Anak-Anak Hujan

Beberapa waktu setelah Panas dilahirkan, di tempat lain lahirlah Hujan. Tak ada yang tahu persis kapan kejadiannya. Jangankan kepala desa, bahkan camat sekalipun tak berani mengira-ngira tanggal kelahirannya itu. Mungkin pikir mereka menebak-nebak hari kelahiran sama halnya dengan menyuruh ibunda Hujan murka. Ibunya memang takut kualat jika mempermainkan tanggal kelahiran. Terutama buat peruntungan anaknya kelak. Sehingga walau diberi embel-embel apa pun, ia tak mau tanggal lahir anak satu-satunya itu ditulis secara ngawur. Pikirnya, lebih baik jika dikosongkan saja.

Janda beranak satu itu memang tak tahu kapan anaknya dilahirkan. Di rumahnya tak ada kalender, jam dinding atau apapun yang dapat menjelaskan pergantian waktu. Ia hanya tahu weton. Itupun sebatas diberi tahu tetangga, dan masih terlalu kabur keakuratannya. Tapi apalah artinya weton. Sedang sekarang sudah bukan lagi zaman kerajaan. Baru setelah kira-kira sebulan dirinya melapor ke kepala desa bahwa ia baru saja melahirkan orok. Sejak saat itu, Hujan adalah satu-satunya anak yang tak memiliki data kelahiran jelas di negeri itu. Bahkan mungkin satu-satunya diantara dua milyar lebih penduduk dunia. Tapi untuk sekolah ia sudah dapat rekomendasi dari kepala desa dan kecamatan.

Saat itu ia masih anak-anak, rambutnya terurai lurus sebahu. Jika pagi ia sekolah, siangnya bermain-main dengan teriknya matahari, dan malamnya ia mengaji di surau. Sekolahnya ia selesaikan dengan prestasi yang memuaskan. Bahkan jika dibandingkan saudara-saudara yang lain, Hujan adalah anak yang paling cerdas. Lain dari itu, ia dikenal sebagai anak yang santun dan hormat pada yang lebih tua. Ia tak pernah mengeluh walau diperintah macam apapun oleh ibunya. Sejak kecil ia hanya menurut, dan seperti biasa ia hanya diberi tugas buat mengirim air di sekeliling desa.

Seiring bergantinya waktu, maka Hujan tumbuh sebagai anak yang cakap dan pandai. Ia mulai memiliki keinginan buat melanjutkan sekolah. Tapi apa boleh dikata? Ia tak punya data kelahiran sebagaimana peraturan sekolah-sekolah perkotaan, bahwa tanggal kelahiran harus diisi dengan sebenar-benarnya.

”Tapi ini asli, Pak” kata ibunya meyakinkan panitia pendaftaran.

”Asli bagaimana sih, Bu? Ini masih kosong.”

”Memang seperti itu kok, Pak!” tandas ibunya lagi, ”Dulu di desa ia diterima.”

”Tapi ini kota, Bu. Di sini ada peraturan. Pendataan harus lengkap. Terus bagaimana dia bisa kerja? Bagaimana dia bisa melanjutkan kuliah? Sedang untuk data kelahiran saja tak jelas.”

“Terus bagaimana ini, Pak?”

“Terserah ibu saja, kalau ibu punya uang lebih saya bisa urus,” kata panitia itu sambil tersenyum.

Sama seperti yang dikatakan oleh kades dan camat belasan tahun lalu saat ibu Hujan berniat untuk mengurus Akta Kelahiran anaknya. Tapi bukan ibu Hujan kalau ia tidak berprinsip. Daripada harus menyuap, lebih baik ia menjadikan anaknya sebagai tukang kirim air keliling desa.

Dan dalam sekejap saja, nama Hujan mulai dikenal di seluruh masyarakat. Tidak hanya di desa, bahkan pernah juga sesekali ia diterbangkan ke kota-kota besar buat mengirim air pula. Jadwalnya padat. Tiap hari, tiap jam, ia harus sering berpindah tempat. Jika dulu di rumahnya sepotong kalendar pun tak ada, sekarang untuk mempermudah pemesanan sudah ada pula mesin fax dan telepon yang bisa dihubungi sewaktu-waktu. Ada juga sebuah mobil hasil kredit, yang bisa dipakai sesekali jika ada order yang dirasa jauh berjalan kaki.

***

Lama-lama Hujan risih juga dengan apa yang terjadi akhir-akhir ini. Banyak orang rebutan untuk mendapatkan pelayanan Hujan setiap jamnya. Bahkan di beberapa tempat sampai diadakan pelelangan buat satu jam jatah Hujan. Dan yang lebih menjengkelkan, di kota-kota sudah banyak ’calo’ yang berjualan jasa Hujan dengan harga mencekik. Belum lagi sebagian dukun yang menolak Hujan lantaran ada acara pernikahan dan hajatan lainnya.

Tiga hari lalu Hujan didatangi sekelompok orang tak dikenal, mereka langsung mencak-mencak di depan kantornya. Mereka merasa dirugikan lantaran acara karaoke-an yang mereka adakan bubar. ”Hujan harus bertanggung jawab!” teriak mereka. Beberapa menit berselang Hujan keluar. Dan bubarlah barisan demonstran itu kocar-kacir. Dan begitulah bila Hujan sedang marah.

Hujan masih memandangi jadwalnya, daerah mana saja yang harus ia lewati, daerah mana yang pantang ia lalui, yang boleh ia lalui, atau yang boleh ia nikmati pemandangannya buat bermain-main. Ia masih bingung rencana apa yang harus ia pikirkan.

Akhirnya Hujan memutuskan untuk membuat pengumuman melalui surat kabar yang isinya:

1. Hujan meminta maaf atas pelayanan selama ini yang kurang memuaskan. Ini semua lantaran kinerja sekretaris Hujan yang kurang profesional. Tapi dia sudah dipecat, kok.

2. Hujan tidak pernah membanderol harga. Jika ada yang mengatasnamakan Hujan dengan meminta sejumlah uang. Jangan dikasih!

3. Keterlambatan pelayanan akan diganti sesegera mungkin. Dan terakhir,

4. Hujan tidak bertanggungjawab atas segala kerusakan yang disebabkan kelalain kliennya.

Ttd

Hujan

Ternyata iklan ini memantik masalah. Beberapa oknum yang selama ini merasa selalu dirugikan oleh Hujan mulai melapor ke aparat berwajib. Banyak pula perusahaan yang tak setuju dengan iklan promosi Hujan ini, terutama perusahan-perusahaan air yang sejak dulu memang telah dibikin pusing. Karena takut kalah pamor, mereka akhirnya berkonspirasi dengan mendatangi pemerintah, kejaksaan dan kepolisian buat menjegal Hujan dan ibunya ke manapun mereka hendak datang. Dilaporkannya bahwa Hujan itu merupakan usaha ilegal. Tak bersurat. Harus dibasmi.

Singkat kata, dibuatlah penjegalan-penjegalan yang berujung pada larinya Hujan dan ibunya ke negeri orang. Ia sudah tak kembali lagi. Dan ia memang tak akan kembali. Ia sedih. Sudah puluhan tahun diabdikan seluruh hidupnya buat tanah air. Tapi ia malah dibuang.

”Kurang apa aku ini? Kurang apa?” keluhnya di suatu tempat.

”Sudahlah, nak...! tak usah kaupikirkan itu. Sekarang pikirkan dirimu. Mungkin sudah saatnya kau menikah.”

”Tapi siapa yang akan mau menikah denganku?”

”Aku.” tiba-tiba keluarlah suara dari balik dedaunan-dedaunan. Dialah Panas. ”Mungkin kita bisa menjadi pasangan yang serasi,” katanya pula.

”Kau?”

”Ya, aku sudah banyak tahu tentangmu. Nasibmu memang tak seberuntung aku. Mari kuajak kalian ke negeriku. Di sana semua serba mudah, teratur dan tak berbelit-belit seperti di negaramu. Orangnya pun ramah-ramah.”

Sejak saat itu Hujan dan ibunya mulai tinggal di negeri yang nun jauh itu. Dia pun sudah punya KTP walau data kelahirannya kosong, tapi itu tak jadi soal. Dan untuk pertama kalinya menikahlah kedua mempelai itu.

Sekarang mereka sudah beranak pinak, ada yang sama dengan Hujan, ada yang nurun dari Panas, dan ada pula yang mewarisi keduanya. Mereka sekeluarga bisa bekerja dengan leluasa.

***

Akhirnya Hujan rindu juga pada kampung kelahirannya. Banyak sekali email dan sms yang masuk ke handphone-nya menyuruh dia kembali, ia begitu dibutuhkan. Tapi untuk kembali jelas tidak mungkin. Tekadnya sudah bulat untuk tak kembali. Bukankah jika itu dilakukan hanya akan ada intimidasi? Ada pengusiran, penghinaan. Sebenarnya jika dia mau sekedar berkunjung. Bisa saja. Sebab tak perlu repot naik perahu atau mobil butut. Pesawat pun bisa menjadi tumpangan yang jadi pilihan utama.

Lantas bagaimana lagi? sedang di negara asalnya itu tak ada jaminan keamanan transportasi, kalau mati belum tentu dapat ganti rugi, prosedurnya ribet, belum lagi jadwal yang suka molor.

Rupanya ia kasihan juga. Tiap hari ia sering baca di surat-surat kabar tentang hiruk pikuk pejabat yang saling tuduh korupsi , berebut kursi kekuasaan dengan berbagai cara, termasuk menumpuk hutang luar negeri sebanyak-banyaknya. Barang-barang dijual mahal, sedang harga diri diobral murah.

Tak hanya itu, puluhan bencana beberapa bulan terakhir yang sering ia tonton di TV pun tak kalah hebohnya. Mulai dari tanah longsor, angin topan, banjir, kemarau panjang dan sejenisnya. Tapi untuk masalah ini ia masih bisa maklum. Ya, bagaimana tidak harus dimaklumi. Sedang ketiga anaknya pun butuh belajar beserta prakteknya.

”Sudah saya katakan, bahwa ’Kami tidak bertanggungjawab atas segala kerusakan yang disebabkan kelalain kliennya’, dan sampai sekarang peraturan itu masih berlaku.” ucapnya suatu ketika di depan televisi.

Surabaya, 25 Mei 2009

Maud Khan

0 komentar:

Posting Komentar