat kami berbicara santai. Ia ceritakan sedikit tentang kehidupannya, pendidikannya, termasuk mengapa ia memilih fashion sebagai jantung hidupnya. Rasanya baru sekarang ada perempuan yang membicarakan hal-hal pribadinya pada saya. Bukan melulu bisnis. Saya katakan bahwa sangat menyukai perempuan mandiri, bermasadepan jelas dan tidak canggung menjalani kehidupan. Ah, saya memang tak pernah belajar memikat hati perempuan. Tetapi bukankah perempuan juga pernah belajar dari bermacam pengalaman dan bentuk rayuan? Minimal perempuan cerdas lebih menyukai lelaki yang masih polos dalam asmara. Macam saya.

”Nona, sesampainya di Bangkok nanti, bila ada waktu bolehkah saya ajak Anda makan malam?”

Saya perhatikan ia masih berpikir sejenak menjawab pertanyaan saya.

”Tapi bukankah Anda ke sana untuk urusan kantor? bukan berlibur,” ia masih ragu dengan ucapan saya, ”tentu Anda akan sibuk sekali di Bangkok.”

”Saya akan usahakan ada waktu buat bertemu Anda.”

”Baiklah, saya juga usahakan”

Kira-kira sepuluh menit berselang, kami sudah sampai di Kuala Lumpur. Setelah keluar dari pesawat saya bergegas menemui keluarga Om Iwan yang sudah menunggu seperempat jam sebelumnya. Saya hampiri Jessica untuk berpamitan. Saya katakan betapa beruntungnya saya jika bertemu kembali di Bangkok.

”Akan saya tunggu,” ucapnya.

”Baiklah, terima kasih,” saya jabat tangannya kembali, ”Selamat jalan, semoga perjalanannya menyenangkan.”

”Menyenangkan sekali...!” jawabnya seraya mengangkat kedua bahunya dan tersenyum. Lalu saya berbalik. Namun tiba-tiba tangan saya diraihnya. ”Saya tak suka dipanggil Nona, panggil saja Jessy!”

”Baiklah”

Saya pun pergi meninggalkan dia dari ruang tunggu penumpang. Sambil menggeret bawaan, saya menoleh ke kanan kiri. Saya lihat om dan tante melambaikan tangan dari kejauhan. Kami pun akhirnya berkumpul. Tak sulit memang menemukan rombongan Om Iwan dan keluarganya di bandara. Wajahnya masih tak asing buat saya meski di keramaian semacam ini. Satu-persatu keduanya memeluk dan bersalaman dengan saya. Azizah yang berdiri pula di sana tampak cekatan menyambut kehadiran saya. Ia tampak lebih dewasa. Mukanya bersih.

Setelah sedikit bercengkerema di Bandara, meluncurlah kami ke kediaman om di kawasan Kelap Golf Diraja Selangor tepat di pusat kota. Rupanya kedatangan saya dimanfaatkan mereka untuk mengabarkan jadwal pernikahan Azizah dua bulan lagi. Saya terperanjat. Mengapa saat tunangan tidak memberi tahu saya? Akhirnya saya mafhum sebab acara tunangannya diadakan di Australia. Jangankan saya, kerabat lain dari pihak tante Sinta pun sengaja tak diberi kabar.

”Kan ini surprise buat kakak dan yang lain?” kata Azizah lantas tertawa.

Akhirnya saya tak banyak bertanya. Satu minggu di jantung Malaysia saya habiskan buat berkunjung ke kerabat-kerabat dekat. Saya benar-benar mendapatkan wejangan berharga dari mereka mulai dari memilih calon istri hingga kiat membangun keluarga dari nol. Saya coba pahami perkataan mereka sehingga butuh waktu cukup lama. Memang tak sesuai jadwal, karena seharusnya saya sudah berada di Bangkok beberapa hari lalu. Saya mulai bimbang. Adakah Jessica masih ingat dengan saya. Adakah ia juga calon istri terbaik buat saya, tidak seperti yang diceritakan Ratna. Keesokan harinya, saya berangkat ke Bangkok.

***

Beberapa orang mengatakan, bahwa sudah satu bulan rumah di seberang jalan itu ditinggal penghuninya. Tepat sebulan sebelumnya, di suatu malam, kedua penghuninya bertengkar hebat. Belum pernah mereka dengar pertengkaran semacam itu. Tapi tidak ada tetangga yang berusaha datang atau melerai pertengkaran kedua laki-bini yang sudah sekitar lima tahun berkumpul itu. Mungkin orang-orang sudah tak terlalu menganggap penting atau wah, sebab sudah menjadi sesuatu yang biasa selama beberapa tahun terakhir. Hampir tiap malam.

Rumah itu kosong. Hanya ada seorang jongos yang biasa terlihat membersihkan halaman rumah besar itu tiap pagi. Beberapa waktu terakhir ia selalu bangun lebih pagi karena tumpukan dedaunan makin hari makin banyak saja.

Suatu hari seorang dari tetangga lama yang sudah sekian tahun tak berkabar datang menjenguk. Dulu ia pernah tinggal satu blok dengan pemilik rumah mewah itu. Namun akhirnya ia harus pindah karena beberapa hal. Terutama karena istrinyalah yang meminta. Hanya beberapa jam, ia sudah banyak mendapat cerita warga tentang penghuni rumah tak bertuan itu.

Ia menarik nafas dalam, kemudian menyusuri sepanjang pagar rumah yang bercat mengkilat itu sambil sesekali melirik ke balik palang pintu. Seorang jongos paruh baya menghampirinya.

”Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” tanyanya sopan.

”Kalau saya boleh tahu, kemana yang punya rumah, Pak?

”Ke luar kota, Tuan” jawabnya pelan. ”Tuan sendiri siapa?”

”Saya Lukman dari Lampung, dulu saya pernah tinggal di rumah itu,” sambil menunjuk sebuah rumah di seberang jalan. ”Kapan kira-kira balik?” ia kembali bertanya.

”Waduh maaf, saya kurang tahu,” keduanya diam sesaat.

”Ya sudah, saya titip pesan kalau beliau datang, tolong bilang saya kemari, itu saja.”

”Baiklah, Tuan.”

Ia segera beranjak, kemudian kembali menyelesaikan urusannya di Jakarta. Sulit menemukan seorang tetangga seperti dia, meski sudah lima tahun tak berkumpul. Namun ia tak pernah lupa sedikitpun kepada Ricky yang pernah membantunya. Ia limabelas tahun lebih tua. Pikirannya matang termasuk dalam berkeluarga. Kini kedua anaknya sudah masuk sekolah menengah.

Awalnya ia berpikir jika Ricky pastinya sudah beranak dan hidup bahagia. Meski tak sempat mendatangi resepsinya namun ia selalu berharap Ricky akan senang dengan istri pilihannya itu, seorang desainer terkemuka di ibu kota. Mengapa ia begitu peduli?

Tentu, lima tahun lalu. Saat istrinya ditimpa sakit-sakitan, Ricky yang membantu. Saat hartanya dikeruk pencuri, Ricky pula yang pertama kali datang. Termasuk ketika hendak berpindah ke Lampung, Ricky lah yang pertama kali berpesan agar tidak jera berkunjung ke Jakarta. Kedua putranya pun begitu akrab dengan sosok Ricky sebagai pemuda mapan yang menyukai anak-anak.

Hanya yang sedikit membuat ia tak mengerti adalah dipecatnya Ratna dari pekerjaannya sebagai pembantu di rumah itu. Tapi ia tak mau tahu. Itu adalah urusan Ricky dengan pembantunya. Ia hanya begitu menyesal mendengar kabar Ricky yang tak hidup bahagia dengan istrinya. Banyak tetangga mengatakan istrinya kerapkali pulang larut malam. Menyalakan klakson mobilnya keras-keras tiap kali datang. Jangankan membantu menyelesaikan urusan rumah, pembantunya saja seringkali disemprotnya dengan perkataan tak mengenakkan.

Akhirnya kerabatnya pun mengisyaratkan Ricky agar menceraikan istrinya. Tapi Ricky tak bersedia. Istrinya yang mendengar campur tangan itu balik tak terima. Ia menghujat Ricky dan keluarganya habis-habisan. Akhirnya pecahlah perang keluarga di rumah itu. Istrinya kabur. Dan Ricky mencarinya entah kemana. Ah, memang sulit menutupi aib keluarga. Sebab kabar buruk tentu lebih cepat menyebar daripada kebaikannya. Dan setiap kesalahan awal, tentu akan berimbas pada kesalahan di akhir yang sulit dielakkan.

***

Saya terkejut, seorang pelayan berdiri di samping saya sambil tersenyum ramah menyodorkan buku menu. Entah sudah berapa lama ia berdiri di situ. Saya tak sempat menanyakannya. Saya katakan bahwa saya tidak terlalu lapar, saya akhirnya memesan segelas minuman dan kentang goreng satu porsi. Dengan sigap seorang pelayan lain datang mengantarkan pesanan saya.

Saya perhatikan mereka. Alangkah bahagianya hati mereka melayani setiap orang yang berkunjung kemari. Muka mereka bersih. Walau kadang dibuat-buat. Tapi bukankah kita tak akan tahu apa yang ada di pikiran mereka. Toh, lambat laun hal itu akan menjadi sebuah kebiasaan dari watak mereka. Bukan selalu kewajiban.

Saya mulai teringat Ratna. Ya, ia begitu piawai menghadapi saya sebagai majikannya. Ia selalu melayani saya. Entah mengapa saya mulai menyesal. Rasanya saya tak pantas membebaninya dengan pekerjaan rumah yang begitu padat meski tak pernah gajinya saya tunggak. Sudah beberapa bulan ini rumah saya tak ada yang merawat. Sedangkan saya sendiri tak mampu mengerjakannya. Saya merindukan Jakarta. Saya merindukan rumah saya yang bersih dan kembali bersinar. Besok, setelah urusan di sini selesai saya langsung kembali ke Jakarta.

Saya sudah tak betah lagi di Bangkok.

***

Seminggu sudah saya tak ke kantor. Tubuh saya agak sedikit kurang sehat. Sudah tiga kali saya ke dokter, namun tak juga mendapatkan jawaban jelas atas penyakit saya. Istri saya pun sudah tiga hari ini tak masuk kerja karena harus menemani saya di rumah. Kata dokter terakhir, sebenarnya saya hanya sedikit stress diakibatkan beban pekerjaan. Jadi selayaknya saya dibawa kepada psikiater saja. Hanya sebatas konsultasi. Awalnya saya tak sepakat. Saya katakan kepada istri saya kalau saya tidak gila.

”Siapa yang bilang Mas ini gila?” kata istri saya, ”Apa salahnya kalau hanya sekedar datang? Makanya jangan terlalu banyak memikirkan pekerjaan! Jangan terlalu suka melamun.”

”Siapa yang terlalu banyak memikirkan pekerjaan?” saya mulai sewot ”Aku hanya memikirkan supaya keluarga kita bahagia, Sayang..!”

”Tuh kan? Lama-lama Mas nanti malah gila beneran.”

”Terserahlah!” dan seperti biasa akhirnya saya mengalah

Hari itu kami pergi ke psikiater. Namun tak ada yang cocok buat saya. Besoknya dua psikiater, namun tak juga mampu menyembuhkan saya. Empat hari kemudian, seminggu kemudian. Entah sudah berapa psikiater yang saya datangi. Tapi tidak ada satupun yang bisa memecahkan masalah psikologis dalam diri saya. Mengapa?

Karena tak ada satupun dari mereka yang mengenal watak perangai saya. Mungkin ini salah satu kekurangan, karena dari sekian banyak teman saya, tak ada seorangpun yang berprofesi sebagai psikiater. Tak ada. Hanya istri saya yang mampu memberikan keteduhan dan ketenangan batin. Istri saya, mantan pembantu saya, yang sekarang memberikan seorang anak kepada saya. Adalah teman sekaligus psikolog buat saya yang tak perlu dibayar dan siap menghabiskan sisa umurnya bersama saya. Terimakasih, Ratna!

Surabaya, April 2009

Maud Khan





0 komentar:

Posting Komentar