BBM naik Lagi???


Sementara pasokan minyak nasional dan dunia terus-menerus berkurang, pemerintah harus menyiapkan langkah-langkah tegas dalam menyikapi persoalan naiknya harga minyak di pasaran. Terutama yang berkenaan penggunaan dengan teknologi alternatif dan tepat guna serta penegakan hukum terhadap para pelaku ‘tindak kejahatan’ yang telah banyak merugikan keuangan negara.

BBM naik lagi..! setidaknya kata-kata itu yang keluar dan sempat menjadi polemic di masyarakat kita saat ini. Tak hanya politikus, praktisi, atau mahasiswa. Warga kecil pun mulai angkat bicara. Sebagian kalangan menilai hal tersebut merupakan jalan satu-satunya untuk mengejar subsidi harga minyak mentah dunia yang menembus rekor USD 137 per barel. Namun sebagian lagi menyatakan bahwa menaikkan harga BBM bukanlah jalan keluar terbaik, sebab hanya akan semakin menyengsarakan masyarakat kecil.Tidak bisa dipungkiri bahwa langkah tegas ini diambil seiring melonjaknya harga minyak dunia yang tak terkendali. Sedangkan masyarakat kita sendiri merupakan salah satu masyarakat terboros di dunia dalam mengkonsumsi bahan bakar.

Yang perlu menjadi perhatian khusus, jumlah rakyat miskin di Indonesia dari tahun ke tahun kian bertambah. Naiknya harga bahan bakar, akan berimbas pada pada naiknya transportasi dan distribusi barang, kemudian berlanjut pada naiknya biaya produksi dan menurunnya minat beli karena harga melambung. Melambungnya harga barang inilah yang pada akhirnya yang akan membuat rakyat kecil kita akan semakin terkesan ‘dikerdilkan’. Para petani dan nelayan akan sulit melakukan aktivitas yang semakin memakan biaya. Termasuk sopir buruh dan karyawan yang menuntut kenaikan gaji sedang posisi mere sendiri berada pada tingkat kerawanan terjadinya PHK. Sementara itu, kebutuhan tuntutan untuk memenuhi akan hidup masih terus berlanjut.

Naiknya harga BBM di dalam negeri yang kisarannya mencapai 28% bukan tidak mungkin akan terus melonjak mengingat harga minyak dunia yang hingga kini belum berada pda titik stabil. Sebab, negara kita yang memiliki banyak kandungan alam termasuk simpanan minyak mentah masih belum cukup berpotensi untuk mengolah dan menasionalisasi aset-aset tersebut sebagai bahan bakar yang siap pakai.

Sebenarnya beberapa solusi sempat diusulkan kepada pemerintah dalam mengatasi persoalan pelik ini. Salah satunya yang ditawarkan oleh anggota DPR dari salah satu fraksi. Diantaranya ialah menyita harta para obligator dan para koruptor tanah air. Namun tawaran ini dimentahkan oleh pemerintah. Usulan untuk mengambilalih sumber daya alam dari jangkauan asing pun belum menjadi alternatif pilihan. sebab kemampuan Indonesia masih belum mampu menjangkau komoditi tersebut.

Perlu ada pemikiran dan solusi cerdas. Bukan sikap negatif atau pelecehan terhadap kebijakan negara. Mengingat sejarah perkembangan harga BBM di tanah air yang tidak pernah menurunkan kembali harga BBM setelah adanya kebijakan untuk dinaikkan. Dan sebagai masyarakat ‘timur’ yang tahu betul adat dan tata kesopanan bukan seharusnya jika ketidaksetujuan itu disikapi dengan ‘memanas-manaskan’ suasana yang semakin mempersulit persoalan. Tetapi sebagai kaum yang memiliki hak dalam menyampaikan aspirasi tentunya tidak tepat jika kita hanya sekedar nrimo begitu saja. Menggunakan hak bicara dalam berdemokrasi harus tetap ditegakkan sebagi warga negara.

BLT dan BKM bukan Solusi

“Negara kita negara bermartabat, bukan pengemis!” kalimat itulah yang sempat beredar dari mulut ke mulut. Bukan hanya politisi. Bahkan sebagian masyarakat pun akan mengiyakan pernyataan tersebut. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah setiap orang yang berperut kosong akan lebih memikirkan apa yang disebut oleh mereka sebagai ‘martabat’ itu? Apakah dana yang diberikan secara cuma-cuma akan ditolak begitu saja? Sementara upaya pemenuhan kebutuhan semakin sulit dijangkau.

Seperti yang berulangkali dijelaskan oleh pemerintah, bahwa BLT bukanlah solusi. BLT hanyalah bantuan ketika masyarakat dihadapkan pada shock saat awal kenaikan BBM. Masyarakat tidak sepatutnya menolak manakala bantuan itu dibutuhkan. Masyarakat juga tidak patut ‘ambil bagian’ dalam BLT jika kebutuhan sudah benar-benar terpenuhi. Kesadaran itulah yang dibutuhkan. Ketika warga yang dinilai mampu ikut berbondong-bondong datang meminta jatah aliran dana. Ketika itulah akan banyak warga miskin yang kehilangan ‘haknya’.

Pengalaman tahun 2005, tentang pembagian dana BLT yang kurang maksimal dan tidak tepat sasaran bahkan tidak sedikit menimbulkan korban jiwa menyebabkan sebagian masyarakat sangsi dengan kebijakan BLT tahun ini. Belum lagi ketika ketidakadilan terjadi dalam penentuan penerima dana BLT, maka kemungkinan akan terjadinya konflik semakin tinggi. Banyak yang harus dievaluasi mulai dari pendataan, proses distribusi serta sistem pembagian dana BLT di tahun 2005. Perlu juga adanya kejelasan yang lebih terperinci dalam pengkategorian miskin. Sebab tidak sedikit kesalahan pendataan yang terjadi akibat adanya kerancuan terhadap kategori keluarga miskin ini.

Lepas dari BLT ada istilah aneh lagi yang dikeluarkan pemerintah. Alih-alih sebagai upaya untuk mengurangi beban mahasiswa yang tidak mampu, meluncurlah program BKM, Bantuan Khusus Mahasiswa. Dalam program BKM ini pemerintah menyiapkan Rp 200 miliar untuk 400.000 mahasiswa di tanah air, baik perguruan tinggi negeri maupun swasta. Bantuan ini akan diberikan kepada mahasiswa yang kurang mampu sebagai kompensasi atas kenaikan harga BBM. Hingga kini, masyarakat kita masih belum memiliki kepastian tentang penerimaan dana BLT tersebut. Di beberapa daerah bahkan masih mengalami kendala pendataan dan administrasi lainnya.

Polemik kembali bermunculan. Kali ini datang dari mahasiswa sendiri yang sejak awal tidak setuju dengan kebijakan kenaikan BBM bahkan BLT. Sebab, kebijakan ini baru muncul saat mahasiswa tengah gencar-gencarnya menyuarakan aspirasi mereka menolak kenaikan harga BBM. Sehingga bukan tidak mungkin pemberian dana yang menurut pemerintah dilakukan secara ‘ikhlas’ dan sesuai program ini di tanggapi negatif oleh mahasiswa dan disalahartikan sebagai iming-iming belaka.

Terpisah ketua BEM Universitas Indonesia, Edwin Hofsan Naufal menyatakan bahwa bantuan yang dikemas dengan nama BKM ini pasti tak urung menimbulkan masalah baru. Sebab yang menjadi pertanyaan mengapa bantuan tersebut tidak perbah dikoordinasikan sejak awal? Justru ketika keadaan mahasiswa yang telah meledak-ledak menolak BBM naik mencapai puncaknya, program BKM baru dimunculkan. Ini yang kemudian perlu untuk diperhatikan.

Yang paling menjadi kekhawatiran sekarang adalah adanya indikasi terpecahnya mahasiswa dalam beberapa kubu yang berseberangan. Dan hal tersebut tentunya akan menjadi persoalan baru yang semakin meruncing. Karena sebagai yang kita ketahui selama ini, bahwa secara tidak langsung mahasiswa telah terpecah ke dalam beberapa front. Baik itu yang pro dan kontra terhadap kenaikan harga BBM ataupun mahasiswa yang antipati terhadap kebijakan pemerintah ini. Inilah yang membuat pemerintah terkesan berupaya mengambil hati mahasiswa yang selama ini kurang peduli terhadap permasalahan bangsa tersebut.

Sadar untuk Hidup Kolektif

Kemiskinan adalah masalah terbesar yang selama ini membelenggu negeri ini. Kelangkaan pangan, kelaparan, rendahnya pelayanan kesehatan dan tingginya angka kriminal adalah hasil dari apa yang disebut-sebut orang sebagai kemiskinan. Betapa tidak? Tingginya angka korupsi di tanah air yang telah menimbulkan kerusakan sepanjang bangsa ini berdiri juga diakibatkan oleh kemiskinan pula. Masihkah banyak pejabat-pejabat kita yang merasa miskin?

Tetapi jangan salah. Sebenarnya di negara kita yang miskin dan papa ini masih terlalu banyak orang-orang kaya. Orang-orang yang semakin lama semakin kaya. Masih banyak orang-orang yang bahkan hartanya tidak akan habis hanya untuk memenuhi kebutuhan pribadi mereka seketurunan. Dari sinilah mulai terlihat bahwa selama ini efek kesenjangan sosial sudah lama merasuki kebudayaan kita. Sehingga batasan antara kaya dan miskin semakin jauh saja.

Padahal seperti kita ketahui , satu persatu nominator orang terkaya dunia dari negeri ini selalu bermunculan. Akhir Mei lalu, Menko Kesra Aburizal Bakrie tercatat sebagai orang terkaya di Asia Tenggara dengan total kekayaan mencapai USD 9,2 miliar (setara Rp 84,6 triliun) mengalahkan para konglomerat negara-negara Asia Tenggara lainnya. Bukan hanya itu, Bos Group Sinar Mas, Bos PT Djarum dan bahkan mantan menteri Siswono Yudohusodo pun masuk dalam daftar orang kaya baru.

Bayangkan dengan harta seorang Menko Kesra saja, bangsa ini akan mampu melaksanakan program Pendidikan Gratis di tanah air, terutama untuk program wajib belajar 9 tahun yang membutuhkan dana sekitar Rp 74,92 triliun. Di negeri ini, tidak sedikit pejabat, artis atau pengusaha yang memiliki harta berlebih.

Tetapi sungguh ironis, sejak beberapa tahun terakhir selalu saja ada orang kaya baru di negeri ini. Munculnya orang kaya baru ini sering menjadi perhatian dan berita hangat di berbagai media massa maupun elektronik. Tapi pernahkah kita membayangkan bahwa setiap harinya nominator orang termiskin di negara kita selalu bertambah. Bahkan hingga menyebabkan kematian.

Sementara kemiskinan bertambah, kriminalitas pun merajalela, termasuk ancaman terbesar dan paling serius yakni korupsi. Sudah lama penyakit yang telah mendarah daging dalam kehidupan bangsa kita ini merajalela. Apalagi mengenai penyalahgunaan posisi, baik sebagai aparatur negara maupun swasta.

Sebenarnya, berkaca pada apa yang pernah disampaikan oleh mendiang Nurcholis Madjid, bahwa kesejahteraan pribadi akan mampu terwujud apabila kesejahteraan kolektif terpenuhi. Artinya, kepentingan umum haruslah lebih diutamakan daripada kepentingan khusus. Sebab bangsa yang baik dan adil adalah bangsa yang ikut merasa lapar ketika yang lain lapar dan merasa kenyang ketika yang lain makan. Kesadaran kolektif itulah yang sekarang mulai menghilang dari bangsa ini. Hilang sebab tergiur duniawi untuk kepuasan pribadi. Dengan korupsi, dengan mencuri, dengan hanya mampu menebar janji.

Rakyat kecil hanya butuh satu. Kesadaran! Kesadaran untuk mereka yang menjadi pejabat, pengusaha sukses, dan orang-orang berhasil lainnya. Kesadaran untuk tidak mengambil hak orang lain, kesadaran untuk mengerti keadaan orang lain, kesadaran untuk sama-sama ber-empaty terhadap orang miskin. Bukan kesadaran untuk mengemis dan mengajarkan menjadi pengemis. Bukan kesadaran untuk meminta dan mengajarkan menjadi peminta-minta. Tetapi kesadaran untuk bersama-sama ikut menyadarkan. Pertanyaannya, sudahkah kita sendiri sadar?


Surabaya, 5 Juni 2008

Maud Khan

1 komentar:

Unknown mengatakan...

semoga negeri ini semakin baik...aamiin :)

Posting Komentar